Selasa, 20 September 2016

Creative Accounting, Mengungkap Manajemen Laba Dan Skandal Akuntansi

Creative Accounting, Mengungkap Manajemen Laba Dan Skandal Akuntansi 
Jika ada seseorang berbuat atau melakukan sesuatu diluar kebiasaan dari kebanyakan orang lakukan dan menghasilkan sesuatu yang baik, orang tersebut biasanya dikatakan kreatif. Dalam pengertian tersebut perbuatan orang tadi yg kreatif memang tidak salah, sehingga secara umum istilah kreatif dapat menggambarkan suatu kemampuan berfikir atau bertindak dan menciptakan suatu ide/cara yang berbeda daripada orang lain yang biasanya laksanakan. 

Dalam pengertian yang lain istilah kraetif dapat juga menyangkut kemampuan berfikir diluar kebiasaan dan biasanya hasilnya bagus. Pada era sekarang dalam bidang atau profesi apapun kita berada, memang selalu dituntut untuk ‘creative’, yang kadangkala dengan ke’kreatif’an kita tersebut sering kita memperoleh pujian atau kekaguman dari pimpinan kita atau orang lain yang menurut mereka hasilnya bermanfaat.

Semua artian ‘creative’ diatas tentunya akan berbeda jika istilah tersebut kita sambungkan dengan kata lain yaitu ‘creative accounting’ atau kalau itu orangnya, disebut ‘creative accountant’.

Bila kita mendengar istilah tersebut, sepertinya ada sesuatu hal yang kurang ‘etis’ dan cenderung untuk berpikir/menafsirkan sesuatu yang negative dan berpandangan skeptis serta cenderung untuk tidak menyetujuinya atau paling sedikit kita berpandangan terserah atau netral-netral saja dan tidak memihak. Pengertian yang demikian memang tidak salah dan sah-sah saja, namun apakah memang yang disebut ‘creative accounting’ tersebut demikian?

Menurut Sulistiawan dan Alvia (2011) ‘creative accounting’ adalah :
“aktivitas badan usaha (perusahaan) untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi (technics and accounting policies) guna memperoleh hasil yang diinginkan, seperti penyajian nilai asset atau nilai laba yang lebih tinggi (over valued) atau lebih rendah (under valued) tergantung dari motivasi manajemen perusahaan untuk melakukannya”. 

Menurut pengertian beberapa ahli dalam bidang akuntansi (misal Middleton, 2009), Akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang dapat menginterpretasikan ‘grey area’ (hal yang belum diatur secara pasti) baik teknik ataupun kebijakan akuntansi yang ada dalam standar akuntansi keuangan (SAK) dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari interpretasi tersebut.

Seperti yang telah diketahui, akuntansi dengan standar yang berlaku (di Indonesia disebut SAK ) adalah standar yang digunakan oleh manajemen (tentunya dengan bantuan akuntan) untuk menyajikan laporan keuangan. Kebenaran dari Laporan keuangan ini yang bertanggungjawab adalah manajemen. Informasi yang ada dalam laporan keuangan menggambarkan kinerja manajemen perusahaan selama periode waktu tertentu yang disajikan oleh manajemen kepada para pemakai (users) seperti investor, kreditor, dan stakeholders lainnya. Praktek pelaporan keuangan trrsebut tentunya tidak bisa lepas dari kebijakan manajemen dalam memilih kebijakan dan metode akuntansi yang sesuai dan dperbolehkan. Kebijakan dan metode yang dipilih tersebut dipengaruhi oleh kemampuan interpretasi standar akuntansi dan kepentingan (interest) dari manajemen sendiri. 

Standar akuntansi memang mengharuskan adanya pengungkapan (disclosure) atas praktek dan kebijakan akuntansi yg dipilih yang kemudian diterapkan. Dalam proses penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuanagan inilah sangat mungkin terjadinya “asymmetryc Information” atau aliran informasi yang tidak seimbang (sama/simetris) antara pihak penyaji laporan keuangan (manajemen) dan pihak pemakai laporan keuangan (Investor dan Kreditor). Menurut Fama and Jensen (1976) dslam kondisi ini berlakulah ‘Agency Theory” dalam arti kata manajemen memiliki informasi lebih banyak daripada para pemakai laporan keuangan sehingga ‘disinyalir” manajemenn menggunakan informasi tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi yang maksimal.

Dalam istilah lain, creative Accounting sering juga disebut ‘earning management’, karena pelaku creative accounting sering dipandang sebagai orang yang opportunis. Dalam ‘agency theory’, yang ditandai dengan adanya kontrak antara pemilik perusahaan (principal) dan manajer sebagai pengelola perusahaan (agent) disebutkan bahwa manajer berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan pribadi untuk mengoptimalkan kesejahteraan mereka sendiri, diantaranya melalui adanya bonus yang dijanjikan oleh pemegang saham. Biasanya bonus ini hanya akan ada atau bertambah jika perusahaan memperoleh laba. Semakin besar laba,semakin tinggi jumlah bonus. 

Untuk itulah beberapa penelitian empiris hasilnya menunjukkan bahwa perilaku yang memotivasi individu atau manajemen melakukan ‘creative accounting’ adalah adanya motivasi bonus, motivasi hutang, motivasi pajak, motivasi penjualan saham perdana (IPO), dan motivasi pergantian direksi atu bahkan motivasi politis.

LEGAL DAN ETISKAH CREATIVE ACCOUNTING ??.
Utuk menjawab dan mengulas pertanyaan ini, Velasques (2002) menyatakan bahwa :

‘salah satu karakteristik utama standar moral untuk menentukan etis atau tidaknya suatu perbuatan adalah bahwa perbuatan tersebut ‘tidak merugikan orang lain’.

Cara pandang seseeorang dan pengalaman hidup seseoranglah yang akan berpengaruh terhadap etis tidaknya suatu perbuatan, sehingga saringan yang terbaik dari adanya ‘creative accounting’ atau ‘earning management’ adalah standar moral dan etika.

Pertanyaan akan timbul, lantas bagaimana menilai perilaku manajemen dalam pelaporan keuangan yang kreatif tersebut?. Dalam penyajian laporan keuangan telah diatur harus ada disclosure (pengungkapan) atas informasi yang ada. Asal disclosure ini sudah memadai (fair) dan sudah memenuhi apa yg diharuskan oleh standar akuntansi, dan manajemen telah menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansi yg dipilih, maka ini sudah boleh dikatakan wajar wajar saja.

Memang ada dua jenis disclosure yang dapat diterapkan dalam pelaporan keuangan yaitu mandatory disclosure ( pengungkapan wajib) dan voluntary disclosure ( pengungkapan sukarela). Tentunya jika menejemen sudah melaksanakan media disclosure ini dalam menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansinya dan para pengguna laporan keuangan dapat memahaminya dan dapat menilai motivasi yang melatar belakanginya sehingga mereka tidak merasa dirugikan, barangkali ‘creative accounting ‘ atau ‘earning management’ ini dapat dikatakan masih legal dan etis.

Bentuk ‘CREATIVE ACCOUNTING’ atau ‘EARNING MANAGEMENT’ 
Terdapat beberapa bentuk atau pola dalam melakukan ‘creative accounting’ atau ‘earning management’, diantaranya adalah :

Menurut Scott (2000), beberapa bentuk manajemen laba adalah :
a). Taking a bath. Yaitu mengatur laba tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau sangat rendah dibanding dengan tahun sebelumnya atau tahun yang akan datang. Pola semacam ini sering ditemukan pada organisasi yang mengalami masalah (organization stress). Misalnya, jika manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan kerugian tersebut dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajemen berharap dapat meningkatkan laba pada periode yang akan datang dan manajemen dapat penilaian yang baik dari para pemilik, dan hal ini terutama terjadi ketika akan pemilihan manajemen baru sehingga keselahan kerugian dibebankan kepada manajemen yg lama.
b). Income minimization (menurunkan laba).

Dalam hal ini manajer akan menurunkan atau memperkecil laba untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Hal ini dilakukan karena semakin rendah laba yang dilaporkan semakin rendah pula jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

c). Income maximization (meningkatkan laba)
Dalam hal ini manajer akan meningkatkan laba dengan tujuan tertentu, misalnya menjelang penjualan saham perdana (IPO= Initial Public Offering), manajemen akan menaikkan labanya dengan harapan akan memperoleh reaksi positif dari pasar (calon pemegang saham) dan ini menunjukkan bahwa perusahaan sangat potensial untuk mendatangkan keuntungan/laba,sehingga sahamnya akan laku di pasar modal.

d). Income smoothing ( perataan laba).
Dalam hal ini income smoothing dilakukan dengan meratakan jumlah laba dari tahun ke tahun atau antar tahun dengan tujuan untuk pelaporan eksternal, terutama bagi para investor karena umumnya investor menyukai perusahaan yang labanya relatif stabil dari period eke periode dan tidak fluktuatif.

TEKNIK CREATIVE ACCOUNTING atau MANAGEMEN LABA.
BebErapa bentuk atau pola dalam manajemen laba diatas dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik/cara yang jika dilihat secara teoritis dan praktis sangat beragam, mulai dari yang legal maupun yang illegal. Dalam bahasan ini hanya dibatasi pada yang legal saja, yang biasanya digunakan dalam manajemen laba, yaitu :
a). Mengubah kebijakan akuntansi (accounting policy). Hal ini dimungkinkan karena memang diperbolehkan oleh SAK, misalnya dengan cara menerapkan kebijakan akuntansi lebih awal ataukah menundanya sampai kondisi keuangan perusahaan lebih baik.
b). Mengubah periode pengakuan pendapatan dan beban (biaya). Hal ini dilakukan dengan mengakui suatu pendapatan atau beban pada periode sekarang ataukah pada periode mendatang. Bukankah kedua hal ini, baik pendapatan dan beban, sangat mempengaruhi besar kecilnya laba yg diperoleh perusahaan?.
c). Pengakuan biaya yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara pengeluaran tersebut diakui sebagai ongkos (beban/biaya periode ini) ataukah menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas aktiva. Dengan demikian karena investasi aktiva bertambah berarti unsur asset perusahaan malah naik sedangkan biaya berkurang yang akhirnya laba perushaan akan naik.
d). Membuat estimasi akuntansi, misalnya pengakuan cadangan kerugian piutang, yaitu dengan memperbesar atau memperkecil taksiran piutang yang tidak tertagih/dihapus agar lebih besar atau lebih kecil sehingga akan mempengaruhi komponen biaya/penghapusan piutang.
e). Reklasifikasi akun ( rekening pembukuan).Dilakukan dengan cara mengubah akun tertentu dengan akun l;ainnya asal tidak menyalahi aturan SAK. MIsalnya mengubah akun Cadangan kerugian piutang menjadi penghapusan piutang, hal ini dilekukan dengan tujuan agar biaya bertambah/berkurang dan laba akan turun/naik.

ALASAN DILAKUKANNYA CREATIVE ACCOUNTING atau EARNING MANAGEMENT. 
Terdapat beberapa alasan dilakukannya creative accounting atau earning management, diantaranya adalah :
a). Dengan melakukan manajemen laba, dapat meningkatkan kepercayaan para pemgang saham (sebagai pemilik) terhadap manajemen perusahaan (sebagai pengelola). Manjemen laba berhubungan erat dengan tingkat atau besaran laba yang biasanya dikaitkan dengan prestasi/kinerja suatu organisasi dan akhirnya bermuara pada besar kecilnya bonus yang akan diterima manajemen/manajer.
b). Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor. Misalnya dalam kondisi perusahaan yang terancam ‘default’ ( tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran hutang pada waktunya), perusahaan berusaha menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan atau labanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan posisi ‘bargaining’ yang lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang mengenai hutangnya kepada pihak ktreditor. Manajer menimbulkan kesan yang baik khususnya di depan para kreditor.

c).Manajemen laba dapat menarik injvestor dan atau calon investor untuk menanamkan modalnya dalam perusahaan, terutama pada saat perusahaan yang ‘go-public’ melakukan Initial Public Offering (IPO).

Tingkatan 3 : masalah yang dihadapi cukup kompleks dan berhubungan satu sama lain. Pemegan jabatan harus mampu menemukan hubungan antara setiap elemen permasalahan
- Tingkatan 4 : masalah terdiri dari berbagai elemen t yang hubungannya satu sama lain tidak terlalu jelas. Kemampuan menetapkan pendekatan yang disertai alas an logis diperlukan untuk memecahkan masalah
- Tingkatan 5 : masalah sangat tidak jelas dan berubah dengan cepat. Elemen yang diketahui sangat terbatas dan pemangku jabatan harus mampu menangkap elemen-elemen baru untuk memecahkan masalah. Seringkali masalah merupakan hal yang baru dan belum pernah dialami sama sekali oleh organisasi.

Komite harus menentukan tingkatan dimensi untuk setiap jabatan, yang biasanya dilakukan melalui wawancara langsung dengan pemegang jabatan dan atasannya ataupun jika dipandang perlu dengan rekan-rekan kerjanya. Setelah didapatkan semua tingkatan dimensi, nilai tersebut dikonversikan menurut tabel yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga didapatkan nilai untuk skills dan responsibility setiap jabatan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, Anda dapat melihat contoh evaluasi jabatan dengan membuka file “Job Evaluation Form” dan “Tabel Matrix Point”.

Tahapan yang paling “krusial” dalam proses evaluasi jabatan adalah pada saat penentuan akhir golongan jabatan untuk setiap jabatan yang ada di organisasi tersebut. Setelah komite menghitung total point untuk setiap jabatan, hasil perhitungan serta penggolongan ini dibawa ke forum yang dihadiri oleh seluruh perwakilan divisi/departemen untuk mendapatkan pengesahan. Pada proses ini sering terjadi keberatan dari divisi atau departemen tertentu tentang golongan jabatan di divisi atau departemennya dan juga di divisi atau departemen lainnya. Biasanya, perwakilan divisi menganggap bahwa golongan jabatan di divisi lain terlalu tinggi sedangkan di divisinya sendiri terlalu rendah. Mereka beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab di divisinya merupakan tulang punggung organisasi dan karenanya harus mendapatkan golongan jabatan yang lebih tinggi. Hal ini sangat wajar karena pada akhirnya golongan jabatan akan berhubungan langsung dengan golongan penggajian dan mempengaruhi besar kecilnya gaji seseorang. Untuk itu, komite harus mampu memberikan alasan dan penjelasan-penjelasan yang logis tentang faktor-faktor yang ada pada setiap jabatan. 

Survei Penggajian
Dengan melakukan evaluasi jabatan, diharapkan keadilan penggajian di dalam suatu organisasi atau perusahaan dapat tercapai, sehingga jabatan yang memang memberikan sumbangan besar terhadap pencapaian tujuan perusahaan akan mendapatkan imbalan yang lebih besar daripada jabatan lainnya. Atau dengan kata lain, secara internal telah ada keseimbangan dan keadilan dalam sistem imbal jasa. Tetapi bagaimana halnya jika dibandingkan dengan perusahaan lain ? 

Kita sering mendengar, atau bahkan pernah mengalami sendiri, karyawan yang pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya hanya untuk mendapatkan gaji yang lebih besar. Atau juga kita sering mendengar orang mengatakan bahwa kerja di bank itu enak karena gajinya besar. Atau juga orang mengatakan bahwa jadi salesman di perusahaan A lebih enak daripada di perusahaan B. Sukar memang untuk mengatakan bahwa dugaan-dugaan tersebut benar atau salah dan tentunya ada berbagai hal yang harus dilihat untuk membandingkan hal-hal tersebut. Misalnya, jika seseorang mendapatkan gaji Rp. 1.000.000,- sebulan dengan jam kerja rata-rata 40 jam seminggu, dibandingkan dengan orang lainnya yang mendapatkan gaji Rp. 1.250.000,- sebulan, tetapi harus bekerja nyaris 12 jam setiap harinya untuk jabatan yang sama, siapa yang sebenarnya mendapatkan imbalan lebih layak ? Si A atau si B ? Kalau dilihat dari total gaji bulanan memang B lebih besar, tetapi kalau kita hitung menurut jam kerja, A yang lebih tinggi imbalan jasanya. Ini kalau kita lihat baru dari perbandingan jam kerjanya saja, belum hal lainnya yang mungkin pada akhirnya menunjukkan bahwa sebenarnya A mendapatkan imbalan yang lebih layak.

Untuk memperbandingkan gaji di satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dikenal suatu kegiatan yang disebut dengan survey penggajian. Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk keadilan eksternal serta berguna untuk menetapkan besaran imbalan agar tetap kompetitif dalam memberikan imbalan kepada karyawan. Memang kegiatan ini bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan spesialis SDM atau Konsultan SDM yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan. Selain itu biasanya hanya perusahaan-perusahaan besar yang mau terlibat dalam kegiatan ini, selain karena biayanya mahal, mereka juga memang harus benar-benar memperhatikan imbalan bagi karyawannya, agar tidak “dibajak” oleh saingannya. Pada dasarnya kegiatan survey penggajian berusaha untuk membandingkan jabatan-jabatan yang ada dalam suatu perusahaan dengan jabatan-jabatan sejenis di berbagai perusahaan lainnya. Biasanya, perbandingan dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang sejenis pula, misalnya diantara sesama perusahaan minyak atau antara perusahaan perbankan. Hasil dari survey ini akan menunjukan apakah suatu perusahaan memberikan imbalan lebih baik, sama atau justru dibawah perusahaan lainnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar