Selasa, 20 September 2016

Sejarah Dan Perkembangan Teori Manajemen

Sejarah Dan Perkembangan Teori Manajemen
Sesungguhnya manajemen sudah ada sejak jaman dahulu, salah satu bukti adalah Piramida di Mesir. Adanya bangunan Piramida di Mesir menunjukkan bahwa pada zaman dulu telah ada serangkaian kegiatan yang diatur sedemikian rupa, mengikuti tahapan-tahapan tertentu yang telah disiapkan hingga bangunan Piramida yang megah di tengah gurun pasir dapat menjadi decak kagum masyarakat dis seluruh dunia dari dulu hingga kini. Dari sejarah dapat kita ketahui bahwa tidak kurang dari ribuan orang telah terlibat dalam pembangunan Piramida di Mesir.

Selain Piramida di Mesir, ada juga benteng raksasa yang berdiri sepanjang ribuan kilometer di Cina. Benteng ini juga menunjukkan betapa orang-orang Cina dahulu telah melakukan kegiatan manajemen (dalam bentuk apapun kegiatan manajemen tersebut sehingga bangunan benteng yang kokoh dapat tetap bertahan hingga hari ini. Selain itu juga Candi Borobudur di Indonesia, dan masih banyak contoh bangunan-bangunan kuno yang sangat rumit bisa dibangun oleh nenek monyang kita. Dari bukti-bukti tersebut dapat dilihat bagaimana orang-orang dahulu telah menerapkan manajemen.

Secara keilmuan, manajemen baru terumuskan kurang lebih di abad 18 atau awal abad 19 Masehi. Diantara tokoh-tokoh yang mula-mula memperkenalkan manajemen secara keilmuan adalah Robert Owen (1771-1858) dan Charles Babbage (1972-1871). Owen seorang pembaru dan indrustrialisasi dari Inggris adalah di antara tokoh pertama yang menyatakan perlunya sumber daya manusia di dalam organisasi dan kesejahteraan pekerja. Sedangkan Babbage seorang ahli matematika dari Inggris orang yang pertama kali berbicara mengenai pentingnya efisiensi dalam proses produksi. Dia meyakini akan perlunya pembagian kerja dan perlunya penggunaan matematika dalam efisiensi penggunaan fasilitas dan material produksi (Ernie dan Saefullah: 2005).

Dengan demikian bisa dikatakan Robert Owen dan Charles Babbage adalah pionir dalam ilmu manajemen.

Perkembangan Teori Manajemen
Apa yang telah dikenalkan oleh Owen dan Babbage pada akhir abad 19 memberikan kontribusi yang berharga bagi para praktisi manajemen bahwa organisasi bisnis perlu dikelola secara benar, terutama jika organisasi tersebut berskala besar dan melibatkan banyak sekali orang dan sumber daya yang harus dikelola. Kontribusi Owen dan Babbage seolah telah membukakan mata para praktisi bisnis pada saat itu bagaimana seharusnya bisnis dijalankan. Bermunculan pula setelah itu berbagai teori-teori dalam ilmu manajemen.

Perkembangan pemikiran manajemen sebagai praktik yang dilandasi konsep teori (Tim Dosen Administrasi Pendidikan: 2009) adalah sebagai berikut:

a. Teori Manajemen Aliran Klasik (1890-1930)
Frederick W Taylor, Henry L Gantt, Frank Bunker Gillberth dan Lilian Gillberth adalah tokoh-tokoh dibalik teori manajemen ilimiah. Mereka memikirkan suatu cara meningkatkan produktivitas dengan menangani kondisi kekurangan tenaga terampil melalui efisiensi para pekerja.

Taylor disebut sebagai “bapak manajemen ilmiah” dengan karyanya “scientific management” yang telah memberikan prinsip-prinsip dasar penerapan pendekatan ilmiah pada manajemen, dan mengembangkan sejumlah teknik-tekniknya untuk mencapai efisiensi. Empat prinsip dasar yang dikembangkan Taylor adalah:
1. Pengembangan metode ilimah alam manajemen agar suatu perkejaan dapat ditentukan metode pencapaian tujuannya secara maksimal.
2. Seleksi ilmiah untuk karyawan agar para karyawan dapat diberika tugas dan tanggung jawab sesuai keahlian.
3. Pendidikan dan pengembangan karyawan.
4. Kerjasama yang harmonis antara manajemen dan para karyawan.

Teknik yang digunakan untuk melaksanakan prinsip tersebut adalah melalui studi gerak dan waktu (time and motion studies), pengawasan fungsional, system tariff berbeda yaitu karywan yang lebih produktif dan efisien mendapatkna gaji lebih besar dari yang lainnya.

Kontribusi terbesar dari Gantt adalah dengan menghasilkan metode grafik sebagai teknik scheduling produksi untu perencanaan, koordinasi dan pengawasan produksi yang popular dengan sebutan “Bagan Gantt”.

b. Manajemen Organisasi Klasik (Classical Organization Theory) atau Manajemen Operasional Modern (1900-1940)
Henry Fayol merupakan tokoh teori manajemen operasional manajemen dikenal dengan julukan Bapak teori manajemen modern. Dalam bukunya yang berjudul Administration Industrielle et Generale (Administrasi Industri dan Umum) Fayol membagi aktifivtas-aktivitas industrial dalam enam klompok yaitu teknikal, komersial, financial, keamanan, kepastian, akunting dan manajerial. Ia adalah perumus empat belas prinsip manajemen yaitu:
1) Pembagian kerja
2) Wewenang
3) Disiplin
4) Kesatuan perintah
5) Kesatuan pengarahan
6) Meletakan kepentingan perseorangan di bawah kepentingan umum
7) Balas jasa/imbalan
8) Sentralisasi
9) Rantai scalr/khirarki
10) Order/susunan
11) Keadilan
12) Stabilitas staf organisasi
13) Inisiatif
14) Esprit de corps (semangat korps)

Fayol percaya bahwa melalui penguasaan keterampilan dan prinsip dasar manajemen orang yang mendalaminya dapat menjadi manajer yang baik.

c. Aliran Perilaku (1924-1940)
Elton Mayo dan F.J. Roethlisberger melakukan studi tentang perilaku manusia dalam bermacam situasi kerja di pabrik Hawthorner milik perusahaan Western Electric dengan temuan bahwa kelompok kerja informal lingkungan sosial karyawan memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas.

McGregor memandang perlu adanya perhatian pada kebutuhan sosial dan aktualisasi diri karyawan dengan menjunjukan dua kategori manusia yaitu manusia X dan manjusia Y atau lebih dikenal dengan teori X dan teori Y. Manusia tipe X adalah manusia yang harus selalu diawasasi agar mau melakukan usaha dalam pekerjaan mereka. Sedangkan manusia Y sebaliknya, ia bersemangat bekerja sebagai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri tanpa ada pengawasan sekalipun.

Di samping penelitian yang focus terhadap perilaku manusia, dikembangkan juga aliran perilaku organisasi yang memandang bahwa hubungan manusia dalam manajemen berada dalam konteks organisasi. Diantara tokohnya adalah Abraham Maslow, Frederick Herzberg, Edgar Schein.

Aliran perilaku organisasi menganut prinsip bahwa:
1) Organisasi adalah satu keseluruhan jangan dipandang bagian perbagian.
2) Motivasi karyawan sangat penting yang menghasilkan komitmen untuk pencapaian tujuan organisasi.
3) Manajemen tidak dapat dipandang sebagai suatu proses teknis secara ketat (peranan, prosedur dan prinsip).

d. Pendekatan Sistem (1940-sekarang)
Pendekatan sistem memandang bahwa organisasi sebagai sistem yang dipersatukan dan diarahkan dari bagian-bagian/komponen-komponen yang saling berkaitan. Chester I Barnard menjelaskan dalam “the functions of the executive” bahwa tugas manajer adalah menyarankan pendekatan sistem sosial komprehensif dalam aktifitas “managing”.

Komponen-komponen/bagian-bagian tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait, terika, memperngaruhi, membutuhkan, dan menentukan. Oleh karena itu harus disadari bahwa perubahan satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya. Dengan demikian berpikir dan bertindak system berarti tidak memandang komponen secara parsial, tetapi saling terpadu satu sama lain secara sinergi.

Sinergi berarti bahwa keseluruhan lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagiannya. System yang sinergi adalah tiap-tiap unti atau bagian-bagian bekerja dengan serius dalam tatanannya dan menyadari secara penuh dan bertanggung jawab terhadap kemajuan system secara umum.

Sistem memiliki makna bahwa (1) suatu system terdiri atas bagian-bagian yang saling terkait satu dengan yang lainnya, (2) bagian-bagian yang saling hubung itu dapat berkerja dan berfungsi secara independent atau bersama-sama, (3) berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum dari keseluruhan (sinergi), (4) suatu system yang terdiri atas bagian-bagian yang saling hubung tersebut berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.

e. Pendekatan Kontingensi atau Pendekatan Situsional (1950-sekarang)
Pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional adalah suatu aliran teori manajemen yang menekankan pada situasi atau kondisi tertentu yang dihadapi. Tidak seluruh metode manajemen ilmiah dapat diterapkan untuk seluruh situasi begitupun tidak selalu hubungan manusiawi yang perlu ditekankan karena adakalanya pemecahan yang efektif melalui pendekatan kauantitatif. Itu semua sangat tergantung pada karakteristik situasi yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai.

Sejarah, Pengertian Dan Manfaat Pengembangan Digital Library

Sejarah, Pengertian Dan Manfaat Pengembangan Digital Library 
Gagasan yang muncul pertama kali sebagai dasar konsep perpustakaan digital muncul pada bulan Juli tahun 1945 oleh Vannevar Bush. Beliau mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku, rekaman/dokumentasi, dan komunikasi) yang termekanisasi. 

Selama dekade 1950-an dan 1960-an keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan terus diusahakan oleh peneliti, pustakawan, dan pihak-pihak lain, tetapi teknologi yang ada belum cukup menunjang. 

Pada awal 1980-an fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi melalui perangkat komputer, namun hanya pada lembaga-lembaga besar mengingat biaya investasi yang tinggi. Misalnya pada Library of Congress di Amerika yang telah mengimplementasikan sistem tampilan dokumen elektronik (electronic document imaging systems) untuk kepentingan penelitian dan operasional perpustakaan.Dari sudut pandang pengguna, komputer bukanlah bagian dari fasilitas manajemen perpustakaan melainkan hanya pelayanan untuk digunakan staf perpustakaan. 

Pada awal 1990-an hampir seluruh fungsi perpustakaan ditunjang dengan otomasi dalam jumlah dan cara tertentu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain pembuatan katalog, sirkulasi, peminjaman antar perpustakaan, pengelolaan jurnal, penambahan koleksi, kontrol keuangan, manajemen koleksi yang sudah ada, dan data pengguna. Dalam periode ini komunikasi data secara elektronik dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya semakin berkembang dengan cepat. Pada tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan National Digital Library dengan menggunakan tampilan dokumen elektronik, penyimpanan dan penelusuran teks secara elektronik, dan teknologi lainnya terhadap koleksi cetak dan non-cetak tertentu. Selanjutnya pada September 1995, enam universitas di Amerika diberi dana untuk melakukan proyek penelitian perpustakaan digital.

Penelitian yang didanai NSF/ARPA/NASA ini melibatkan peneliti dari berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, dan pemerintah Amerika sendiri. Proyek ini cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian perpustakaan digital di dunia. 

Pengertian Digital Library
Ada banyak definisi perpustakaan digital berdasarkan pendapat para ahli atau beberapa lembaga. Berikut beberapa definisi yang dirumuskan oleh lembaga/orang lain. 

The Digital Library Initiatives menggambarkan perpustakaan digital sebagai lingkungan yang bersama-sama memberi koleksi, pelayanan, dan manusia untuk menunjang kreasi, diseminasi, penggunaan, dan pelestarian data, informasi, dan pengetahuan. 

Saffady mendefinisikan perpustakaan digital secara luas sebagai koleksi informasi yang dapat diproses melalui komputer atau repositori untuk informasi-informasi semacam itu. 

Millard mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang berbeda dari sistem penelusuran informasi karena memiliki lebih banyak jenis media, menyediakan pelayanan dan fungsi tambahan, termasuk tahap lain dalam siklus informasi, dari pembuatan hingga penggunaan. Perpustakaan digital bisa dianggap sebagai institusi informasi dalam bentuk baru atau sebagai perluasan dari pelayanan perpustakaan yang sudah ada. 

Billington, pustakawan Library of Congress, dalam Rogers (1994), melukiskan perpustakaan digital sebagai sebuah koalisi dari institusi-institusi yang mengumpulkan koleksi-koleksinya yang khas secara elektronik. 

Drobnik dan Monch (dalam Nugroho, 2000) mendefinisikan perpustakaan digital sebagai sekumpulan dokumen elektronik yang diorganisasikan agar mudah ditemukan ulang dan dibaca. 

Association of Research Libraries (ARL), 1995, mendefinisikan perpustakaan digital sebagai berikut: 
  • Perpustakaan digital bukanlah kesatuan tunggal. 
  • Perpustakaan digital memerlukan teknologi untuk dapat menghubungkan ke berbagai sumberdaya. 
  • Hubungan antara berbagai perpustakaan digital dan layanan informasi bagi pemakai bersifat transparan. 
  • Akses universal terhadap perpustakaan digital dan layanan informasi merupakan suatu tujuan. 
  • Koleksi-koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada wakil dokumen; koleksi meluas sampai artefak digital yang tidak dapat diwakili atau didistribusikan dalam format tercetak. 
Wahono mendefinisikan perpustakaan digital sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Menurutnya, istilah perpustakaan digital memiliki pengertian yang sama dengan perpustakaan elektronik (electronic library) dan perpustakaan maya (virtual library) 

Dari definisi-definisi di atas dapat diambil sintesa bahwa perpustakaan digital adalah organisasi atau lingkungan yang mengelola koleksi informasi berupa tulisan, gambar, dan suara dalam bentuk elektronik dan memberikan pelayanan kepada pengguna melalui jaringan internet. 

Peran Perpustakaan Digital
Digital Library berperan sebagai penyedia informasi, penyedia layanan informasi, atau pengguna informasi dengan memanfaatkan jaringan dan teknologi digital. Namun bagaimana koleksi digital itu dimanfaatkan, sangat tergantung dari bagaimana informasi tersebut dibuat, diorganisasikan, dan disajikan. 

Selain itu Digital Library bukan hanya berkenaan dengan manajemen pengetahuan (knowledge management) dan informasi, tetapi menjelaskan bahwa perpustakaan sebagai salah satu sumber informasi mulai diharapkan untuk menjalankan peranan yang lebih sebagai pendamping dalam proses pendidikan seumur hidup. Tantangan bagi pustakawan adalah untuk memahami dan menentukan posisinya dalam proses perubahan dan beralih dari pemikiran perpustakaan sebagai ruang fisik semata ke suatu kenyataan baru perpustakaan sebagai organisasi yang harus mengembangkan jenis layanan informasi digital. 

Motif-motif yang Mendasari Pengembangan Perpustakaan Digital 
Pada perpustakaan konvensional, akses terhadap dokumen terbatas pada kedekatan fisik. Pengguna harus datang untuk mendapat dokumen yang diinginkan, atau melalui jasa pos. Untuk mengatasi keterbatasan ini perpustakaan digital diharap mampu untuk menyediakan akses cepat terhadap katalog dan bibliografi serta isi buku, jurnal, dan koleksi perpustakan lainnya secara lengkap. 

Melalui komponen manajemen database, penyimpanan teks, sistem telusur, dan tampilan dokumen elektronik, sistem perpustakaan digital diharap mampu mencari database koleksi yang mengandung karakter tertentu, baik sebagai kata maupun sebagai bagian kata. Di perpustakaan konvensional penelusuran seperti ini tidak mungkin dilakukan. 

Untuk menyederhanakan perawatan dan kontrol harian atas koleksi perpustakaan. 
Untuk mengurangi bahkan menghilangkan tugas-tugas staf tertentu, misalnya menaruh terbitan baru di rak, mengembalikan buku yang selesai dipinjam ke rak, dan lain-lain. 

Untuk mengurangi penggunaan ruangan yang semakin terbatas dan mahal. 

Perpustakaan semi modern
Dalam dunia perpustakaan semi modern, buku atau dokumen sudah tersimpan dan tertata rapi. Selain itu juga sudah mempunyai katalog/indek dimana pengunjung dapat mencari dokumen atau data yang dicari sehingga dengan mudah mengetahui letak barang dan statusya apakah masih ada yang tersisa atau sedang dipinjam.

Dalam perpustakaan semi modern, penggunaan ICT (Information Computer Technology) masih terbatas bahkan ada yang hanya sebagai pengganti mesin ketik. Masih banyak hal yang harus dilakukan pustakawan dan pengunjung secara manual sehingga memerlukan energi lebih.

Perpustakaan modern
Perkembangan mutakhir saat ini adalah munculnya perpustakaan digital (digital library). Lebih unggul karena memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet). Bukan berarti sudah tidak ada buku atau media kertas tetapi koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk data elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Dalam format data digital tidak hanya memuat dokumen atau buku tetapi juga termasuk multimedia seperti rekaman audio dan video.

Keunggulan yang lain adalah dari segi pengelolaan. Seperti yang telah kita ketahui dalam business process perpustakaan terdapat beberapa pekerjaan besar yakni: pengelolaan buku/dokumen, manajemen peminjaman, database anggota, pengadaan barang atau buku baru, dan juga laporan-laporan (report) berkala yang dibutuhkan pihak manajemen perpustakaan. Nah, saat ini muncul kebutuhan bahwa pekerjaan-pekerjaan seperti tersebut diatas sudah harus digantikan oleh teknologi informasi atau dikenal sebagai sistem otomasi perpustakaan (library automation system).

Pengelolaan Dokumen Elektronik
Pengelolaan dokumen elektronik memerlukan teknik khusus yang memiliki perbedaan dengan pengelolaan dokumen tercetak. Proses pengelolaan dokumen elektronik melewati beberapa tahapan, yang dapat kita simpulkan dalam proses digitalisasi, penyimpanan dan pengaksesan/temu kembali dokumen. Pengelolaan dokumen elektronik yang baik dan terstruktur adalah bekal penting dalam pembangunan sistem perpustakaan digital (digital library). Proses-proses tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :

Proses Digitalisasi Dokumen 
Proses perubahan dari dokumen tercetak (printed document) menjadi dokumen elektronik sering disebut dengan proses digitalisasi dokumen. Seperti pada Gambar 1, dokumen mentah (jurnal, prosiding, buku, majalah, dsb) diproses dengan sebuah alat (scanner) untuk menghasilkan dokumen elektronik. Ini tidak diperlukan lagi apabila dokumen elektronik sudah menjadi standar dalam proses dokumentasi sebuah organisasi, maksudnya ketika dalam sebuah lembaga mengedarkan atau mengeluarkan dokumen tercetak mereka juga telah mengarsipkannya kedalam format digital seperti .pdf atau format data lainnya. Berita bagus bahwa saat ini telah banyak media umum atau buku yang telah menyertakan cd atau dvd yang berisi versi digital dan file-file referensi-referensinya.


Gambar. Proses Digitalisasi dokumen

Proses Penyimpanan 
Pada tahap ini dilakukan proses penyimpanan, proses tersebut meliputi : pemasukan data (data entry), editing, pembuatan indeks dan klasifikasi berdasarkan subjek dari dokumen. Klasifikasi bisa menggunakan UDC (Universal Decimal Classification) atau DDC (Dewey Decimal Classfication) yang banyak digunakan di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.

Ada dua metoda dalam proses penyimpanan, yaitu pendekatan berbasis file (file base approach) dan pendekatan basis data (database approach). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kita dapat memilihnya sesuai dengan kebutuhan seperti tabel dibawah ini.

Pada tabel di atas, proses penyimpanan yang menggunakan metode file base approach menyebabkan terjadinya duplikasi data, keterikatan data, adanya format file yang tidak sesuai, dan simple. Sedangkan penyimpanan yang menggunakan database approach, memiliki data yang dapat dibagi dan tidak ada duplikasi data, data dapat diakses dan dimanipulasi dengan mudah, memiliki format yang sesuai serta bersifat kompleks.

Proses Pengaksesan dan Pencarian Kembali Dokumen 
‘Pencarian’, adalah inti seberapa maju layanan dari sebuah koleksi dalam perpustakaan. Semakin mudah dan cepat anggota atau pengunjung menemukan apa yang diinginkan maka mereka akan puas, bersemangat dan kembali lagi. Inti dari proses ini adalah bagaimana kita dapat melakukan pencarian kembali terhadap dokumen yang telah disimpan. Dalam skala besar metode pendekatan database akan lebih fleksibel dan efektif.

Dan menariknya, sifat pendekatan database yang memiliki kebebasan terhadap data (data independence), dengan data yang sama kita bisa membuat interface ke berbagai aplikasi lain baik yang berbasis standalone (clientbase) maupun web-base.

Gambar Pencarian Dokumen dengan Web

Pengembangan Sistem Sesuai Kebutuhan
Sebuah sistem apapun harus merujuk dari proses bisnis yang ada. Karena itulah yang sebenarnya sedang dibutuhkan, maka kalau ada sebuah sistem yang dibuat bukan berdasarkan kebutuhan maka presentase keberhasilannya semakin kecil. Normalnya, seorang petugas atau pemakai tidak ingin menjadi lebih ’sulit’ dan tidak ingin ’ditambahi’ tugasnya tetapi pengin lebih ’gampang’ dan cepat serta akurat dengan adanya sebuah sistem baru.

Idealnya, sistem otomasi perpustakaan yang baik adalah yang terintegrasi, mulai dari sistem pengadaan bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, sistem pencarian kembali bahan pustaka, sistem sirkulasi, membership, pengaturan denda keterlambatan pengembalian, dan sistem reporting aktifitas perpustakaan. Lebih sempurna lagi jika dilengkapi dengan barcoding, dan mekanisme pengaksesan data berbasis web dan internet. Setiap pengunjung disediakan layar berikut keyboard (lebih banyak komputer lebih bagus) untuk melakukan login kemudian mencari buku yang dimaksud, jika ditemukan versi elektroniknya maka bisa langsung dinikmati (dilihat atau didengarkan) tetapi jika ingin membaca langsung tinggal menuju lokasi yang telah ditunjukkan (jika status bukunya berada ditempat). Petugas-pun akan lebih mudah dalam menambah, memantau koleksi pustaka dan menyediakan laporan (report) aktifitas perpustakaan kepada manajemen.

Berikut adalah salah satu contoh sistem otomasi perpustakaan dengan fitur-fitur yang mengakomodasi kebutuhan perpustakaan secara lengkap, dari pengadaan, pengolahan, penelusuran, serta manajemen anggota dan sirkulasi. Diharapkan contoh sistem yang ditampilkan dapat dijadikan studi kasus dalam pengembangan sistem otomasi perpustakaan lebih lanjut.

Otentikasi Sistem 
Sistem akan melakukan pengecekan apakah username dan password yang dimasukkan adalah sesuai dengan yang ada di database. Kemudian juga mengatur tampilan berdasarkan previlege pemilik account, apakah dia sebagai pengguna atau admin dari sistem.

Menu utama 
Menampilkan berbagai menu pengadaan, pengolahan, penelusuran, anggota dan sirkulasi, katalog peraturan, administrasi dan security. Menu ini dapat di setting untuk menampilkan menu sesuai dengan hak akses user (previlege), misal kita bisa hanya mengaktifkan menu penelusuran untuk pengguna umum, dsb

Administrasi, Security dan Pembatasan Akses 
Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk menangani pembatasan dan wewenang user, mengelompokkan user, dan memberi user id serta password. Juga mengelola dan mengembangkan serta mengatur sendiri akses menu yang diinginkan.

Pengadaaan Bahan Pustaka 
Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk pencatatan permintaan, pemesanan dan pembayaran bahan pustaka, serta penerimaan dan laporan (reporting) proses pengadaan.

Pengolahan Bahan Pustaka 
Fitur ini mengakomodasi proses pemasukkan data buku/majalah ke database, penelusuran status buku yang diproses, pemasukkan cover buku/nomer barcode, pencetakan kartu katalog, label barcode, dan nomor punggung buku (call number).

Penelusuran Bahan Pustaka 
Penelusuran atau pencarian kembali koleksi yang telah disimpan adalah suatu hal yang penting dalam dunia perpustakaan. Fitur ini harus mengakomidasi penelusuran melalui pengarang, judul, penerbit, subyek, tahun terbit, dsb.

Manajemen Anggota dan Sirkulasi 
Ini termasuk jantungnya sistem otomasi perpustakaan, karena sesungguhnya disiniah banyak kegiatan manual yang digantikan oleh komputer dengan jalan mengotomasinya. Didalamnya terdapat berbagai fitur diantaranya: pemasukkan dan pencarian data anggota perpustakaan, pencatatan peminjaman dan pengembalian buku (dengan teknologi barcoding), penghitungan denda keterlambatan pengembalian buku, dan pemesanan peminjaman buku

Pelaporan 
Sistem reporting yang memudahkan pengelola perpustakaan untuk bekerja lebih cepat, dimana laporan dan rekap dapat dibuat secara otomatis, sesuai dengan parameterparameter yang dapat kita atur. Sangat membantu dalam proses analisa aktifitas perpustakaan, misalnya kita tidak perlu lagi membuka ribuan transaksi secara manual untuk melihat transaksi peminjaman koleksi dalam satu kategori, atau mengecek aktifitas seorang pengguna perpustakaan dalam 1 tahun

Fitur-fitur di dalam Digital Library
Dibawah ini beberapa fitur-fitur yang ada dalam perpustakaan digital, yaitu:

1. Otentikasi Sistem
Melakukan pengecekan apakah username dan password sesuai dengan database.
Termasuk mengatur tampilan berdasarkan previlege pemilik account.

2. Menu Utama
Menampilkan berbagai menu utama yang bisa diatur Administrator.

3. Administrasi, Security dan Hak Akses
Mengangani pembatasan dan wewenang, mengelompokkan user, dan memberi user id serta password.

4. Pengadaan Bahan Pustaka
Mengakomodasi fungsi pencatatan permintaan, pemesanan dan pembayaran bahan pustaka, penerimaan dan laporan (reporting) proses pengadaan.

5. Pengolahan Bahan Pustaka
Mengakomodasi proses pemasukkan data buku/majalah ke database, penelusuran status buku yang diproses, pemasukkan cover buku/nomer barcode, pencetakan kartu katalog, label barcode, dan nomor punggung buku (call number).

6. Penelusuran Bahan Pustaka
Penelusuran atau pencarian kembali koleksi. Fitur ini harus mengakomodasi penelusuran melalui pengarang, judul, penerbit, subyek, tahun terbit, dsb.

7. Manajemen Anggota dan Sirkulasi
Ini termasuk jantungnya sistem otomasi perpustakaan, karena sesungguhnya disinilah banyak kegiatan manual yang digantikan oleh komputer. Didalamnya terdapat berbagai fitur diantaranya: input dan cari anggota, pencatatan peminjaman dan pengembalian buku, penghitungan denda, dan pemesanan peminjaman buku.

8. Pelaporan (Reporting)
Pengelola dapat bekerja lebih cepat. Laporan dan rekap dapat dibuat secara otomatis sehingga sangat membantu dalam proses analisis keputusan. Tanpa harus membuka transaksi manual atau mengecek aktifitas anggota dalam 1 tahun.

Keberadaan perpustakaan yang ideal dan lengkap tidak bisa diwujudkan dalam sekejap. Perlu pentahapan dan perhatian yang khusus tidak hanya sekedar sambilan. Dalam lingkup lembaga atau perusahaan, biasanya perlu bagian khusus untuk menangani hal tersebut biasanya cukup dekat dengan tugas dan bagian litbang. Dalam lingkup keluarga kita sendiri, perlu juga sebuah perpustakaan lho. Mungkin manfaatnya tidak dirasakan sekarang tapi yakinlah bahwa akan sangat berguna sekali untuk esok.

Teknologi Informasi untuk Perpustakaan
Dunia perpustakaan semakin hari semakin berkembang dan bergerak ke depan. Perkembangan dunia perpustakaan ini didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya yang telah merambah ke berbagai bidang. Hingga saat ini tercatat beberapa masalah di dunia perpustakaan yang dicoba didekati dengan menggunakan teknologi informasi.

Dari segi data dan dokumen yang disimpan di perpustakaan, dimulai dari perpustakaan tradisional yang hanya terdiri dari kumpulan koleksi buku tanpa katalog, kemudian muncul perpustakaan semi modern yang menggunakan katalog (index). mengalami metamorfosa menjadi katalog elektronik yang lebih mudah dan cepat dalam pencarian kembali koleksi yang disimpan di perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mulai dialihmediakan ke bentuk elektronik yang lebih tidak memakan tempat dan mudah ditemukan kembali. Ini adalah perkembangan mutakhir dari perpustakaan, yaitu dengan munculnya perpustakaan digital (digital library) yang memiliki keunggulan dalam kecepatan pengaksesan karena berorientasi ke data digital dan media jaringan komputer (internet).

Di sisi lain, dari segi manajemen (teknik pengelolaan), dengan semakin kompleksnya koleksi perpustakaan, data peminjam, transaksi dan sirkulasi koleksi perpustakaan, saat ini muncul kebutuhan akan penggunaan teknologi informasi untuk otomatisasi business process di perpustakaan. Sistem yang dikembangkan dengan pemikiran dasar bagaimana kita melakukan otomatisasi terhadap berbagai business process di perpustakaan, kemudian terkenal dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan (library automation system).

Masalah dan Isu-Isu mengenai Digital Library
Pengembangan perpustakaan digital bukan tidak mengalami hambatan. Ada beberapa hal yang menjadi bahan perhatian, yaitu: 

Kemampuan dan penentuan biaya. Seperti halnya dengan inovasi lain yang membutuhkan suatu investasi, begitu pun perpustakaan digital. Apalagi infrastruktur komputer masih membutuhkan biaya yang besar. 

Masalah hak cipta yang terbagi dua: hak cipta pada dokumen yang didigitalkan dan hak cipta pada dokumen di communication network. Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat jaringan komputer belum didefinisikan dengan jelas. 

Masalah mendigitalkan dokumen. Yaitu bagaimana mendigitalkan dokumen dan jenis penyimpanan digital dokumen, baik berupa full text maupun page image. 



    Masalah penarikan biaya. Hal ini menjadi masalah terutama untuk perpustakaan digital swasta yang menarik biaya atas setiap dokumen yang diakses. Penelitian di bidang ini banyak mengarah ke pembuatan sistem deteksi pengaksesan dokumen atau pun upaya mewujudkan electronic money.

    Dinamika Pengaturan Ham Dalam Konstitusi

    Dinamika Pengaturan Ham Dalam Konstitusi 
    UUD 1945 sebagai norma peraturan perundangan yang tertinggi telah memuat semangat perlindungan, pemihakan dan penegakan HAM. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan, batang tubuh hingga penjelasannya. Namun demikian, karena adanya perubahan (lebih tepatnya amandemen) terhadap UUD 1945, tentunya sedikit banyak akan menyentuh pengaturan tentang HAM itu sendiri.

    Semangat reformasi bangsa ini telah menempatkan pelaksanaan UUD 1945 pada kedudukan yang semestinya. Bahwa UUD 1945 harus diartikan sebagai perwujudan suatu "living constitution", yang membuka horizon-horizon dan spirit pembaharuan sesuai dengan perkembangan kebutuhan warga negara dan pertumbuhan tuntutan atas perikehidupan politik yang sesuai dengan cita-cita negara hukum.

    Dampak globalisasi tidak terbendung, termasuk dalam dimensi hukum. Nilai-nilai hukum yang diyakini di wilayah negara tertentu dapat menembus ke wilayah negara lain tanpa batas secara timbal balik. Maka banyak terjadi adopsi hukum yang terjadi karena adanya interaksi dan interelasi dari masing-masing negara di berbagai wilayah dunia. Meskipun dengan catatan negara-negara yang mempunyai kekuatan dan pengaruh besar dalam percaturan internasional seperti Amerika dan Eropa Barat yang paling banyak dapat memberi pengaruh ke negara-negara lain. 

    Nilai-nilai HAM misalnya banyak diklaim berasal dari Barat, negara-negara di wilayah lain dianggap sebagai pengekor yang hanya membebek apa yang menjadi prinsip-prinsip HAM Barat. Sesungguhnya setiap bangsa sudah memiliki konsep HAM yang tentu secara berbeda satu dengan yang lain bergantung pada latar kultur, sosial ekonomi, letak geografis dan lain-lain faktor. Deklarasi HAM Dunia tahun 1948 yang kemudian diamini sebagian besar bangsa-bangsa di dunia menjadi bukti bahwa nilai-nilai HAM sudah diakui dan dimiliki oleh semua bangsa di dunia tanpa terkecuali.

    Di Indonesia, pada kenyataannya sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, rakyat dicekoki sakralisasi UUD 1945 yang secara terus-menerus mengindoktrinasi dan membentuk sikap masyarakat bahwa UUD 1945 sedemikian sempurnanya, sehingga tidak perlu dirubah, diperbaiki atau diamandemen. Keadaan ini masih didukung dengan sikap otoriter Pemerintah yang membuat kebanyakan orang di Indonesia kehilangan nyali untuk mempersoalkan UUD 1945, karena akan mendapat cap subversif dan tudingan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

    Jika ditilik ke belakang, Bung Karno dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 hanya bersifat sementara, sehingga sakralisasi terhadap UUD 1945 sangat tidak relevan dengan semangat UUD 1945 itu sendiri. Selain itu UUD 1945 disusun dalam waktu singkat dan dalam keadaan darurat sehingga mengandung berbagai kelemahan. Ketidaksempurnaan UUD 1945 ini mengakibatkan dalam penerapannya seringkali menimbulkan berbagai penafsiran atau interpretasi yang diberikan atas dasar pemikiran dan pertimbangan pemerintah sesuai dengan kepentingan pihak pemerintah (penguasa).

    Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru yang berkuasa secara otoriter telah memberi interpretasi sepihak atas UUD 1945. Selama itu pula rakyat tidak mempunyai hak atau keberanian untuk menafsirkan UUD 1945 sesuai dengan sudut pandang, pemikiran serta kepentingan sendiri secara merdeka. Justru UUD 1945 akhirnya menjadi alat legitimasi tindakan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Sejumlah pakar yang merasa prihatin atas keadaan ini tidak mampu untuk membuka dan memasuki secara bebas "ruang publik" yang tidak hanya dikuasai pemerintah, tetapi juga membelenggu kebebasan berekspresi.

    Padahal menurut Bryce, faktor pendorong perlunya UUD dalam suatu negara diantaranya adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak mereka ketika terancam, dengan membatasi tindakan-tindakan penguasa dan adanya keinginan rakyat maupun pemerintah untuk menjamin kehidupan rakyatnya dengan jalan membentuk sistem ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam bentuk tertentu yang menurut aturan-aturan positif dengan maksud agar di kemudian hari tidak akan ada tindakan sewenang-wenang penguasa.

    Dari pendapat Bryce ini, Muchsan menyimpulkan bahwa UUD sebagai sumber hukum yang tertinggi mempunyai dua fungsi yaitu:
    1. Menjamin hak-hak para warga masyarakat, terutama warga negaranya dari tindakan yang sewenang-wenang para penguasa. Dalam negara hukum modern yang bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya sekadar terjaminnya perlindungan hukum terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan tetapi juga setiap anggota warga negara dapat mengembangkan hak-­hak sebagai manusia.
    2. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam aturan-aturan dan ketentuan UUD.

    Bertolak dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, justru seolah-olah menyengsarakan dan memenjarakan rakyat. Jadi, ada sesuatu yang salah dalam UUD 1945 itu sendiri yang mengakibatkan kerancuan dalam kehidupan bernegara yang diantaranya dalam pengaturan HAM. Menurut Muchsan, harus ada bab tersendiri yang mengatur dan merumuskan HAM secara rigid, baik yang berbentuk hak dasar, HAM klasik atau hak sosial sehingga kepastian akan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak asasi dapat dilaksanakan dengan mantap.

    Hak dasar adalah hak-hak yang mendasari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Hak asasi klasik adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati, sehingga erat hubungannya dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan hak sosial adalah hak yang sangat erat kaitannya dengan kelayakan hidup manusia.

    Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa dengan dukungan sebagian besar rakyat telah menimbulkan keberanian masyarakat untuk mempersoalkan UUD 1945. Desakralisasi UUD 1945 merupakan salah satu target gerakan reformasi.

    Tidak bisa dipungkiri, globalisasi di saat-saat reformasi dicanangkan begitu kuatnya merombak tatanan hidup masyarakat Indonesia. Ia telah membawa pengaruh berupa prinsip budaya modernitas yang sangat berbeda, bahkan bisa dikatakan berlawanan dengan prinsip budaya lokal (nasional) di Indonesia. Ketika globalisasi melanda, Indonesia sudah mempunyai sejarah, identitas, koherensi dan corak tersendiri. Keanekaragaman budaya yang luar biasa banyaknya terutama karena pluralitas yang dimiliki bangsa ini.

    Reformasi sebagai buah globalisasi membawa pengaruh luar biasa terhadap aspek kehidupan bangsa termasuk dalam bidang kenegaraan. Apa yang tengah menjadi isu stategis dunia, seperti demokrasi dan HAM segera merangsek mempengaruhi pola pikir bangsa Indonesia, terutama kaum muda dan mahasiswa. Isu ini pula yang kemudian diusung untuk mempertegas gerakan reformasi.

    Akhirnya reformasi menuai hasilnya dengan tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah didudukinya 30 tahun lebih. Puncaknya, tumbang pula sakralisasi konstitusi.

    UUD 1945 telah diamandemen melalui empat kali perubahan dalam Sidang Umum Tahunan MPR tahun 1999, dan ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dan 18 Agustus 2000. Kemudian pada tahun 2001 dan 2002.

    A. UUD 1945 dan Perdebatan HAM
    UUD 1945 merupakan konstitusi negara merdeka yang dirancang oleh tokoh-tokoh yang sebagian besar terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan. Maka dengan dijiwai semangat menegakkan kemerdekaan hampir dapat dipastikan konstitusi ini mengandung hak asasi meskipun dalam penyusunannya sempat diwarnai silang pendapat mengenai pemuatan materi HAM di dalamnya. Yang kemudian muncul adalah kompromi sebagai sebuah keputusan akhir berupa perumusan HAM yang bersifat implisit yang diikuti dengan dalih bahwa hal-hal yang implisit tadi jika diteliti akan banyak ditemukan rumusan-rumusan HAM.

    Memang jika membandingkan tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, maka nampak jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Sering diutarakan alasan akan hal ini adalah bahwa UUD 1945 disusun tiga tahun sebelum diumumkannya The Universal Declaration of Human Right oleh PBB. Sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM PBB tersebut, sehingga dapat dimengerti jika sebagian besar deklarasi PBB itu kemudian banyak diserap dalam kedua konstitusi ini.

    Alasan di atas tak sepenuhnya benar, karena sebelum adanya Deklarasi HAM Universal, sekurang-kurangnya telah ada dua dokumen HAM yang sudah dikenal luas di seluruh dunia, yaitu Declaration of Independence Amerika dan Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen Perancis. Kedua dokumen ini nampak jelas pengaruhnya dalam rumusan HAM PBB yang diumumkan tahun 1948. Tentunya tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo dan Sukiman mengetahui dengan jelas adanya kedua dokumen yang sudah sangat mengglobal tersebut. Hal ini tampak dalam perbedaan pendapat di antara mereka dalam sidang BPUPKI mengenai perlu tidaknya materi HAM diatur secara rinci dalam konstitusi. Tampaknya, tidak adanya perumusan materi HAM dalam UUD 1945 sejak awalnya adalah karena adanya pergulatan pemikiran tentang HAM itu sendiri oleh tokoh-tokoh yang merancang konstitusi tadi.

    Setidaknya ada dua kubu dalam perdebatan materi HAM ini, yaitu kubu Soekarno-Soepomo yang menolak tegas dicantumkannya materi HAM dalam rancangan konstitusi dan kubu Hatta-Yamin yang menginginkan dicantumkannya materi HAM. Kedua kubu ini meskipun sama-sama setuju dengan paham negara kekeluargaan tetapi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap HAM.

    Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa negara Indonesia yang berpaham kekeluargaan tidak dapat menerima materi HAM yang lahir dan paham liberalisme dan individualisme. Sedangkan Hatta dan Yamin mengkhawatirkan tidak diaturnya materi HAM secara eksplisit akan menyebabkan kesewenang-­wenangan tindakan penguasa terhadap rakyat. Dan akhir dari silang pendapat ini adalah dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM yakni pada Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan rumusan yang masih membatasi; hak asasi yang penting memang diakui pelaksanaannya masih harus diatur dengan UU yang dapat dibuat oleh eksekutif (Presiden) bersama legislatif (DPR).

    Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa HAM lahir dari paham individualisme dan liberalisme, jika ditelusuri dari sejarah HAM itu sendirti tidak sepenuhnya benar. Sebelum manusia memasuki jaman modern, jika dilihat dari sejarah agama-agama, usaha penegakan HAM telah dimulai oleh para Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan ke dunia. Kitab Taurat, Injil dan Al Qur'an misalnya, telah memuat materi HAM. Jika dicermati Piagam Madinah (sebagai konstitusi tertulis tentang pemerintahan) dan pidato Rasulullah SAW pada saat hajjatul wada' jelas sekali memuat rumusan HAM yang universal. Hal ini, menurut Yusril, tentu bukan lahir dari paham liberalisme atau individualisme. Doktrin tauhid dan kesatuan universal umat manusia di dalam Islam misalnya adalah sumber ajaran agama ini mengenai HAM.

    Instrumen HAM yang lahir sejak jaman pertengahan hingga abad modern, seperti Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Independence (Amerika, 1776), Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen (Perancis, 1789) dan Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) tidak lahir dari paham liberalisme atau individualisme, melainkan karena tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme dan diktatorisme.

    Magna Charta lahir dari tuntutan para bangsawan dan agamawan untuk membatasi kesewenang-wenangan raja. Petition of Right lahir dari tuntutan Parlemen (house) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of Independence AS lahir sebagai pernyataan kemerdekaan atas penjajahan Inggris. Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen lahir dari tuntutan kolektif Assemble Nationalle (house) untuk membatasi kekuasaan Raja Louise XVI dan melindungi hak-hak rakyat. Universal Declaration of Human Rights PBB merupakan pencerminan kemenangan negara-negara Sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat. 

    Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai dokumen HAM tadi tidak lahir dari paham liberalisme dan individualisme tetapi muncul dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya dengan sejarah untuk menegakkan demokrasi di satu sisi dan perjuangan kemerdekaan di sisi lain.

    Jika dilakukan jelajah historik, secara singkat dapat dikatakan bahwa sejarah negara RI memperlihatkan dinamika yang sama dengan sejarah HAM yang umum, yaitu adanya tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Hal ini mulai diperdebatkan sejak tahun 1945 hingga sekarang. HAM individual melahirkan demokrasi liberal dan negara hukum yang statis dengan peranan negara yang pasif dan berakibat terjadi kesenjangan sosial ekonomi. HAM komunal melahirkan demokrasi terbatas (cenderung otoriter) dengan konsep negara hukum yang dinamis dan berwawasan welfare state. Contoh ekstrem tentang ini dapat ditunjuk AS dan Perancis sebagai pengusung aliran HAM komunal dan negara eks Soviet sebagai gambaran negara dengan HAM yang komunal.

    Muatan HAM di dalam UUD 1945 pada mulanya bersifat sangat fleksibel dalam arti dapat diimplementasikan menurut langgam politik yang ada. Hal ini sesuai dengan sifat UUD 1945 yang fleksibel. Sehingga yang terjadi kemudian, jika kondisi politik sedang demokratis, HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika kondisi politik sedang berada di bawah payung otoritareian, HAM akan mendapat perlakuan buruk. Pada masa sekarang, setelah terwujudnya desakralisasi konstitusi, berupa amandemen terhadap UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR 1999; rumusan HAM mendapatkan perhatian yang besar, yaitu dengan ditambahkan dan ditetapkannya Bab X A tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dan Pasal 28A hingga Pasal 28J. Sehingga dengan sendirinya pengaturan (baca: perlindungan) HAM dalam UUD 1945 yang terdiri dan pembukaan, batang tubuh dan penjelasan mengalami perubahan yang signifikan. 

    Jika didalami perdebatan materi HAM antara kubu Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin, maka tentu yang lebih kontekstual adalah Hatta-Yamin. Bahwa materi HAM betapapun menurut Soekarno-Soepomo tidak perlu diatur dalam konstitusi karena Indonesia berpaham kekeluargaan, jelas tidak dapat diterima. Dicantumkannya materi HAM dalam konstitusi saja masih terdapat berbagai pelanggaran HAM, apalagi jika tidak ada sandaran penegakan di dalamnya, tentu pelanggaran HAM akan lebih marak lagi.

    Perjalanan sejarah Indonesia yang sudah demikian panjang, yang dipengaruhi oleh dinamika berbagai peristiwa yang mewarnainya, telah juga memberi banyak corak terhadap dinamika HAM, baik dalam pengaturan maupun penegakannya.

    Sejarah dinamika HAM Indonesia juga demikian, linier dengan sejarah HAM secara umum. Bahwa ada tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Bahkan sejak adanya pengaturan HAM dalam Pasal 28 UUD 1945, bangsa ini tidak beranjak dari sana. Indonesia masih mengambil langkah moderat untuk mengusung aliran HAM individual seperti AS dan Perancis atau HAM komunal seperti yang diusung negara-negara eks Soviet. 

    Nilai keduanya, baik individual maupun komunal secara bersamaan diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Tapi dalam prakteknya, Indonesia tampaknya akan mengikuti kecenderungan global yang tentu saja bermuara pada nilai-nilai HAM Barat.

    a. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi
    Penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat) belaka. Dan salah satu ciri Negara Hukum adalah adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsekuensi logis dan kenyataan di atas adalah dicantumkannya ketentuan-ketentuan HAM dalam konstitusi kita, UUD 1945.

    Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, tetapi Pembukaan UUD 1945 tidak mengalami amandemen, sehingga "warna" HAM di dalamnya tidak mengalami perubahan sejak disahkan dan berlaku hingga sekarang. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 menurut Ilmu Hukum adalah sebagai pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm), juga merupakan pangkal derivasi (sumber penjabaran normatif) dari Batang Tubuh UUD 1945 dan hukum positif lainnya. Oleh karenanya di dalamnya terdapat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu hakekat dan sifat negara, tujuan negara, kerakyatan (demokrasi), dasar pemerintahan negara dan bentuk susunan persatuan.

    Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dimuat dan dijelaskan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Pokok-pokok pikiran ini meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia yang merupakan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis (convensi). Pokok-pokok pikiran yang mencerminkan adanya pengakuan dan perlindungan HAM ini adalah sebagai berikut:
    a. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    c. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan/perwakilan.
    d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Rumusan HAM secara lebih jelas dapat dilihat dalam isi (teks) Pembukaan UUD 1945 (yang merupakan declaration of independence bangsa Indonesia) dari alinea pertama hingga alinea keempat.[18] Alinea pertama pada hakekatnya merupakan pengaakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka (freedom to be free). Pernyataan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa merupakan pengakuan HAM yang universal untuk hidup bebas dari penindasan bangsa lain dan menegaskan adanya kedudukan yang sejajar atas semua bangsa di dunia. Pengakuan terhadap perikemanusiaan adalah intisari rumusan HAM, karena pada hakekatnya HAM merupakan hak dasariah yang dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena dia manusia.

    Pengakuan perikeadilan dan keadilan yang termuat berurutan dalam alinea pertama dan kedua menunjuk pada norma dasar moral yang universal yang mendasari norma lain, baik di bidang etika atau hukum. Keadilan adalah intisari spiritual Negara Hukum yang mestinya dimiliki oleh setiap bangsa. Bahwa kekuasaan hendaknya dijalankan dengan adil, sehingga dapat tercapai kemakmuran yang merupakan kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.

    Alinea ketiga menyebutkan hasrat bangsa Indonesia untuk berkehidupan yang bebas dan ditutup dengan adanya kemerdekaan rakyat. Jika ditafsirkan secara luas, pernyataan kemerdekaan ini bukan saja merdeka secara eksternal dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga merdeka secara internal. Artinya kemedekaan dari bangsa lain tidak boleh digantikan dengan penindasan oleh bangsa sendiri.

    Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 ditegaskan tujuan pembentukan pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dasar untuk mencapai tujuan ini adalah norma moral universal yaitu kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang sangat sesuai dengan semangat HAM. Sedangkan Dahlan Thaib, secara ringkas menyatakan bahwa dalam alinea keempat terkandung perlindungan HAM dalam berbagai bidang yaitu bidang politik, hukum, sosial, cultural dan ekonomi. Hanya sangat disayangkan bahwa pengaturan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945 tidak begitu banyak, karena perbedaan pendapat para penyusunnya. Kiranya dapat disebutkan di sini bahwa alinea keempat menjadi sangat penting karena di dalamnya memuat dasar negara, Pancasila; yang juga sangat menjiwai semangat, pengakuan dan perlindungan HAM.

    Amandemen UUD 1945 sangat berpengaruh terhadap pengaturan berbagai hal yang terdapat di dalamnya, khususnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945. Yang terlihat di sini kemudian adalah berupa perubahan pasal-pasal, termasuk pasal-pasal yang berkenaan dengan HAM. Apabila diteliti, sejak disahkan dan berlakunya hingga sekarang, banyak sekali ketentuan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang mengatur HAM, yaitu Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33 dan Pasal 34.

    Pasal 27 UUD 1945 yang sekarang terdiri dan 3 ayat menyatakan tentang persamaan di muka hukum (equality befor the law) dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan kewajiban dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 mengisyaratkan adanya kebebasan rakyat Indonesia untuk mendirikan partai polotik dan perserikatan baik yang bersifat sosial politik maupun murni kemasyarakatan (sosial). Pasal 29 memberikan jaminan dan kebebasan bagi setiap warga negara untuk melaksanakan perintah agama (Tuhan) sesuai dengan agama yang dianut. Pasal 31 menegaskan pengakuan pentingnya pendidikan (pengajaran) yang juga merupakan tujuan pembentukan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 32 merupakan jaminan dart perlindungan yang bersifat kultural yang menegaskan upaya pemerintah untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa. Pasal 33 menganut ketentuan-ketentuan economic rights yang berdasarkan asas kekeluargaan (demokrasi ekonomi) demi kemakmuran rakyat. Dan jika dihubungkan dengan Pasal 33, maka Pasal 34 memuat semangat perlindungan terhadap kesejahteraan sosial.

    Setelah amandemen UUD 1945 lahirlah Bab tersendiri yang mengatur tentang HAM, yaitu Bab X A yang terdiri atas 10 pasal, yaitu Pasal 28A hingga Pasal 28J. Bab ini secara eksplisit menyebut berbagai hak asasi manusia dengan jelas.

    Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Bunyi pasal ini sesuai dengan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights yang sejalan dengan semangat penghargaan terhadap eksistensi manusia. Bahwa hidup dan kehidupan manusia hendaknya bebas dari keadaan, tekanan dan ancaman yang membahayakan keselamatan hidupnya, karena ancaman terbesar atas hidup manusia adalah penghilangan hak hidup berupa penghilangan nyawa.

    Pengakuan terhadap hak manusia untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunannya diatur dalam Pasal 28B ayat 1 yang dirangkai dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini mengarahkan orang untuk membentuk keluarga bahagia melalui perkawinan yang sah dan agar hendaknya setiap keluarga memperhatikan kesejahteraan keturunannya.

    Hak mengembangkan diri, mendapat pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya serta untuk memajukan diri diatur dalam Pasal 28C ayat 1 dan 2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak aktualisasi diri, hanya saja semuanya harus diletakkan dalam kerangka kesejahteraan umat manusia dengan membangun masyarakat, bangsa dan negara.

    Equality before the law merupakan asa yang harus ditegakkan dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28D ayat 1. Ayat 2 mengatur hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak dalam suatu hubungan kerja. Sedangkan ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang dirangkai dengan ayat 4 yang memberikan hak atas setiap orang untuk memperoleh status kewarganegaraannya.

    Kebebasan memeluk agama dan beribadah, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan dan bertempat tinggal merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28E ayat 1. Pada ayat 2 disebutkan adanya kebebasan meyakini kepercayaan dan kebebasan untuk berekspresi sesuai dengan hati nuraninya. Sedangkan ayat 3 memberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat.

    Abad informasi dan komunikasi telah membuat dunia ini terasa menjadi sedemikian sempit. Untuk mengembangkan pribadinya manusia perlu mendapatkan berbagai informasi dengan berkomunikasi. Pasal 28F UUD 1945 memberikan jaminan untuk menggunakan segala jenis media yang ada guna memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi.

    Jaminan atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda, serta perlindungan dari rasa takut untuk berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 28G ayat 1. Sedangkan ayat 2 merupakan pernyataan adanya kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain.

    Keinginan setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin diatur dalam Pasal 28H ayat 1, juga tentang hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan adanya pelayanan kesehatan. Ayat 2, 3 dan 4 pasal ini pada dasarnya mengakui adanya persamaan dan keadilan yang menjamin penghargaan martabat manusia dan kebebasan dari sifat sewenang-wenang terhadap hak milik.

    Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 281 ayat 1 pada dasarnya merupakan hak mendasar berupa hak untuk hidup merdeka dalam beragama serta adanya perlindungan dan kepastian hukum yang dirangkai dengan ayat 2 berupa jaminan dari perlakuan diskriminasi. Ayat 3 merupakan pernyataan perlindungan terhadap identitas tradisional. Sedangkan ayat 4 dan 5 menegaskan bahwa masalah HAM adalah tanggung jawab negara yang harus ditegakkan berdasarkan prinsip negara hukum yang demokratis, sehingga pelaksanannya harus dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Jika Pasal 28A hingga Pasal 281 memuat pengaturan mengenai hak, maka pada Pasal 28J ayat 1 dan 2 diatur adanya kewajiban asasi yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang guna menghormati hak dan kebebasan orang lain.

    1. Materi Muatan HAM Dalam UUD 1945
    Perumusan HAM di dalam UUD 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak sebelum zaman kemerdekaan terutama sejak berdirinya Serikat Dagang Islam sampai dengan perdebatan dalam sidang Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Namun, konsep HAM pada waktu itu banyak ditentang oleh pendiri negara sebagai paham barat yang cenderung mendukung paham individualisme dan liberalisme. Di lain pihak Sumobroto dan Marwoto mengatakan UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup di kalangan masyarakat. HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

    Selanjutnya, Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai berikut: (1) Hak untuk menentukan nasib sendiri; (2) Hak akan warga negara; (3) Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum;(4) Hak untuk bekerja; (5) Hak akan hidup layak;(6) Hak untuk berserikat; (7) Hak untuk menyatakan pendapat; (8) Hak untuk beragama; (9) Hak untuk membela negara; (10) Hak untuk mendapat pengajaran;(11) Hak akan kesejahteraan sosial; (12) Hak akan jaminan sosial; (13) Hak atas kebebasan dan kemandirian peradilan;(14 )Hak mempertahankan tradisi budaya;(15) Hak mempertahankan bahasa daerah.

    Tetapi jika merujuk kepada pendapat Harun Al Rasyid, UUD 1945 justru tidak memberikan jaminan akan tegaknya HAM. Pada saat perdebatan antara pihak Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin pada risalah pembentukan pasal 28 UUD 1945 ketentuan HAM akhirnya harus dikaji kembali dengan penetapan Undang-Undang. Dengan kata lain hak tersebut akan ada jika telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Sebaliknya, jika tidak, maka selamanya hak itu tidak akan ditegakkan. Sebenarnya ide untuk mengkaji HAM sudah mulai terbentuk pada saat terbentuknya Panitia IV yang mengkaji tentang perincian hak asasi manusia. Berbagai macam sosialisasi dan kajian literatur tentang HAM telah dilakukan dari mulai sosialisasi kepada cendikiawan, sarjana dan tokoh masyarakat. Namun akhirnya segala usaha tersebut tidak jadi terwujud karena tidak adanya kata sepakat dari anggota MPRS dan akhirnya panitia tersebut dibubarkan pada tahun 1973 dengan ketetapan No. V/MPR/1973. 

    2. Materi Muatan HAM Dalam Konstitusi RIS 1949
    Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 memberikan perbedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negaranya (HAW). Hak Asasi Manusia diatur sebanyak 15 pasal, sedangkan Hak Asasi Warga Negara diatur sebanyak 5 pasal. Sedangkan menurut Jimly, ketentuan HAM di dalam Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 hampir sama. Jimly merangkum semua ketentuan tentang HAM dalam kategori ketentuan mengenai hak kebebasan yang diatur sebanyak 22 butir pasal, larangan atas pelanggaran HAM tersebut sebanyak delapan pasal, serta adanya kewajiban dan tanggung jawab Negara sebanyak 11 pasal.

    Sependapat dengan Jimly Majda melihat bahwa yag perlu dicermati di dalam Konstitusi RIS ini adalah adanya kewajiban hak asasi manusia dan negara. Karena hak dan kewajiban sangatlah terkait satu sama lain maka selain warga Negara, negarapun juga haruslah mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi dari korelasi tersebut. Adapun table kewajiban asasi penguasa ini perlu ditampilkan karena akan menjadi dasar yang perlu dipegang jika saja mekanisme constitutional complain itu telah ada masa itu.

    3. Materi Muatan HAM Dalam UUDS 1950
    Menurtu catatan Soepomo, terdapat tiga perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM, yaitu :
    1. Hak dasar mengenai kebebasan agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang sebagai pada Pasal 18 Konstitusi RIS. Oleh Pasal 18 UUDS 1950, mengenai kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
    2. Di dalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok. Selain itu mengenai masalah perekonomian, dalam UUDS 1950 diatur benar mengenai masalah organisasi-organisasi yang bergerak dibidang ekonomi supaya tidak merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke dalam Pasal 38 UUDS 1950. Adapun dalam Pasal 37 ayat (3) melarang organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan perekonomian negara.
    Karena permasalahan hak warga negara mengenai perekomian cenderung di perhatikan di dalam konstitusi tersebut, maka ditegaskan pula bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (3), hak milik itu adalah fungsi sosial. Dengan ketentuan ini semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengandalkan hak-hak asasi secara individual, tetapi juga lebih fokus kepada fungsi dan manfaat sosial.

    Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.

    Todung Mulya Lubis juga mengatakan bahwa HAM dalam UUDS 1950 jauh lebih luas dengan yang dimuat dalam Konstitusi RIS 1949. Adapun Todung mengatakan bahwa:

    “The Provisional Constitution not only adopted all human rights provisions from 1949 Constitution but also enlarged upon them, causing political figures like Supomo, for One, to argue that the Provisional constitution went too far in recognizing human rights. Indeed, this constitution was the most liberal that Indonesia ever had , if liberalism is to be measured by the number of human rights provisions.”

    Menurut Todung bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengadopsi ketentuan HAM di dalam Konstitusi RIS 1949, tetapi juga mengembangkannya dengan baik meskipun Konstitusi RIS dirasa paling liberal dalam sejarah pembuatan konstitusi dan itupun jika paham liberalisme diatur di dalam ketentuan HAM.

    4. Materi Muatan HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945
    Selanjutnya menurut Todung Mulya Lubis pula, dengan kembalinya kepada UUD 1945 jaminan konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas. Selanjutnya dikatakan:[25]

    “How committed is the 1945 Constitution to human rights?How many article does the 1945 Constitution have on human rights? The answer is, not very many. It is a very short and simple constitution consisting of thirty-seven articles, and only six explicity deal with human rights. It is for this reason that 1945 Constitution has not generally been considered favorable to human rights. The refusal to return to this constitution by a majority of the Konstituante was partly because of the inadequate human rights provisons”.

    Jadi pada saat pasca kembalinya ke UUD 1945, Todung mengatakan bahwa dari 37 pasal di UUD 1945 hanya 6 pasal yang menerangkan mengenai hak asasi manusia. Sehingga dapat diterima jika konstituante menolak kembali kepada UUD 1945 karena tidak cukupnya ketentuan hak asasi manusia tersebut.

    5. Materi Muatan HAM Dalam Perubahan Kedua UUD 1945
    Dengan memasukkan materi Hak Asasi Manusia dalam satu bab yaitu Bab XA sebanyak 10 pasal, Perubahan Kedua UUD 1945 telah membuat suatu kemajuan penting dalam perjuangan HAM dalam konstitusi. Selain itu, penegasan muatan HAM dari teks pasal UUD 1945 seperti pasal 27 Ayat (1), dan (2) dan Pasal 28 masih diadopsi.

    Namun jika dicermati, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua ini tidak memiliki kejelasan. Adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, yaitu:
    1. Ketidakjelasan makna penegakan HAM dari bab Pasal 27 Ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Hal yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak atas equity before the law (persamaan di hadapan hukum).Begitu juga pada Bab XA Pasal 28 F dengan Pasal 28 Tentang hak berserikat dan berkumpul.
    2. Bab XA Pasal 28 C yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Begitu juga halnya dengan Bab XA Pasal 28 E yang menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.

    Langkah-langkah Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Inkuiri

    Langkah-langkah Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Inkuiri 
    Sanjaya (2010:202) menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

    1. Orientasi
    Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini adalah: 
    • Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.
    • Menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan.
    • Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.
    2. Merumuskan Masalah 
    Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki dalam rumusan masalah tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.

    3. Merumuskan Hipotesis
    Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan menebak (berhipotesis) pada setiap anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.

    4. Mengumpulkan Data
    Mengumpulkan data adalah aktivitas menyaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.

    5. Menguji Hipotesis
    Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.

    6. Merumuskan Kesimpulan
    Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan. 

    Alasan rasional penggunaan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah bahwa siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai pelajaran bahasa Indonesia dan akan lebih tertarik terhadap sastra khususnya cerpen jika mereka dilibatkan secara aktif dalam melakukan penyelidikan. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan tulang punggung pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Investigasi ini difokuskan untuk memahami konsep-konsep matematika dan meningkatkan ketrampilan proses berpikir ilmiah siswa. Sehingga diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berpikir ilmiah tersebut.

    Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap pelajaran bahasa Indonesia khususnya pelajaran sastra, khususnya kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa. Pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar, peranan guru dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah harus dikurangi. Dalam teknik inkuiri guru berperan untuk :
    1. Menstimulir dan menantang siswa untuk berpikir.
    2. Memberikan fleksibilitas atau bentuk berinisiatif dan bertindak.
    3. Memberikan dukungan untuk inkuiri.
    4. Menemukan diagnosa kesulitan - kesulitan siswa dan membantu mengatasinya.

    Jenis-jenis Pendekatan Inkuiri
    Pendekatan inkuiri tebagi menjadi tiga jenis berdasarkan besarnya intervensi guru terhadap siswa atau besarnya bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswanya. Ketiga jenis pendekatan inkuiri, tersebut adalah : 

    Inkuiri Terbimbing (guided inquiry approach) 
    Pendekatan inkuiri terbimbing yaitu pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Pendekatan inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Dengan pendekatan ini siswa belajar lebih berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada pendekatan ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri (Robert Slavin. E, 2008:112).

    Pada dasarnya siswa selama proses belajar berlangsung akan memperoleh pedoman sesuai dengan yang diperlukan. Pada tahap awal, guru banyak memberikan bimbingan, kemudian pada tahap-tahap berikutnya, bimbingan tersebut dikurangi, sehingga siswa mampu melakukan proses inkuiri secara mandiri. Bimbingan yang diberikan dapat berupa pertanyaan-pertanyaan dan diskusi multi arah yang dapat mengiring siswa agar dapat memahami konsep pelajaran. 

    Inkuiri Bebas (free inquiry approach) 
    Pada umumnya pendekatan ini digunakan bagi siswa yang telah berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Karena dalam pendekatan inkuiri bebas ini siswa ditempatkan seolah-olah bekerja seperti seorang ilmuwan. Siswa diberi kebebasan menentukan permasalahan untuk diselidiki, menemukan dan menyelesaikan masalah secara mandiri, merancang prosedur atau langkah-langkah yang diperlukan.

    Selama proses ini, bimbingan dari guru sangat sedikit diberikan atau bahkan tidak diberikan sama sekali kepada siswa. Salah satu keuntungan belajar dengan metode ini adalah adanya kemungkinan siswa dalam memecahkan masalah open ended dan mempunyai alternatif pemecahan masalah lebih dari satu cara, karena tergantung bagaimana cara mereka mengkonstruksi jawabannya sendiri. Selain itu, ada kemungkinan siswa menemukan cara dan solusi yang baru atau belum pernah ditemukan oleh orang lain dari masalah yang diselidiki (Robert Slavin. E, 2008:112). 

    Inkuiri Bebas yang dimodifikasikan (modified free inquiry approach) 
    Pendekatan ini merupakan kolaborasi atau modifikasi dari dua pendekatan inkuiri sebelumnya, yaitu : pendekatan inkuiri terbimbing dan pendekatan inkuiri bebas. Meskipun begitu permasalahan yang akan dijadikan topik untuk diselidiki tetap diberikan acuan kurikulum yang telah ada. Artinya, dalam pendekatan ini siswa tidak dapat memilih atau menentukan masalah untuk diselidiki secara sendiri, namun siswa yang belajar dengan pendekatan ini menerima masalah dari gurunya untuk dipecahkan dan tetap memperoleh bimbingan. Namun bimbingan yang diberikan lebih sedikit dari inkuiri terbimbing dan tidak terstruktur.

    Dalam pendekatan inkuiri jenis guru membatasi memberi bimbingan, agar siswa berupaya terlebih dahulu secara mandiri, dengan harapan agar siswa dapat menemukan sendiri penyelesaiannya. Namun, apabila ada siswa yang tidak dapat menyelesaikan permasalahannya, maka bimbingan dapat diberikan secara tidak langsung dengan memberikan contoh-contoh yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, atau melalui diskusi dengan siswa dalam kelompok lain (Robert Slavin. E, 2008:112).

    Berdasarkan pengertian dan uraian dari ketiga jenis pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, penulis memilih Pendekatan inkuiri terbimbing yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan ini penulis lakukan karena dengan pertimbangan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas VII C SMP Sunari Loka Kuta Badung, dimana tingkat perkembangan kognitif siswa masih pada tahap peralihan dari operasi konkrit ke operasi formal, dan siswa masih belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri serta karena siswa masih dalam taraf belajar proses ilmiah, sehingga penulis beranggapan pendekatan inkuiri terbimbing lebih cocok untuk diterapkan.

    Creative Accounting, Mengungkap Manajemen Laba Dan Skandal Akuntansi

    Creative Accounting, Mengungkap Manajemen Laba Dan Skandal Akuntansi 
    Jika ada seseorang berbuat atau melakukan sesuatu diluar kebiasaan dari kebanyakan orang lakukan dan menghasilkan sesuatu yang baik, orang tersebut biasanya dikatakan kreatif. Dalam pengertian tersebut perbuatan orang tadi yg kreatif memang tidak salah, sehingga secara umum istilah kreatif dapat menggambarkan suatu kemampuan berfikir atau bertindak dan menciptakan suatu ide/cara yang berbeda daripada orang lain yang biasanya laksanakan. 

    Dalam pengertian yang lain istilah kraetif dapat juga menyangkut kemampuan berfikir diluar kebiasaan dan biasanya hasilnya bagus. Pada era sekarang dalam bidang atau profesi apapun kita berada, memang selalu dituntut untuk ‘creative’, yang kadangkala dengan ke’kreatif’an kita tersebut sering kita memperoleh pujian atau kekaguman dari pimpinan kita atau orang lain yang menurut mereka hasilnya bermanfaat.

    Semua artian ‘creative’ diatas tentunya akan berbeda jika istilah tersebut kita sambungkan dengan kata lain yaitu ‘creative accounting’ atau kalau itu orangnya, disebut ‘creative accountant’.

    Bila kita mendengar istilah tersebut, sepertinya ada sesuatu hal yang kurang ‘etis’ dan cenderung untuk berpikir/menafsirkan sesuatu yang negative dan berpandangan skeptis serta cenderung untuk tidak menyetujuinya atau paling sedikit kita berpandangan terserah atau netral-netral saja dan tidak memihak. Pengertian yang demikian memang tidak salah dan sah-sah saja, namun apakah memang yang disebut ‘creative accounting’ tersebut demikian?

    Menurut Sulistiawan dan Alvia (2011) ‘creative accounting’ adalah :
    “aktivitas badan usaha (perusahaan) untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi (technics and accounting policies) guna memperoleh hasil yang diinginkan, seperti penyajian nilai asset atau nilai laba yang lebih tinggi (over valued) atau lebih rendah (under valued) tergantung dari motivasi manajemen perusahaan untuk melakukannya”. 

    Menurut pengertian beberapa ahli dalam bidang akuntansi (misal Middleton, 2009), Akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang dapat menginterpretasikan ‘grey area’ (hal yang belum diatur secara pasti) baik teknik ataupun kebijakan akuntansi yang ada dalam standar akuntansi keuangan (SAK) dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari interpretasi tersebut.

    Seperti yang telah diketahui, akuntansi dengan standar yang berlaku (di Indonesia disebut SAK ) adalah standar yang digunakan oleh manajemen (tentunya dengan bantuan akuntan) untuk menyajikan laporan keuangan. Kebenaran dari Laporan keuangan ini yang bertanggungjawab adalah manajemen. Informasi yang ada dalam laporan keuangan menggambarkan kinerja manajemen perusahaan selama periode waktu tertentu yang disajikan oleh manajemen kepada para pemakai (users) seperti investor, kreditor, dan stakeholders lainnya. Praktek pelaporan keuangan trrsebut tentunya tidak bisa lepas dari kebijakan manajemen dalam memilih kebijakan dan metode akuntansi yang sesuai dan dperbolehkan. Kebijakan dan metode yang dipilih tersebut dipengaruhi oleh kemampuan interpretasi standar akuntansi dan kepentingan (interest) dari manajemen sendiri. 

    Standar akuntansi memang mengharuskan adanya pengungkapan (disclosure) atas praktek dan kebijakan akuntansi yg dipilih yang kemudian diterapkan. Dalam proses penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuanagan inilah sangat mungkin terjadinya “asymmetryc Information” atau aliran informasi yang tidak seimbang (sama/simetris) antara pihak penyaji laporan keuangan (manajemen) dan pihak pemakai laporan keuangan (Investor dan Kreditor). Menurut Fama and Jensen (1976) dslam kondisi ini berlakulah ‘Agency Theory” dalam arti kata manajemen memiliki informasi lebih banyak daripada para pemakai laporan keuangan sehingga ‘disinyalir” manajemenn menggunakan informasi tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi yang maksimal.

    Dalam istilah lain, creative Accounting sering juga disebut ‘earning management’, karena pelaku creative accounting sering dipandang sebagai orang yang opportunis. Dalam ‘agency theory’, yang ditandai dengan adanya kontrak antara pemilik perusahaan (principal) dan manajer sebagai pengelola perusahaan (agent) disebutkan bahwa manajer berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan pribadi untuk mengoptimalkan kesejahteraan mereka sendiri, diantaranya melalui adanya bonus yang dijanjikan oleh pemegang saham. Biasanya bonus ini hanya akan ada atau bertambah jika perusahaan memperoleh laba. Semakin besar laba,semakin tinggi jumlah bonus. 

    Untuk itulah beberapa penelitian empiris hasilnya menunjukkan bahwa perilaku yang memotivasi individu atau manajemen melakukan ‘creative accounting’ adalah adanya motivasi bonus, motivasi hutang, motivasi pajak, motivasi penjualan saham perdana (IPO), dan motivasi pergantian direksi atu bahkan motivasi politis.

    LEGAL DAN ETISKAH CREATIVE ACCOUNTING ??.
    Utuk menjawab dan mengulas pertanyaan ini, Velasques (2002) menyatakan bahwa :

    ‘salah satu karakteristik utama standar moral untuk menentukan etis atau tidaknya suatu perbuatan adalah bahwa perbuatan tersebut ‘tidak merugikan orang lain’.

    Cara pandang seseeorang dan pengalaman hidup seseoranglah yang akan berpengaruh terhadap etis tidaknya suatu perbuatan, sehingga saringan yang terbaik dari adanya ‘creative accounting’ atau ‘earning management’ adalah standar moral dan etika.

    Pertanyaan akan timbul, lantas bagaimana menilai perilaku manajemen dalam pelaporan keuangan yang kreatif tersebut?. Dalam penyajian laporan keuangan telah diatur harus ada disclosure (pengungkapan) atas informasi yang ada. Asal disclosure ini sudah memadai (fair) dan sudah memenuhi apa yg diharuskan oleh standar akuntansi, dan manajemen telah menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansi yg dipilih, maka ini sudah boleh dikatakan wajar wajar saja.

    Memang ada dua jenis disclosure yang dapat diterapkan dalam pelaporan keuangan yaitu mandatory disclosure ( pengungkapan wajib) dan voluntary disclosure ( pengungkapan sukarela). Tentunya jika menejemen sudah melaksanakan media disclosure ini dalam menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansinya dan para pengguna laporan keuangan dapat memahaminya dan dapat menilai motivasi yang melatar belakanginya sehingga mereka tidak merasa dirugikan, barangkali ‘creative accounting ‘ atau ‘earning management’ ini dapat dikatakan masih legal dan etis.

    Bentuk ‘CREATIVE ACCOUNTING’ atau ‘EARNING MANAGEMENT’ 
    Terdapat beberapa bentuk atau pola dalam melakukan ‘creative accounting’ atau ‘earning management’, diantaranya adalah :

    Menurut Scott (2000), beberapa bentuk manajemen laba adalah :
    a). Taking a bath. Yaitu mengatur laba tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau sangat rendah dibanding dengan tahun sebelumnya atau tahun yang akan datang. Pola semacam ini sering ditemukan pada organisasi yang mengalami masalah (organization stress). Misalnya, jika manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan kerugian tersebut dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajemen berharap dapat meningkatkan laba pada periode yang akan datang dan manajemen dapat penilaian yang baik dari para pemilik, dan hal ini terutama terjadi ketika akan pemilihan manajemen baru sehingga keselahan kerugian dibebankan kepada manajemen yg lama.
    b). Income minimization (menurunkan laba).

    Dalam hal ini manajer akan menurunkan atau memperkecil laba untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Hal ini dilakukan karena semakin rendah laba yang dilaporkan semakin rendah pula jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

    c). Income maximization (meningkatkan laba)
    Dalam hal ini manajer akan meningkatkan laba dengan tujuan tertentu, misalnya menjelang penjualan saham perdana (IPO= Initial Public Offering), manajemen akan menaikkan labanya dengan harapan akan memperoleh reaksi positif dari pasar (calon pemegang saham) dan ini menunjukkan bahwa perusahaan sangat potensial untuk mendatangkan keuntungan/laba,sehingga sahamnya akan laku di pasar modal.

    d). Income smoothing ( perataan laba).
    Dalam hal ini income smoothing dilakukan dengan meratakan jumlah laba dari tahun ke tahun atau antar tahun dengan tujuan untuk pelaporan eksternal, terutama bagi para investor karena umumnya investor menyukai perusahaan yang labanya relatif stabil dari period eke periode dan tidak fluktuatif.

    TEKNIK CREATIVE ACCOUNTING atau MANAGEMEN LABA.
    BebErapa bentuk atau pola dalam manajemen laba diatas dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik/cara yang jika dilihat secara teoritis dan praktis sangat beragam, mulai dari yang legal maupun yang illegal. Dalam bahasan ini hanya dibatasi pada yang legal saja, yang biasanya digunakan dalam manajemen laba, yaitu :
    a). Mengubah kebijakan akuntansi (accounting policy). Hal ini dimungkinkan karena memang diperbolehkan oleh SAK, misalnya dengan cara menerapkan kebijakan akuntansi lebih awal ataukah menundanya sampai kondisi keuangan perusahaan lebih baik.
    b). Mengubah periode pengakuan pendapatan dan beban (biaya). Hal ini dilakukan dengan mengakui suatu pendapatan atau beban pada periode sekarang ataukah pada periode mendatang. Bukankah kedua hal ini, baik pendapatan dan beban, sangat mempengaruhi besar kecilnya laba yg diperoleh perusahaan?.
    c). Pengakuan biaya yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara pengeluaran tersebut diakui sebagai ongkos (beban/biaya periode ini) ataukah menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas aktiva. Dengan demikian karena investasi aktiva bertambah berarti unsur asset perusahaan malah naik sedangkan biaya berkurang yang akhirnya laba perushaan akan naik.
    d). Membuat estimasi akuntansi, misalnya pengakuan cadangan kerugian piutang, yaitu dengan memperbesar atau memperkecil taksiran piutang yang tidak tertagih/dihapus agar lebih besar atau lebih kecil sehingga akan mempengaruhi komponen biaya/penghapusan piutang.
    e). Reklasifikasi akun ( rekening pembukuan).Dilakukan dengan cara mengubah akun tertentu dengan akun l;ainnya asal tidak menyalahi aturan SAK. MIsalnya mengubah akun Cadangan kerugian piutang menjadi penghapusan piutang, hal ini dilekukan dengan tujuan agar biaya bertambah/berkurang dan laba akan turun/naik.

    ALASAN DILAKUKANNYA CREATIVE ACCOUNTING atau EARNING MANAGEMENT. 
    Terdapat beberapa alasan dilakukannya creative accounting atau earning management, diantaranya adalah :
    a). Dengan melakukan manajemen laba, dapat meningkatkan kepercayaan para pemgang saham (sebagai pemilik) terhadap manajemen perusahaan (sebagai pengelola). Manjemen laba berhubungan erat dengan tingkat atau besaran laba yang biasanya dikaitkan dengan prestasi/kinerja suatu organisasi dan akhirnya bermuara pada besar kecilnya bonus yang akan diterima manajemen/manajer.
    b). Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor. Misalnya dalam kondisi perusahaan yang terancam ‘default’ ( tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutang pada waktunya), perusahaan berusaha menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan atau labanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan posisi ‘bargaining’ yang lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang mengenai hutangnya kepada pihak ktreditor. Manajer menimbulkan kesan yang baik khususnya di depan para kreditor.

    c).Manajemen laba dapat menarik injvestor dan atau calon investor untuk menanamkan modalnya dalam perusahaan, terutama pada saat perusahaan yang ‘go-public’ melakukan Initial Public Offering (IPO).

    Tingkatan 3 : masalah yang dihadapi cukup kompleks dan berhubungan satu sama lain. Pemegan jabatan harus mampu menemukan hubungan antara setiap elemen permasalahan
    - Tingkatan 4 : masalah terdiri dari berbagai elemen t yang hubungannya satu sama lain tidak terlalu jelas. Kemampuan menetapkan pendekatan yang disertai alas an logis diperlukan untuk memecahkan masalah
    - Tingkatan 5 : masalah sangat tidak jelas dan berubah dengan cepat. Elemen yang diketahui sangat terbatas dan pemangku jabatan harus mampu menangkap elemen-elemen baru untuk memecahkan masalah. Seringkali masalah merupakan hal yang baru dan belum pernah dialami sama sekali oleh organisasi.

    Komite harus menentukan tingkatan dimensi untuk setiap jabatan, yang biasanya dilakukan melalui wawancara langsung dengan pemegang jabatan dan atasannya ataupun jika dipandang perlu dengan rekan-rekan kerjanya. Setelah didapatkan semua tingkatan dimensi, nilai tersebut dikonversikan menurut tabel yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga didapatkan nilai untuk skills dan responsibility setiap jabatan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, Anda dapat melihat contoh evaluasi jabatan dengan membuka file “Job Evaluation Form” dan “Tabel Matrix Point”.

    Tahapan yang paling “krusial” dalam proses evaluasi jabatan adalah pada saat penentuan akhir golongan jabatan untuk setiap jabatan yang ada di organisasi tersebut. Setelah komite menghitung total point untuk setiap jabatan, hasil perhitungan serta penggolongan ini dibawa ke forum yang dihadiri oleh seluruh perwakilan divisi/departemen untuk mendapatkan pengesahan. Pada proses ini sering terjadi keberatan dari divisi atau departemen tertentu tentang golongan jabatan di divisi atau departemennya dan juga di divisi atau departemen lainnya. Biasanya, perwakilan divisi menganggap bahwa golongan jabatan di divisi lain terlalu tinggi sedangkan di divisinya sendiri terlalu rendah. Mereka beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab di divisinya merupakan tulang punggung organisasi dan karenanya harus mendapatkan golongan jabatan yang lebih tinggi. Hal ini sangat wajar karena pada akhirnya golongan jabatan akan berhubungan langsung dengan golongan penggajian dan mempengaruhi besar kecilnya gaji seseorang. Untuk itu, komite harus mampu memberikan alasan dan penjelasan-penjelasan yang logis tentang faktor-faktor yang ada pada setiap jabatan. 

    Survei Penggajian
    Dengan melakukan evaluasi jabatan, diharapkan keadilan penggajian di dalam suatu organisasi atau perusahaan dapat tercapai, sehingga jabatan yang memang memberikan sumbangan besar terhadap pencapaian tujuan perusahaan akan mendapatkan imbalan yang lebih besar daripada jabatan lainnya. Atau dengan kata lain, secara internal telah ada keseimbangan dan keadilan dalam sistem imbal jasa. Tetapi bagaimana halnya jika dibandingkan dengan perusahaan lain ? 

    Kita sering mendengar, atau bahkan pernah mengalami sendiri, karyawan yang pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya hanya untuk mendapatkan gaji yang lebih besar. Atau juga kita sering mendengar orang mengatakan bahwa kerja di bank itu enak karena gajinya besar. Atau juga orang mengatakan bahwa jadi salesman di perusahaan A lebih enak daripada di perusahaan B. Sukar memang untuk mengatakan bahwa dugaan-dugaan tersebut benar atau salah dan tentunya ada berbagai hal yang harus dilihat untuk membandingkan hal-hal tersebut. Misalnya, jika seseorang mendapatkan gaji Rp. 1.000.000,- sebulan dengan jam kerja rata-rata 40 jam seminggu, dibandingkan dengan orang lainnya yang mendapatkan gaji Rp. 1.250.000,- sebulan, tetapi harus bekerja nyaris 12 jam setiap harinya untuk jabatan yang sama, siapa yang sebenarnya mendapatkan imbalan lebih layak ? Si A atau si B ? Kalau dilihat dari total gaji bulanan memang B lebih besar, tetapi kalau kita hitung menurut jam kerja, A yang lebih tinggi imbalan jasanya. Ini kalau kita lihat baru dari perbandingan jam kerjanya saja, belum hal lainnya yang mungkin pada akhirnya menunjukkan bahwa sebenarnya A mendapatkan imbalan yang lebih layak.

    Untuk memperbandingkan gaji di satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dikenal suatu kegiatan yang disebut dengan survey penggajian. Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk keadilan eksternal serta berguna untuk menetapkan besaran imbalan agar tetap kompetitif dalam memberikan imbalan kepada karyawan. Memang kegiatan ini bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan spesialis SDM atau Konsultan SDM yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan. Selain itu biasanya hanya perusahaan-perusahaan besar yang mau terlibat dalam kegiatan ini, selain karena biayanya mahal, mereka juga memang harus benar-benar memperhatikan imbalan bagi karyawannya, agar tidak “dibajak” oleh saingannya. Pada dasarnya kegiatan survey penggajian berusaha untuk membandingkan jabatan-jabatan yang ada dalam suatu perusahaan dengan jabatan-jabatan sejenis di berbagai perusahaan lainnya. Biasanya, perbandingan dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang sejenis pula, misalnya diantara sesama perusahaan minyak atau antara perusahaan perbankan. Hasil dari survey ini akan menunjukan apakah suatu perusahaan memberikan imbalan lebih baik, sama atau justru dibawah perusahaan lainnya.