Selasa, 20 September 2016

Mengapa Patologi Birokrasi Terjadi Dalam Pelayanan Publik

Mengapa Patologi Birokrasi Terjadi Dalam Pelayanan Publik 
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.

Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan dalam masyarakat. Inti pemerintahan adalah sistem birokrasi yang diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal melalui fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele.

Gejala patologi (penyakit) birokrasi tersebut telah lama menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Patologi birokrasi merupakan sesuatu yang kompleks, karena memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek organisasional, baik yang menyangkut struktur maupun kultur. Bentuk-bentuk patologi dan berbagai penyebabnya pada dasarnya dapat diidentifikasi, namun terapi atau solusi untuk mengatasinya bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini seperti yang dialami di Indonesia, dimana reformasi birokrasi telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun sampai saat ini sistem birokrasi belum mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

Identifikasi terhadap bentuk-bentuk patologi birokrasi telah dilakukan oleh beberapa pakar administrasi, seperti yang akan diuraikan secara rinci pada bagian tinjauan pustaka. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan itu antara lain Caiden (dalam Jurnal Public Administration Review Vol. 51 No. 6, hal. 492) yang secara alfabetikal merinci adanya 175 penyakit dalam organisasi termasuk birokrasi. Demikian juga halnya dengan Siagian yang mengidentifikasi bentuk-bentuk patologi ke dalam lima kategori kelompok, yaitu: (1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi; (2) Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional; (3) Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif; (5) Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan (Siagian,1994:36). 

Berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, birokrasi publik tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar, karena semua yang termasuk dalam lingkup penyelenggaraan negara tidak terlepas dari koteks public service dan public affairs. Barang dan jasa publik hendaknya dapat dikelola secara efisien dan efektif. Sedangkan konsekuensi dari pengelolaan tersebut menjadi tanggung jawab birokrasi. Dengan demikian peran pemerintah yang sangat strategis tersebut akan banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi publik mampu melaksanakan tugas dan fungsinya.

Tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu melaksanakan kegiatan secara efisien dan efektif, karena selama ini birokrasi diidentikkan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang terlalu besar, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti. Sejumlah patologi birokrasi tersebut menjadi hambatan yang sangat berarti dalam rangka perwujudan suatu pelayanan yang memuaskan masyarakat. Atas dasar itulah sehingga birokrasi Indonesia sangat jauh dari apa yang disebut good governance. 

Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya dan mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.

Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan. Pandangan negatif terhadap birokrasi bukan muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu proses interaksi dalam pola hubungan antara aparat birokrasi dengan masyarakat, baik dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran implementasi kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah sangat lama terdengar keluhan, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan publik ternyata tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah mengalami pergantian selama beberapa kali, tetapi perilaku birokrasi terutama dalam pelayanan publik belum banyak berubah.

Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara garis besar ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber daya manusia dan kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji aspek sumber daya manusia dengan penekanan pada perilaku aparat birokrasi dalam pelayanan publik, terutama perilaku yang berisifat patologis. Perilaku birokrasi yang bersifat patologis bukanlah merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai aspek, seperti struktur birokrasi, serta berbagai aspek yang ada dalam lingkungan, terutama aspek budaya, serta aspek penerapan teknologi, terutama teknologi informasi sebagai penunjang dalam pemberian layanan.

Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik secara umum pada kenyataannya dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun, yang memanfaatkan untuk kepentingan kelancaran jalannya pencapaian tujuan organisasi tersebut. Dalam melaksanakan fungsinya birokrasi dapat tampil dalam dua sisi, yaitu satu sisi yang baik dan satu sisi yang lain adalah menunjukkan gambaran birokrasi yang buruk atau biasa disebut dengan patologi birokrasi.

Patologi birokrasi dalam konteks pemikiran paradigmatis tentu tidak dapat dipisahkan dengan teori Weber tentang birokrasi. Kast dan Rosenzweig (1981) membagi perkembangan paradigmatis dalam bidang pengetahuan organisasi dan manajemen dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Konsep Organisasi dan Manajemen Tradisional, (2) Konsep Perilaku dan Ilmu Manajemen, (3) Konsep Organisasi dan manajemen Modern. Teori Weber dikelompokkan dalam Konsep Organisasi dan Manajemen yang terdapat pada paradigma 1 dan 2 Nicholas Henry atau paradigma 1 Frederickson (Sedarmayanti, 2010:11) 

Kemudian dalam perspektif teori organisasi, patologi birokrasi dapat ditelusuri melalui evolusi teori seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994: 33) bahwa teori organisasi yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah proses evolusi. Selama beberapa dekade, para akademisi dan praktisi dari beberapa latar belakang dan perspektif telah mengkaji dan menganalisis organisasi-organisasi. Dalam pemetaan evolusi teori, Weber berada dalam klasifikasi teoritis tipe 1 yang dicirikan dengan perspektif tujuan rasional dengan tema utama efisiensi-mekanis. Ciri ini mewarnai birokrasi sebagai suatu organisasi yang kemudian dikritik oleh para teoritikus berikutnya yang berada dalam klasifikasi teoritis tipe 2 yang lebih mengutamakan orang dan hubungan manusia. Salah satu teoritikus dalam tipe ini adalah Bennis yang terkenal dengan pidatonya ”matinya birokrasi” (Robbins, 1994:45).

Berdasarkan pemetaan evolusi teori tersebut di atas, maka munculnya patologi birokrasi mungkin salah satu penyebabnya adalah sifatnya yang sangat mekanis, sementara dalam organisasi faktor-faktor yang sifatnya humanis justru memegang peranan yang sangat penting, karena berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki karakteristik yang sangat heterogen. Munculnya berbagai bentuk patologi birokrasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia sebagai aktor kunci dalam penyelenggaraan tugas-tugas organisasi. 

Secara obyektif sebenarnya harus diakui bahwa birokrasi memiliki ciri-ciri ideal dipandang dari aspek formalnya. Menurut Weber (dalam Albrow, 1989:33), secara rasional birokrasi memiliki ciri-ciri, yaitu: Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi professional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam. 

Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal tersebut luntur dan berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan, berarti memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Dengan kata lain, bahwa birokrasi dalam perspektif Weberian adalah birokrasi yang sehat, namun dalam penerapannya mengalami banyak kendala yang menyebabkan birokrasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan birokrasi diasumsikan sebagai organ yang terjangkiti oleh penyakit atau dalam istilah yang lazim disebut dengan patologi birokrasi. 

Istilah “patologi” dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai ilmu tentang penyakit. Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada manusia yang menderita semua jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintah negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal, berbagai “penyakit” yang mungkin sudah “dideritanya” atau mengancam akan “menyerangnya” perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang paling efektif (Siagian, 1994: 35).

Patologi birokrasi dalam konteks ini difahami sebagai kajian dalam Ilmu Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi. Bahkan para ilmuan administrasi publik sudah sejak lama menggunakan istilah patologi birokrasi untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit birokrasi, seperti Gerald E. Caiden (1991) menggunakan istilah bureaupathologies untuk mengemas berbagai bentuk penyakit birokrasi dan Barry Bozeman (2000) menggunakan bureaucratic pathology untuk menjelaskan red-tape sebagai salah satu penyakit birokrasi, serta Sondang P. Siagian (1994) yang meskipun diawal bukunya menjelaskan patologi sebagai ilmu tentang penyakit yang melekat pada organ manusia, namun pada bagian-bagian selanjutnya Siagian menggunakan istilah itu seolah sebagai penyakit dari birokrasi itu sendiri (Dwiyanto, 2011:59) 

Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan, pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lain-lain. Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan. 

Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi adalah dalam rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan dalam teori dan masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).

Belum optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi dikarenakan secara internal masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut pandang aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya yaitu masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan prinsip “knowledge and basic competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi kedekatan atau nepotisme. Kedua, perkembangan dewasa ini cenderung semakin marak praktek “politisasi birokrasi”, menyebabkan terjadi disorientasi terhadap professionalisme dan kompetensi. Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan gemuk, sehingga tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi pemerintahan yang kecil dan rampaing, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum juga dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan renumerasi pegawai, belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan perubahan renumerasi di setiap unit instansi pemerintah. Keenam, penataan alokasi fasilitas kerja pada semua jabatan negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang komprehensif dalam mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan kompetens (Istianto,2011:143). 

Patologi birokrasi dan kendala internal birokrasi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan faktor hambatan yang saling berpengaruh dan bersifat kausalitas. Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya melakukan penyempurnaan dan pembaharuan birokrasi, namun dampak buruk dari patologi birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Menelusuri sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, berbagai upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembaharuan birokrasi, antara lain; Sejak pemerintahan Orde Lama., dengan program “retooling aparatur”. Kemudian pada jaman periode pemerintahan Orde Baru, dengan melalui program “Pengawasan dan Penertiban serta Pendayagunaan Aparatur”. Bahkan di era reformasi dan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kementerian yang menangani pembinaan aparatur birokrasi telah berubah nomenklaturnya menjadi “Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”. Hal ini menunjukkan bahwa fokus perhatian pemerintah kearah perbaikan dalam pembinaan aparatur birokrasi sudah menjadi kebijakan yang lebih prioritas. Meskipun demikian upaya pemerintah yang sudah menunjukkan keseriusan tersebut belum memperlihatkan hasil yang optimal, sehingga melahirkan pertanyaan ada apa dengan birokrasi pemerintah Indonesia?. Pertanyaan ini juga menjadi suatu hal yang mendorong untuk mengkaji dan menelusuri berbagai problematika yang dihadapi birokrasi pemerintah di Indonesia, meskipun dalam lingkup lembaga birokrasi pemerintah yang terbatas yaitu birokrasi pelayanan administrasi pertanahan sebagai bahagian dari sistem kelembagaan birokrasi publik. 

Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuan terdahulu. Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical Framework for the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua penelitian tersebut memang tidak tergolong baru, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga turut menentukan corak dan warna birokrasi saat ini. 

Citra buruk birokrasi juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang. Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto, 2011:75). 

Penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod (2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Hasilnya menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif presiden, penunjukan politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar kepresidenan. 

Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik, yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat yang dibuktikan dengan beberapa fenomena pemberian pelayanan seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan. 

Hal yang sama juga terjadi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN (Dwiyanto, dkk, 2008:193). Berdasarkan observasi, terlihat bahwa aparat sangat membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa. Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.Salah satu imbas dari perilaku birokrasi tersebut adalah adanya kecenderungan penggunbaan perantara dalam menerima layanan. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011: 89) menunjukkan prosentase warga yang menggunakan perantara pada saat mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.

Penelitian yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan dilakukan Yuliana Paris, yaitu “Etika Aparatur dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan Pertanahan DKI Jakarta). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun secara normatif pelayanan pertanahan telah menggunakan Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOOPP), namun praktek penyimpangan dalam pelayanan masih tetap terjadi, seperti; pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui lobi-lobi dan negosiasi dengan para aparat pertanahan diluar prosedur yang telah ditetapkan (Yuliana Paris, 2007:237-238).

Penelitian yang senada dilakukan oleh Baharuddin, “ Signifikansi Kompetensi dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparat Pelayanan Publik (Studi pada Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan komitmen pimpinan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kualitas pelayanan publik, tetapi berpengaruh melalui kinerja aparat. Sedangkan kinerja aparat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan publik (Baharuddin, 2010: 326) 

Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, Business Digest sebagai salah satu lembaga survey ekonomi independen yang hasil penelitiannya dilansir majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), dimana Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik.

Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan suatu hal yang menarik untuk dikembangkan. Kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut. Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengungkap berbagai sisi yang menjadi celah terjadinya patologi birokrasi. 

Secara teoritis maupun praktis, penggunaan perantara dalam berbagai jenis pelayanan berpeluang melahirkan patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara timbal balik, namun disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik, maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti. Apalagi terhadap setting penelitian birokrasi pelayanan administrasi pertanahan, dimana pada umumnya peneliti lebih cenderung mengkaji obyek ini dari perspektif hukum, tanpa memperhatikan dimensi administratif sebagai suatu sistem yang sarat dengan patologi birokrasi. Dimensi inilah yang akan menjadi fokus penelitian yang aspek-aspeknya meliputi; struktur birokrasi, sumber daya manusia, penerapan teknologi dan lingkungan budaya. Berbagai aspek tersebut akan dikaji secara sistemik, sehingga hasil penelitian diharapkan lebih bersifat holistik dan substantif. Atas dasar inilah, sehingga penelitian ini dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai kebaruan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar