Prinsip-prinsip Etika Profesi Public Relations
1. Prinsip Etika Profesi
Tuntutan
profesional sangat erat dengan suatu kode etik setiap profesi. Kode
etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk
suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang
paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip etika pada umumnya yang berlaku bagi semua orang, juga
berlaku bagi profesional sejauh mereka adalah manusia (Kerap, 1998:44)
Lebih
jauh Kerap (1998) mengatakan pertama, prinsip tanggung jawab adalah
salah satu prinsip bagi kaum profesional. Bahkan sedemikian pokoknya
sehingga seakan tidak harus lagi dikatakan. Karena, sebagaimana
diuraikan di atas, orang yang profesional sudah dengan sendirinya
berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama bertanggung jawab atas
dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain,
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya.
Prinsip
kedua adalah prinsip keadilan. Prinsip ini terutama menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak
dan kepentingan tertentu, khususnya orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya.
Prinsip
ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang
dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka
diberi kebebasan sepenuhnya menjalankan profesinya. Sebenarnya ini
merupakan konsekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Hanya saja
prinsip otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi
dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan
moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan
masyarakat. kedua, otonomi itu juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum
profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut
campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan
umum.
Keempat,
prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat ciri-ciri profesi di
atas, terlihat jelas bahwa orang yang profesional juga orang yang punya
integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena itu punya komitmen
pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga
kepentingan orang lain atau masyarakat.
2. Ihwal Etika
Sebagai
pedoman baik buruknya perilaku, etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas
moral yang dipakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya
perilaku manusia atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia.
(Sobur, 2001:5)
Ditinjau
dari sudut ilmu komunikasi seorang pejabat humas adalah komunikator
organisasional, bukan komunikator individu seperti seorang kiai memimpin
pesantren atau seorang dosen perguruan tinggi (Effendy, 1998:164)
Menurut
Effendy (1998), pejabat humas bergiat melayani publik sebagai wakil
organisasi tempat ia bekerja. Apa yang ia katakan dan ia lakukan
menyangkut nilai dirinya dan citra organisasinya. Oleh karena itu
seorang profesional organisasional, harus menjadi sumber kredibilitas,
dalam arti kata sebagai seorang profesional ia harus dapat dipercaya,
beritikad baik serta bersikap dan berperilaku terpuji.
Seorang
profesional organisasi kegiatannya menyangkut penilaian masyarakat,
sehingga banyak organisasi yang berkaitan dengan profesionalisme
menyusun suatu kode etik yang wajib dipatuhi oleh para anggota
organisasi tersebut. Demikian, maka di masyarakat dikenal berbagai kode
etik, misalnya kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik
periklanan, kode etik hubungan masyarakat dan lainnya. Tujuan diadakan
kode etik tersebut ialah agar para anggota organisasi bersangkutan
mempunyai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka manjaga
citra organisasi.
3. Pengertian Etika
Berbicara
mengenai pengertian etika, Effendy (1998) menyebutkan istilah etika
mempunyai dua pengertian, secara luas dan secara sempit. Secara luas,
dilihat dari istilah bahasa Inggris yakni ethics. Secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani ethica yang berarti cabang filsafat mengenai
nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya
itu benar atau salah, baik atau buruk; dengan kata lain itu benar atau
salah, baik atau buruk, dengan kata lain etika adalah filasafat moral
yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak.
Etika
dalam pengertian sempit atau dalam bahasa Inggris ethic (tanpa”s”)
secara etimologis berasal dari bahasa Latin “ethicus” atau bahasa Yunani
“ethicos” yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral.
Pendapat
Kenneth E. Andersen, yang disitir Effendy (1998), mendefinisikan etika
sebagai suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya.
Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan
atau keburukan dan bagaimana seharusnya.
Ia
menyebutkan pula istilah-istilah etika (ethics, ethic), etis (ethical)
moralitas dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga
membingungkan.
Tetapi
etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu
tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga
patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat tidaknya hukuman yang
dikenakan bergantung pada tindakan yang dilakukan.
Banyak
perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atau atas kehendaknya,
seperti mencangkul kebun, membersihkan mobil, mendirikan rumah, atau
membunuh seseorang yang direncanakan.
Dalam
kasus pembunuhan, penilaian terhadap perbuatan seperti itu bergantung
apakah direncanakan atau tidak. Itu semua berkaitan dengan hukuman yang
dijatuhkan kepada si pembunuh tersebut.
Tetapi
etika tidak membuat seorang menjadi baik, menunjukkan kepadanya baik
buruknya perbuatan itu. Meskipun demikian, etika turut mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban
sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana seharusnya.
Memang
manusia hidup dalam rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan.
Franz
Von Magnis dalam bukunya Etika Umum menyatakan bahwa jaringan norma
seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita dari tindakan sesuai dengan
keinginan kita, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya
kita benci. (Effendy, 1998:165)
Ada
batas-batas yang mencegah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita
inginkan dan yang bisa kita lakukan. Sebaiknya ada sesuatu yang harus
kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dalam hubungan itu,
Von Magnis memberikan contoh sebagai berikut:
- Saya haus dan di warung ada bir dan saya cukup kuat untuk mengambilnya meskipun si pemilik warung tidak setuju tetapi saya tidak boleh mengambilnya karena tidak bawa uang.
- Saya ingin mencium seorang wanita tapi tidak boleh karena dia dan saya telah kawin, tetapi masing-masing dengan orang yang berbeda.
- Saya sedang enak duduk di kursi, tetapi harus bangkit untuk menyambut tamu yang datang.
Sebaiknya
banyak yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan.
Contoh untuk itu misalnya harus disuntik sebelum berangkat ke luar
negeri. Seorang petinju harus bersalaman dengan lawannya yang akan
dipukul jatuh.
4. Etika dan Citra
Pentingnya
pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilan
(profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra (image) organisasi
yang diwakilinya.
Dua
konsep penting dari humas tersebut diidentifikasikan oleh G.Sachs dalam
karyanya The Extent and Intention of PR/Information Activities sebagai
berikut: “Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita sikap-sikap
terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Penampilan (profile) adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap
kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan”.
Penjelasan
G. Sachs, yang disitir Effendy (1998), dapat disimak bahwa citra adalah
dunia sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi
kita sendiri dari titik pandang mengenai kita.
Sifat
penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan
efek tertunda serta menjadi subyek berbagai kendala dan gangguan.
Sehubungan
dengan informasi dan komunikasi itu, timbul beberapa pertanyaan:
informasi apa yang dikomunikasikannya, siapa yang mengkomunikasikannya,
siapa yang menjadikan sasaran komunikasinya, dan lain sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan citra penampilan, tampak bahwa citra dan penampilan
tidak pernah serupa dan tidak pernah tepat. Citra menjadi sasaran
faktor-faktor yang sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai
faktor-faktor yang dapat kita pengaruhi dan yang mempengaruhi citra
kita, jelas bahwa kegiatan pengkomunikasian informasi yaitu cara
menyalurkan penampilan kita sangatlah penting karena merupakan kebijakan
informasi.
Citra
dan penampilan dalam kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral sudah
disadari dan dipermasalahkan sejak lama, sejak humas
dikonseptualisasikan, lebih–lebih setelah didirikan International Public
Relation Association (IPRA).
IPRA
Code of Conduct, yaitu kode etik atau kode perilaku dari organisai
humas internasional itu, diterima dalam konvensinya di Venice pada bulan
Mei 1961. Berikut ini adalah ikhtisar dari kode etik tersebut.
1)
Integritas pribadi dan profesional (standar moral yang tinggi),
reputasi yang sehat, ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA.
2)
Perilaku klien dan karyawan: (1) perlakuan yang adil terhadap klien
dan karyawan, (2) tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing
tanpa persetujuan, (3) menjaga kepercayaan klien dan karyawan, (4) tidak
menerima upah, kecuali dari klien lain atau majikan lain, (6) menjaga
kompensasi yang tergantung pada pencapaian suatu hasil tertentu.
3)
Perilaku terhadap publik dan media: (1) memperhatikan kepentingan
umum dan harga diri seseorang, (2) tidak merusak integritas media
komunikasi, (3) tidak menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu
atau menyesatkan, (4) memberikan gambaran yang dapat dipercaya mengenai
organisasi yang dilayani, (5) tidak menciptakan atau menggunakan
pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan khusus atau
kepentingan pribadi yang tidak terbuka.
4)
Perilaku terhadap teman sejawat: (1) tidak melukai secara sengaja
reputasi profesional atau praktek anggota lain, (2) tidak berupaya
mengganti anggota lain dengan karyawannya atau kliennya, (3) bekerja
sama dengan anggota lain dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan kode
etik ini.
5. Perihal Etiket
Istilah
etiket sebagai terjemahan dari bahasa Perancis etiquette secara harfiah
berarti peringatan, secara maknawi menurut The Random House Dictionary
of The English Language, berarti persyaratan konvensional mengenai
perilaku sosial (conventional requirements as to social behavior). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etiket diartikan sebagai tata cara dalam
masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama
manusianya.
Definisi
di atas menjelaskan bahwa etiket adalah peraturan, baik secara tidak
tertulis maupun tertulis, mengenai pergaulan hidup manusia dalam suatu
masyarakat yang beradab. Perkataan “beradab” menunjukkan bahwa seseorang
merasa dirinya beradab harus mengenal tata cara hidup dalam pergaulan
dengan manusia lain. Apabila ia tidak peduli akan etiket pergaulan, maka
ia akan dinilai tidak beradab. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan beradab atau peradaban itu? Peradaban atau sivilisasi
(civilization), menurut kamus di atas berarti sebuah keadaan masyarakat
manusia yang maju yang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu
pengetahuan, industri, dan pemerintahan pada tingkat tinggi (an advance
state of human society, in which a high level of culture, science,
industry, and government has been reach).
Etiket
berkaitan dengan tata cara pergaulan modern yang biasanya dihubungkan
dengan kehidupan bangsa barat yang memang telah mencapai taraf
kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan yang tinggi.
Etiket
dalam hal tertentu berhubungan dengan etika, tetapi tidak selalu, sebab
etika seperti telah dijelaskan tadi berhubungan dengan penilaian benar
atau salah dan baik atau buruk yang dilakukan secara sengaja. Seorang
yang berperilaku tidak etis dalam arti kata tidak mempedulikan etika
adalah menyinggung perasaan orang lain, kelompok lain, atau bangsa lain,
karena tindakannya dilakukan dengan sengaja.
Etiket
tidak demikian. Seseorang yang tidak tahu etiket tidak dapat dinilai
tidak etis. Etiket berfungsi seseorang dinilai beradab sebagaimana
disinggung diatas. Demikianlah dalam pergaulan modern dikenal etiket
berpakaian, etiket makan, etiket minum, etiket bertamu, dan lain
sebagainya.
Paparan
di atas merupakan isyarat para pejabat humas betapa pentingnya etika
dan etiket bagi para pejabat humas dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari, sebab penampilannya menyangkut citra organisasi yang
diwakilinya.
Kolonel
William P. Nickols, Direktur Humas Angkatan Darat Amerika Serikat,
pernah menyajikan suatu ilustrasi yang sangat bagus kepada para
tarunanya mengenai pentingnya penjagaan citra organisasi yang menjadi
tanggung jawab humas. Dia berucap begini:
Humas
adalah ibarat cermin yang Anda pegang di depan organisasi Anda,
sehingga Anda, organisasi yang Anda wakili, dan publik, dapat melihat
segala sesuatu yang tampak pada cermin tersebut. Jika cermin itu retak,
kotor dan banyak goresan, akan memantulkan gambaran atau citra yang
rusak di wajah organisasi Anda yang sebenarnya. Akan tetapi, apabila
cermin itu bersih cemerlang akan memperlihatkan wajah organisasi Anda
yang sebenarnya pula, terang dan jelas. Misalkan pada wajah organisasi
Anda terdapat noda, apakah karena penampilan Anda, kebijaksanaan Anda,
atau kegiatan yang Anda lakukan, maka itu semua dengan mudah dapat
menyentuh perasaan publik Anda. Cermin yang cacat tidak akan dapat
menunjukkan noda-noda tadi. Dan Anda, demikian pula organisasi Anda dan
publik Anda tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Sebaliknya cermin yang utuh cemerlang akan membangkitkan perhatian untuk
segera menghilangkan noda-noda tersebut.
Jadi
humas diibaratkan cermin, dan yang bertugas memelihara dan bertanggung
jawab atas kebersihan itu adalah pejabat humas beserta staf yang
dipimpinnya dengan cara senantiasa menjaga etika dan etiket dalam
pergaulan hidup sehari-hari, baik dengan publik internal maupun
eksternal.
6. Etika Dalam Kegiatan Public Relations
Telah
kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah dalam hal pengertian wujud
manusia (human being), melainkan proses rohaniah yang tertuju kepada
kebahagiaan yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, tingkah
laku dan lain-lain, serta aspek-aspek yang menyangkut kejiwaan yang
terdapat dalam diri manusia (Soekotjo, 1993:102).
Menurut
Soekotjo (1993), karena itu dalam konteks hubungan di Indonesia, yang
baik terlebih lagi sebagai insan humas, maka akan tampak betapa
pentingnya faktor etika. Disebut orang penting karena sebelum
melaksanakan hubungan manusia, sikap etis harus tercermin terlebih
dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak menyangkut
hubungan manusia.
Terlebih
lagi sebagai manusia Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih
tampak di mana-mana, sikap etis seorang pemimpin terhadap bawahannya
menjadi sangat penting karena seorang pemimpin harus mencerminkan sikap
seorang panutan yang akan disegani oleh bawahan dan rekan-rekan
sekerjanya. Aturan pertama dan pokok dari segala etika: Do what you want
from others do to you?.
Dalam
hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah yang
harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang
humas harus menguasai etika-etika yang umum dan tidak umum antara lain:
1) Good communicator for internal and external public
2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
3)
Memberikan kepada bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan
sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka merasa
diakui/dibutuhkan)
4) Etika sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan
6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
7)
Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat
memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana
8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
9) Penuh dedikasi dalam profesinya
10) Menaati kode etik humas.
7. Profesi dan Profesional
Menurut
Ruslan (2001), kiat menjadi profesional, yaitu harus memiliki ciri-ciri
khusus tertentu yang melekat pada profesi yang ditekuni oleh yang
bersangkutan, khususnya profesional public relations. Secara umum
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Memiliki skill atau kemampuan, pengetahuan tinggi oleh orang umum
lainnya, apakah itu diperoleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang
diperolehnya, dan ditambah dengan pengalaman selama bertahun-tahun yang
telah ditempuhnya sebagai profesional.
2)
Mempunyai kode etik dan merupakan standar moral bagi setiap profesi
yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam bentuk suatu
aturan main, dan perilaku ke dalam “Kode Etik” yang merupakan standar
atau komitmen moral atau perilaku (code of conduct) dalam pelaksanaan
tugas dan kewajiban selaku by profession dan by function yang memberikan
bimbingan, arahan, serta memberikan jaminan dan pedoman bagi profesi
yang bersangkutan untuk tetap taat dan mematuhi kode etik tersebut
3)
Memiliki tanggung jawab profesi dan integritas pribadi yang tinggi
baik terhadap dirinya sebagai penyandang profesi humas/PR, maupun
terhadap publik, iklim, pimpinan, organisasi perusahaan, pembangunan
media massa hingga menjaga martabat serta nama baik bangsa dan
negaranya.
4)
Memiliki jiwa pengabdian kepada publik atau masyarakat, dan dengan
penuh dedikasi profesi luhur yang disandangnya, yaitu dalam pengambilan
keputusan adalah meletakkan kepentingan pribadinya demi kepentingan
masyarakat, bangsa dan negaranya. Memiliki jiwa pengabdian dan semangat
dedikasi tinggi dan tanpa pamrih dalam memberikan pelayanan jasa
keahlian dan bantuan kepada pihak lain yang memang membutuhkannya.
5)
Otonomisasi organisasi profesional, yaitu memiliki kemampuan untuk
mengelola organisasi PR/humas, yang mempunyai kemampuan perencanaan
dalam program kerja jelas, strategik, mandiri, dan tidak bergantung
pihak lain serta sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak
terkait, dapat dipercaya dalam menjalankan operasional, peran dan
fungsinya. Di samping itu, memiliki standar dan etos kerja profesional
yang tinggi.
6)
Menjadi anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk
menjaga eksisitensinya, mempertahankan kehormatan dan menertibkan
perilaku standar profesi sebagai tolok ukur agar tidak dilanggar. Selain
organisasi profesi sebagai tempat berkumpul, fungsi lainnya adalah
merupakan wacana komunikasi untuk saling menukar informasi, pengetahuan
dan membangun rasa solidaritas sesama rekan anggota.
Sebagai
seorang profesional PR/humas harus mampu bekerja atau bertindak melalui
pertimbangan yang matang dan benar, yaitu dapat membedakan secara etis
mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, sesuai dengan pedoman
kode etik profesi yang disandang.
Melalui
pemahaman etika profesi tersebut, diharapkan para profesional dan
khususnya PR/humas yang harus memiliki kemampuan tertentu, yaitu:
1)
kemampuan untuk kesadaran etis, yang merupakan landasan kesadaran
yang utama, bagi seseorang profesional untuk lebih sensitif dalam
memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subjektif, tetapi
ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif)
2)
kemampuan untuk berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan
profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan
rasional, objektif, dan penuh dengan integritas pribadi serta tanggung
jawab yang tinggi.
3)
kemampuan untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku,
sikap, etika moral dan tata krama (etiket) yang baik (good moral and
good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social
contact), termasuk memperhatikan hak-hak pihak lain dan dengan
menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.
4)
kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership) yakni
kemampuan atau memiliki jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan
untuk mengayomi, membimbing dan membina pihak lain yang dipimpinnya,
termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi
tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus