Mengapa Patologi Birokrasi Terjadi Dalam Pelayanan Publik
Birokrasi
merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak
mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari
diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu
untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai
perwujudan dari kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat
langsung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh
rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial
rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang terbaik
bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu sistem
administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang
disebut dengan istilah birokrasi.
Sekalipun
tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran
pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi,
distribusi, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini
harus dilaksanakan oleh pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan
dalam masyarakat. Inti pemerintahan adalah sistem birokrasi yang
diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal melalui
fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi
pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan
untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga
seringkali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya
pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele.
Gejala
patologi (penyakit) birokrasi tersebut telah lama menggerogoti sistem
birokrasi pemerintahan di Indonesia. Patologi birokrasi merupakan
sesuatu yang kompleks, karena memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek
organisasional, baik yang menyangkut struktur maupun kultur.
Bentuk-bentuk patologi dan berbagai penyebabnya pada dasarnya dapat
diidentifikasi, namun terapi atau solusi untuk mengatasinya bukanlah
suatu hal yang mudah. Hal ini seperti yang dialami di Indonesia, dimana
reformasi birokrasi telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun sampai
saat ini sistem birokrasi belum mampu mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi.
Identifikasi
terhadap bentuk-bentuk patologi birokrasi telah dilakukan oleh beberapa
pakar administrasi, seperti yang akan diuraikan secara rinci pada
bagian tinjauan pustaka. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan itu
antara lain Caiden (dalam Jurnal Public Administration Review Vol. 51
No. 6, hal. 492) yang secara alfabetikal merinci adanya 175 penyakit
dalam organisasi termasuk birokrasi. Demikian juga halnya dengan Siagian
yang mengidentifikasi bentuk-bentuk patologi ke dalam lima kategori
kelompok, yaitu: (1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya
manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi; (2) Patologi yang
disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan
para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional; (3) Patologi yang
timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar
norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4)
Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang
bersifat disfungsional atau negatif; (5) Patologi yang merupakan akibat
situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan
(Siagian,1994:36).
Berkaitan
dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat,
birokrasi publik tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar,
karena semua yang termasuk dalam lingkup penyelenggaraan negara tidak
terlepas dari koteks public service dan public affairs. Barang dan jasa
publik hendaknya dapat dikelola secara efisien dan efektif. Sedangkan
konsekuensi dari pengelolaan tersebut menjadi tanggung jawab birokrasi.
Dengan demikian peran pemerintah yang sangat strategis tersebut akan
banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi publik mampu melaksanakan tugas
dan fungsinya.
Tantangan
besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu
melaksanakan kegiatan secara efisien dan efektif, karena selama ini
birokrasi diidentikkan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang
terlalu besar, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak
ada standar yang pasti. Sejumlah patologi birokrasi tersebut menjadi
hambatan yang sangat berarti dalam rangka perwujudan suatu pelayanan
yang memuaskan masyarakat. Atas dasar itulah sehingga birokrasi
Indonesia sangat jauh dari apa yang disebut good governance.
Birokrasi
bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit,
menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi
dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur
dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban
yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya
dan mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota
masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat
yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing.
Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi
adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan
negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya
tujuan. Pandangan negatif terhadap birokrasi bukan muncul tanpa alasan,
melainkan melalui suatu proses interaksi dalam pola hubungan antara
aparat birokrasi dengan masyarakat, baik dalam tataran pembuatan
kebijakan maupun dalam tataran implementasi kebijakan, khususnya yang
berkaitan dengan pelayanan publik.
Konteks
hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik sudah sangat lama terdengar keluhan, namun sampai saat ini belum
ada perubahan yang berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian
rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan publik
ternyata tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah mengalami pergantian
selama beberapa kali, tetapi perilaku birokrasi terutama dalam pelayanan
publik belum banyak berubah.
Keberhasilan
penyelenggaraan pelayanan publik secara garis besar ditentukan oleh 3
(tiga) aspek, yaitu: bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber
daya manusia dan kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga aspek
tersebut, maka penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji aspek sumber
daya manusia dengan penekanan pada perilaku aparat birokrasi dalam
pelayanan publik, terutama perilaku yang berisifat patologis. Perilaku
birokrasi yang bersifat patologis bukanlah merupakan hal yang berdiri
sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai aspek, seperti
struktur birokrasi, serta berbagai aspek yang ada dalam lingkungan,
terutama aspek budaya, serta aspek penerapan teknologi, terutama
teknologi informasi sebagai penunjang dalam pemberian layanan.
Birokrasi
sebagai konsep, pengetahuan dan teknik secara umum pada kenyataannya
dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun, yang memanfaatkan untuk
kepentingan kelancaran jalannya pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Dalam melaksanakan fungsinya birokrasi dapat tampil dalam dua sisi,
yaitu satu sisi yang baik dan satu sisi yang lain adalah menunjukkan
gambaran birokrasi yang buruk atau biasa disebut dengan patologi
birokrasi.
Patologi
birokrasi dalam konteks pemikiran paradigmatis tentu tidak dapat
dipisahkan dengan teori Weber tentang birokrasi. Kast dan Rosenzweig
(1981) membagi perkembangan paradigmatis dalam bidang pengetahuan
organisasi dan manajemen dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Konsep
Organisasi dan Manajemen Tradisional, (2) Konsep Perilaku dan Ilmu
Manajemen, (3) Konsep Organisasi dan manajemen Modern. Teori Weber
dikelompokkan dalam Konsep Organisasi dan Manajemen yang terdapat pada
paradigma 1 dan 2 Nicholas Henry atau paradigma 1 Frederickson
(Sedarmayanti, 2010:11)
Kemudian
dalam perspektif teori organisasi, patologi birokrasi dapat ditelusuri
melalui evolusi teori seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994: 33)
bahwa teori organisasi yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah
proses evolusi. Selama beberapa dekade, para akademisi dan praktisi
dari beberapa latar belakang dan perspektif telah mengkaji dan
menganalisis organisasi-organisasi. Dalam pemetaan evolusi teori, Weber
berada dalam klasifikasi teoritis tipe 1 yang dicirikan dengan
perspektif tujuan rasional dengan tema utama efisiensi-mekanis. Ciri ini
mewarnai birokrasi sebagai suatu organisasi yang kemudian dikritik oleh
para teoritikus berikutnya yang berada dalam klasifikasi teoritis tipe 2
yang lebih mengutamakan orang dan hubungan manusia. Salah satu
teoritikus dalam tipe ini adalah Bennis yang terkenal dengan pidatonya
”matinya birokrasi” (Robbins, 1994:45).
Berdasarkan
pemetaan evolusi teori tersebut di atas, maka munculnya patologi
birokrasi mungkin salah satu penyebabnya adalah sifatnya yang sangat
mekanis, sementara dalam organisasi faktor-faktor yang sifatnya humanis
justru memegang peranan yang sangat penting, karena berkaitan langsung
dengan manusia yang memiliki karakteristik yang sangat heterogen.
Munculnya berbagai bentuk patologi birokrasi sangat dipengaruhi oleh
perilaku manusia sebagai aktor kunci dalam penyelenggaraan tugas-tugas
organisasi.
Secara
obyektif sebenarnya harus diakui bahwa birokrasi memiliki ciri-ciri
ideal dipandang dari aspek formalnya. Menurut Weber (dalam Albrow,
1989:33), secara rasional birokrasi memiliki ciri-ciri, yaitu: Para
anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal jabatan mereka. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara jelas. Para pejabat diangkat berdasarkan
suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi professional,
idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui
ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat
diberhentikan. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau
lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi
dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut
pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai baik
dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.
Kalau
dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal tersebut luntur dan
berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan, berarti memerlukan
modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Dengan kata lain, bahwa
birokrasi dalam perspektif Weberian adalah birokrasi yang sehat, namun
dalam penerapannya mengalami banyak kendala yang menyebabkan birokrasi
tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang
menyebabkan birokrasi diasumsikan sebagai organ yang terjangkiti oleh
penyakit atau dalam istilah yang lazim disebut dengan patologi
birokrasi.
Istilah
“patologi” dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai ilmu tentang
penyakit. Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis
penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus
dimaklumi bahwa tidak ada manusia yang menderita semua jenis penyakit
dalam waktu yang bersamaan. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu
birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintah negara mampu
menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya
politis, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal, berbagai “penyakit”
yang mungkin sudah “dideritanya” atau mengancam akan “menyerangnya”
perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya
yang paling efektif (Siagian, 1994: 35).
Patologi
birokrasi dalam konteks ini difahami sebagai kajian dalam Ilmu
Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam
suatu birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi.
Bahkan para ilmuan administrasi publik sudah sejak lama menggunakan
istilah patologi birokrasi untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit
birokrasi, seperti Gerald E. Caiden (1991) menggunakan istilah
bureaupathologies untuk mengemas berbagai bentuk penyakit birokrasi dan
Barry Bozeman (2000) menggunakan bureaucratic pathology untuk
menjelaskan red-tape sebagai salah satu penyakit birokrasi, serta
Sondang P. Siagian (1994) yang meskipun diawal bukunya menjelaskan
patologi sebagai ilmu tentang penyakit yang melekat pada organ manusia,
namun pada bagian-bagian selanjutnya Siagian menggunakan istilah itu
seolah sebagai penyakit dari birokrasi itu sendiri (Dwiyanto, 2011:59)
Berbagai
jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan
dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di
kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau
membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk
biaya-biaya tambahan, pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek
kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lain-lain. Menghadapi berbagai
penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dewasa
ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
Kenyataan
ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu
dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi
adalah dalam rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk
menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah manajerial
daripada sekedar administratif, (2) sebagai respon terhadap skala
penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan dalam teori dan
masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).
Belum
optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi dikarenakan secara internal
masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut
pandang aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan
semestinya yaitu masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan
prinsip “knowledge and basic competention”, tetapi lebih kental dengan
orientasi kedekatan atau nepotisme. Kedua, perkembangan dewasa ini
cenderung semakin marak praktek “politisasi birokrasi”, menyebabkan
terjadi disorientasi terhadap professionalisme dan kompetensi. Ketiga,
desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan gemuk, sehingga
tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi pemerintahan
yang kecil dan rampaing, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan
keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum
juga dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi
bidang kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan
renumerasi pegawai, belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan
perubahan renumerasi di setiap unit instansi pemerintah. Keenam,
penataan alokasi fasilitas kerja pada semua jabatan negeri secara adil
dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang komprehensif dalam
mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan kompetens
(Istianto,2011:143).
Patologi
birokrasi dan kendala internal birokrasi sebagaimana diuraikan di atas,
merupakan faktor hambatan yang saling berpengaruh dan bersifat
kausalitas. Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya
melakukan penyempurnaan dan pembaharuan birokrasi, namun dampak buruk
dari patologi birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan
pembangunan di segala bidang. Menelusuri sejarah penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, berbagai upaya yang telah ditempuh oleh
pemerintah dalam rangka pembaharuan birokrasi, antara lain; Sejak
pemerintahan Orde Lama., dengan program “retooling aparatur”. Kemudian
pada jaman periode pemerintahan Orde Baru, dengan melalui program
“Pengawasan dan Penertiban serta Pendayagunaan Aparatur”. Bahkan di era
reformasi dan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kementerian yang
menangani pembinaan aparatur birokrasi telah berubah nomenklaturnya
menjadi “Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi”. Hal ini menunjukkan bahwa fokus perhatian pemerintah kearah
perbaikan dalam pembinaan aparatur birokrasi sudah menjadi kebijakan
yang lebih prioritas. Meskipun demikian upaya pemerintah yang sudah
menunjukkan keseriusan tersebut belum memperlihatkan hasil yang optimal,
sehingga melahirkan pertanyaan ada apa dengan birokrasi pemerintah
Indonesia?. Pertanyaan ini juga menjadi suatu hal yang mendorong untuk
mengkaji dan menelusuri berbagai problematika yang dihadapi birokrasi
pemerintah di Indonesia, meskipun dalam lingkup lembaga birokrasi
pemerintah yang terbatas yaitu birokrasi pelayanan administrasi
pertanahan sebagai bahagian dari sistem kelembagaan birokrasi publik.
Gambaran
mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui
penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para
ilmuan terdahulu. Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a
Theoritical Framework for the analicys of Power and Communication in
Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi
atas proses politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar
birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan nasional.
Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and
Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989)
melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial,
di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar
loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua
penelitian tersebut memang tidak tergolong baru, namun dalam konteks
analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak
birokrasi di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade yang lalu yang
bagaimanapun juga turut menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.
Citra
buruk birokrasi juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di
Hongkong. Hasil penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia
termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000).
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang
kinerja pelayanan publik dengan menggunakan sejumlah variabel, yaitu
keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente
birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002 yang
dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan kepentingan
birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.
Penelitian
lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku
birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa
budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah
daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi
yang menyimpang. Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo
Budi Santoso (1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan
yang sama bahwa penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sejak zaman
kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan
ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum menunjukkan
perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto,
2011:75).
Penelitian
yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod (2008)
terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Hasilnya menunjukkan bahwa
birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology.
Pertama tidak ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada
kewenangan prerogatif presiden, penunjukan politis dari kongres, dan
sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-moneter tidak
berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan
kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang
jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di
luar kepresidenan.
Penelitian
yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik, yaitu
Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan
di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Hasil penelitian
ini menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat yang dibuktikan dengan
beberapa fenomena pemberian pelayanan seperti tindakan aparat yang
mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari
tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan
munculnya diskriminasi dalam pelayanan.
Hal
yang sama juga terjadi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN
(Dwiyanto, dkk, 2008:193). Berdasarkan observasi, terlihat bahwa aparat
sangat membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna
jasa. Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat
pengguna jasa di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan
oleh aparat birokrasi.Salah satu imbas dari perilaku birokrasi tersebut
adalah adanya kecenderungan penggunbaan perantara dalam menerima
layanan. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011: 89) menunjukkan
prosentase warga yang menggunakan perantara pada saat mengurus pelayanan
untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang disebutkan
terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa
mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.
Penelitian
yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan dilakukan
Yuliana Paris, yaitu “Etika Aparatur dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan
Pertanahan DKI Jakarta). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
meskipun secara normatif pelayanan pertanahan telah menggunakan Standar
Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOOPP), namun praktek
penyimpangan dalam pelayanan masih tetap terjadi, seperti; pemanfaatan
jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui lobi-lobi dan
negosiasi dengan para aparat pertanahan diluar prosedur yang telah
ditetapkan (Yuliana Paris, 2007:237-238).
Penelitian
yang senada dilakukan oleh Baharuddin, “ Signifikansi Kompetensi dan
Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparat Pelayanan Publik (Studi pada
Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten
Gowa). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan komitmen
pimpinan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kualitas pelayanan
publik, tetapi berpengaruh melalui kinerja aparat. Sedangkan kinerja
aparat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan publik
(Baharuddin, 2010: 326)
Berkaitan
dengan kualitas pelayanan publik, Business Digest sebagai salah satu
lembaga survey ekonomi independen yang hasil penelitiannya dilansir
majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), dimana
Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal
kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar
memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan
memiliki pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati
rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik
untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh masalah kualitas
pelayanan publik.
Salah
satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga
tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena
menarik yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya
kecenderungan mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih
menggunakan perantara ketimbang mengurus secara langsung ke tempat
pelayanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah disebutkan di atas
merupakan suatu hal yang menarik untuk dikembangkan. Kecenderungan
penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi pertanahan
memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut. Berkaitan
dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang menjadi
perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses
layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan
administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang
tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang
akan dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengungkap berbagai sisi
yang menjadi celah terjadinya patologi birokrasi.
Secara
teoritis maupun praktis, penggunaan perantara dalam berbagai jenis
pelayanan berpeluang melahirkan patologi birokrasi, meskipun dari satu
sisi pihak pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh
keuntungan secara timbal balik, namun disisi lain akan merugikan
pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan perantara. Fenomena ini
membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik, maka pelayanan
administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti. Apalagi terhadap
setting penelitian birokrasi pelayanan administrasi pertanahan, dimana
pada umumnya peneliti lebih cenderung mengkaji obyek ini dari perspektif
hukum, tanpa memperhatikan dimensi administratif sebagai suatu sistem
yang sarat dengan patologi birokrasi. Dimensi inilah yang akan menjadi
fokus penelitian yang aspek-aspeknya meliputi; struktur birokrasi,
sumber daya manusia, penerapan teknologi dan lingkungan budaya. Berbagai
aspek tersebut akan dikaji secara sistemik, sehingga hasil penelitian
diharapkan lebih bersifat holistik dan substantif. Atas dasar inilah,
sehingga penelitian ini dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai
kebaruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar