Creative Accounting, Mengungkap Manajemen Laba Dan Skandal Akuntansi
Jika
ada seseorang berbuat atau melakukan sesuatu diluar kebiasaan dari
kebanyakan orang lakukan dan menghasilkan sesuatu yang baik, orang
tersebut biasanya dikatakan kreatif. Dalam pengertian tersebut perbuatan
orang tadi yg kreatif memang tidak salah, sehingga secara umum istilah
kreatif dapat menggambarkan suatu kemampuan berfikir atau bertindak dan
menciptakan suatu ide/cara yang berbeda daripada orang lain yang
biasanya laksanakan.
Dalam
pengertian yang lain istilah kraetif dapat juga menyangkut kemampuan
berfikir diluar kebiasaan dan biasanya hasilnya bagus. Pada era
sekarang dalam bidang atau profesi apapun kita berada, memang selalu
dituntut untuk ‘creative’, yang kadangkala dengan ke’kreatif’an kita
tersebut sering kita memperoleh pujian atau kekaguman dari pimpinan kita
atau orang lain yang menurut mereka hasilnya bermanfaat.
Semua
artian ‘creative’ diatas tentunya akan berbeda jika istilah tersebut
kita sambungkan dengan kata lain yaitu ‘creative accounting’ atau kalau
itu orangnya, disebut ‘creative accountant’.
Bila
kita mendengar istilah tersebut, sepertinya ada sesuatu hal yang kurang
‘etis’ dan cenderung untuk berpikir/menafsirkan sesuatu yang negative
dan berpandangan skeptis serta cenderung untuk tidak menyetujuinya atau
paling sedikit kita berpandangan terserah atau netral-netral saja dan
tidak memihak. Pengertian yang demikian memang tidak salah dan sah-sah
saja, namun apakah memang yang disebut ‘creative accounting’ tersebut
demikian?
Menurut Sulistiawan dan Alvia (2011) ‘creative accounting’ adalah :
“aktivitas
badan usaha (perusahaan) untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan
akuntansi (technics and accounting policies) guna memperoleh hasil yang
diinginkan, seperti penyajian nilai asset atau nilai laba yang lebih
tinggi (over valued) atau lebih rendah (under valued) tergantung dari
motivasi manajemen perusahaan untuk melakukannya”.
Menurut
pengertian beberapa ahli dalam bidang akuntansi (misal Middleton,
2009), Akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang dapat
menginterpretasikan ‘grey area’ (hal yang belum diatur secara pasti)
baik teknik ataupun kebijakan akuntansi yang ada dalam standar akuntansi
keuangan (SAK) dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan
dari interpretasi tersebut.
Seperti
yang telah diketahui, akuntansi dengan standar yang berlaku (di
Indonesia disebut SAK ) adalah standar yang digunakan oleh manajemen
(tentunya dengan bantuan akuntan) untuk menyajikan laporan keuangan.
Kebenaran dari Laporan keuangan ini yang bertanggungjawab adalah
manajemen. Informasi yang ada dalam laporan keuangan menggambarkan
kinerja manajemen perusahaan selama periode waktu tertentu yang
disajikan oleh manajemen kepada para pemakai (users) seperti investor,
kreditor, dan stakeholders lainnya. Praktek pelaporan keuangan
trrsebut tentunya tidak bisa lepas dari kebijakan manajemen dalam
memilih kebijakan dan metode akuntansi yang sesuai dan dperbolehkan.
Kebijakan dan metode yang dipilih tersebut dipengaruhi oleh kemampuan
interpretasi standar akuntansi dan kepentingan (interest) dari manajemen
sendiri.
Standar
akuntansi memang mengharuskan adanya pengungkapan (disclosure) atas
praktek dan kebijakan akuntansi yg dipilih yang kemudian diterapkan.
Dalam proses penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuanagan
inilah sangat mungkin terjadinya “asymmetryc Information” atau aliran
informasi yang tidak seimbang (sama/simetris) antara pihak penyaji
laporan keuangan (manajemen) dan pihak pemakai laporan keuangan
(Investor dan Kreditor). Menurut Fama and Jensen (1976) dslam kondisi
ini berlakulah ‘Agency Theory” dalam arti kata manajemen memiliki
informasi lebih banyak daripada para pemakai laporan keuangan sehingga
‘disinyalir” manajemenn menggunakan informasi tersebut untuk mengambil
keuntungan pribadi yang maksimal.
Dalam
istilah lain, creative Accounting sering juga disebut ‘earning
management’, karena pelaku creative accounting sering dipandang sebagai
orang yang opportunis. Dalam ‘agency theory’, yang ditandai dengan
adanya kontrak antara pemilik perusahaan (principal) dan manajer sebagai
pengelola perusahaan (agent) disebutkan bahwa manajer berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham,
namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan pribadi untuk
mengoptimalkan kesejahteraan mereka sendiri, diantaranya melalui adanya
bonus yang dijanjikan oleh pemegang saham. Biasanya bonus ini hanya akan
ada atau bertambah jika perusahaan memperoleh laba. Semakin besar
laba,semakin tinggi jumlah bonus.
Untuk
itulah beberapa penelitian empiris hasilnya menunjukkan bahwa perilaku
yang memotivasi individu atau manajemen melakukan ‘creative accounting’
adalah adanya motivasi bonus, motivasi hutang, motivasi pajak, motivasi
penjualan saham perdana (IPO), dan motivasi pergantian direksi atu
bahkan motivasi politis.
LEGAL DAN ETISKAH CREATIVE ACCOUNTING ??.
Utuk menjawab dan mengulas pertanyaan ini, Velasques (2002) menyatakan bahwa :
‘salah
satu karakteristik utama standar moral untuk menentukan etis
atau tidaknya suatu perbuatan adalah bahwa perbuatan tersebut ‘tidak
merugikan orang lain’.
Cara
pandang seseeorang dan pengalaman hidup seseoranglah yang akan
berpengaruh terhadap etis tidaknya suatu perbuatan, sehingga saringan
yang terbaik dari adanya ‘creative accounting’ atau ‘earning
management’ adalah standar moral dan etika.
Pertanyaan
akan timbul, lantas bagaimana menilai perilaku manajemen dalam
pelaporan keuangan yang kreatif tersebut?. Dalam penyajian laporan
keuangan telah diatur harus ada disclosure (pengungkapan) atas informasi
yang ada. Asal disclosure ini sudah memadai (fair) dan sudah memenuhi
apa yg diharuskan oleh standar akuntansi, dan manajemen telah
menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansi yg dipilih, maka ini sudah
boleh dikatakan wajar wajar saja.
Memang
ada dua jenis disclosure yang dapat diterapkan dalam pelaporan keuangan
yaitu mandatory disclosure ( pengungkapan wajib) dan voluntary
disclosure ( pengungkapan sukarela). Tentunya jika menejemen sudah
melaksanakan media disclosure ini dalam menjelaskan kebijakan dan
praktek akuntansinya dan para pengguna laporan keuangan dapat
memahaminya dan dapat menilai motivasi yang melatar belakanginya
sehingga mereka tidak merasa dirugikan, barangkali ‘creative accounting ‘
atau ‘earning management’ ini dapat dikatakan masih legal dan etis.
Bentuk ‘CREATIVE ACCOUNTING’ atau ‘EARNING MANAGEMENT’
Terdapat beberapa bentuk atau pola dalam melakukan ‘creative accounting’ atau ‘earning management’, diantaranya adalah :
Menurut Scott (2000), beberapa bentuk manajemen laba adalah :
a).
Taking a bath. Yaitu mengatur laba tahun berjalan menjadi sangat tinggi
atau sangat rendah dibanding dengan tahun sebelumnya atau tahun yang
akan datang. Pola semacam ini sering ditemukan pada organisasi yang
mengalami masalah (organization stress). Misalnya, jika manajemen harus
melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan kerugian tersebut
dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini manajemen berharap dapat
meningkatkan laba pada periode yang akan datang dan manajemen dapat
penilaian yang baik dari para pemilik, dan hal ini terutama terjadi
ketika akan pemilihan manajemen baru sehingga keselahan kerugian
dibebankan kepada manajemen yg lama.
b). Income minimization (menurunkan laba).
Dalam
hal ini manajer akan menurunkan atau memperkecil laba untuk tujuan
tertentu, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah. Hal ini dilakukan karena semakin rendah
laba yang dilaporkan semakin rendah pula jumlah pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah.
c). Income maximization (meningkatkan laba)
Dalam
hal ini manajer akan meningkatkan laba dengan tujuan tertentu,
misalnya menjelang penjualan saham perdana (IPO= Initial Public
Offering), manajemen akan menaikkan labanya dengan harapan akan
memperoleh reaksi positif dari pasar (calon pemegang saham) dan ini
menunjukkan bahwa perusahaan sangat potensial untuk mendatangkan
keuntungan/laba,sehingga sahamnya akan laku di pasar modal.
d). Income smoothing ( perataan laba).
Dalam
hal ini income smoothing dilakukan dengan meratakan jumlah laba dari
tahun ke tahun atau antar tahun dengan tujuan untuk pelaporan eksternal,
terutama bagi para investor karena umumnya investor menyukai perusahaan
yang labanya relatif stabil dari period eke periode dan tidak
fluktuatif.
TEKNIK CREATIVE ACCOUNTING atau MANAGEMEN LABA.
BebErapa
bentuk atau pola dalam manajemen laba diatas dapat dilakukan dengan
berbagai macam teknik/cara yang jika dilihat secara teoritis dan praktis
sangat beragam, mulai dari yang legal maupun yang illegal. Dalam
bahasan ini hanya dibatasi pada yang legal saja, yang biasanya digunakan
dalam manajemen laba, yaitu :
a).
Mengubah kebijakan akuntansi (accounting policy). Hal ini dimungkinkan
karena memang diperbolehkan oleh SAK, misalnya dengan cara menerapkan
kebijakan akuntansi lebih awal ataukah menundanya sampai kondisi
keuangan perusahaan lebih baik.
b).
Mengubah periode pengakuan pendapatan dan beban (biaya). Hal ini
dilakukan dengan mengakui suatu pendapatan atau beban pada periode
sekarang ataukah pada periode mendatang. Bukankah kedua hal ini, baik
pendapatan dan beban, sangat mempengaruhi besar kecilnya laba yg
diperoleh perusahaan?.
c).
Pengakuan biaya yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara
pengeluaran tersebut diakui sebagai ongkos (beban/biaya periode ini)
ataukah menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas aktiva. Dengan
demikian karena investasi aktiva bertambah berarti unsur asset
perusahaan malah naik sedangkan biaya berkurang yang akhirnya laba
perushaan akan naik.
d).
Membuat estimasi akuntansi, misalnya pengakuan cadangan kerugian
piutang, yaitu dengan memperbesar atau memperkecil taksiran piutang yang
tidak tertagih/dihapus agar lebih besar atau lebih kecil sehingga akan
mempengaruhi komponen biaya/penghapusan piutang.
e).
Reklasifikasi akun ( rekening pembukuan).Dilakukan dengan cara mengubah
akun tertentu dengan akun l;ainnya asal tidak menyalahi aturan SAK.
MIsalnya mengubah akun Cadangan kerugian piutang menjadi penghapusan
piutang, hal ini dilekukan dengan tujuan agar biaya bertambah/berkurang
dan laba akan turun/naik.
ALASAN DILAKUKANNYA CREATIVE ACCOUNTING atau EARNING MANAGEMENT.
Terdapat beberapa alasan dilakukannya creative accounting atau earning management, diantaranya adalah :
a).
Dengan melakukan manajemen laba, dapat meningkatkan kepercayaan para
pemgang saham (sebagai pemilik) terhadap manajemen perusahaan (sebagai
pengelola). Manjemen laba berhubungan erat dengan tingkat atau besaran
laba yang biasanya dikaitkan dengan prestasi/kinerja suatu organisasi
dan akhirnya bermuara pada besar kecilnya bonus yang akan diterima
manajemen/manajer.
b).
Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor.
Misalnya dalam kondisi perusahaan yang terancam ‘default’ ( tidak dapat
memenuhi kewajiban pembayaran hutang pada waktunya), perusahaan berusaha
menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan
pendapatan atau labanya. Dengan demikian hal ini akan memberikan posisi
‘bargaining’ yang lebih baik dalam negosiasi atau penjadwalan ulang
mengenai hutangnya kepada pihak ktreditor. Manajer menimbulkan kesan
yang baik khususnya di depan para kreditor.
c).Manajemen
laba dapat menarik injvestor dan atau calon investor untuk menanamkan
modalnya dalam perusahaan, terutama pada saat perusahaan yang
‘go-public’ melakukan Initial Public Offering (IPO).
Tingkatan
3 : masalah yang dihadapi cukup kompleks dan berhubungan satu sama
lain. Pemegan jabatan harus mampu menemukan hubungan antara setiap
elemen permasalahan
-
Tingkatan 4 : masalah terdiri dari berbagai elemen t yang
hubungannya satu sama lain tidak terlalu jelas. Kemampuan menetapkan
pendekatan yang disertai alas an logis diperlukan untuk memecahkan
masalah
-
Tingkatan 5 : masalah sangat tidak jelas dan berubah dengan
cepat. Elemen yang diketahui sangat terbatas dan pemangku jabatan harus
mampu menangkap elemen-elemen baru untuk memecahkan masalah. Seringkali
masalah merupakan hal yang baru dan belum pernah dialami sama sekali
oleh organisasi.
Komite
harus menentukan tingkatan dimensi untuk setiap jabatan, yang biasanya
dilakukan melalui wawancara langsung dengan pemegang jabatan dan
atasannya ataupun jika dipandang perlu dengan rekan-rekan kerjanya.
Setelah didapatkan semua tingkatan dimensi, nilai tersebut dikonversikan
menurut tabel yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga didapatkan
nilai untuk skills dan responsibility setiap jabatan. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas, Anda dapat melihat contoh evaluasi jabatan
dengan membuka file “Job Evaluation Form” dan “Tabel Matrix Point”.
Tahapan
yang paling “krusial” dalam proses evaluasi jabatan adalah pada saat
penentuan akhir golongan jabatan untuk setiap jabatan yang ada di
organisasi tersebut. Setelah komite menghitung total point untuk setiap
jabatan, hasil perhitungan serta penggolongan ini dibawa ke forum yang
dihadiri oleh seluruh perwakilan divisi/departemen untuk mendapatkan
pengesahan. Pada proses ini sering terjadi keberatan dari divisi atau
departemen tertentu tentang golongan jabatan di divisi atau
departemennya dan juga di divisi atau departemen lainnya. Biasanya,
perwakilan divisi menganggap bahwa golongan jabatan di divisi lain
terlalu tinggi sedangkan di divisinya sendiri terlalu rendah. Mereka
beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab di divisinya merupakan tulang
punggung organisasi dan karenanya harus mendapatkan golongan jabatan
yang lebih tinggi. Hal ini sangat wajar karena pada akhirnya golongan
jabatan akan berhubungan langsung dengan golongan penggajian dan
mempengaruhi besar kecilnya gaji seseorang. Untuk itu, komite harus
mampu memberikan alasan dan penjelasan-penjelasan yang logis tentang
faktor-faktor yang ada pada setiap jabatan.
Survei Penggajian
Dengan
melakukan evaluasi jabatan, diharapkan keadilan penggajian di dalam
suatu organisasi atau perusahaan dapat tercapai, sehingga jabatan yang
memang memberikan sumbangan besar terhadap pencapaian tujuan perusahaan
akan mendapatkan imbalan yang lebih besar daripada jabatan lainnya. Atau
dengan kata lain, secara internal telah ada keseimbangan dan keadilan
dalam sistem imbal jasa. Tetapi bagaimana halnya jika dibandingkan
dengan perusahaan lain ?
Kita
sering mendengar, atau bahkan pernah mengalami sendiri, karyawan yang
pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya hanya untuk
mendapatkan gaji yang lebih besar. Atau juga kita sering mendengar orang
mengatakan bahwa kerja di bank itu enak karena gajinya besar. Atau juga
orang mengatakan bahwa jadi salesman di perusahaan A lebih enak
daripada di perusahaan B. Sukar memang untuk mengatakan bahwa
dugaan-dugaan tersebut benar atau salah dan tentunya ada berbagai hal
yang harus dilihat untuk membandingkan hal-hal tersebut. Misalnya, jika
seseorang mendapatkan gaji Rp. 1.000.000,- sebulan dengan jam kerja
rata-rata 40 jam seminggu, dibandingkan dengan orang lainnya yang
mendapatkan gaji Rp. 1.250.000,- sebulan, tetapi harus bekerja nyaris 12
jam setiap harinya untuk jabatan yang sama, siapa yang sebenarnya
mendapatkan imbalan lebih layak ? Si A atau si B ? Kalau dilihat dari
total gaji bulanan memang B lebih besar, tetapi kalau kita hitung
menurut jam kerja, A yang lebih tinggi imbalan jasanya. Ini kalau kita
lihat baru dari perbandingan jam kerjanya saja, belum hal lainnya yang
mungkin pada akhirnya menunjukkan bahwa sebenarnya A mendapatkan imbalan
yang lebih layak.
Untuk
memperbandingkan gaji di satu perusahaan dengan perusahaan lainnya
dikenal suatu kegiatan yang disebut dengan survey penggajian. Kegiatan
ini bertujuan untuk membentuk keadilan eksternal serta berguna untuk
menetapkan besaran imbalan agar tetap kompetitif dalam memberikan
imbalan kepada karyawan. Memang kegiatan ini bukanlah hal yang mudah dan
sederhana. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan spesialis SDM atau
Konsultan SDM yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan. Selain itu
biasanya hanya perusahaan-perusahaan besar yang mau terlibat dalam
kegiatan ini, selain karena biayanya mahal, mereka juga memang harus
benar-benar memperhatikan imbalan bagi karyawannya, agar tidak “dibajak”
oleh saingannya. Pada dasarnya kegiatan survey penggajian berusaha
untuk membandingkan jabatan-jabatan yang ada dalam suatu perusahaan
dengan jabatan-jabatan sejenis di berbagai perusahaan lainnya. Biasanya,
perbandingan dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang sejenis pula,
misalnya diantara sesama perusahaan minyak atau antara perusahaan
perbankan. Hasil dari survey ini akan menunjukan apakah suatu perusahaan
memberikan imbalan lebih baik, sama atau justru dibawah perusahaan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar