Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistomologi, Aksiologi
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada
perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda
antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya (Semiawan, 2005).
Filsafat
ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie, 2004). Sedangkan
menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan
mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan
nilai dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan
filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih
kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan
dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada
setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Tujuan
makalah ini adalah membahas tentang dimensi kajian filsafat ilmu yang
terbagi menjadi tiga poin utama, sehingga diharapkan dapat memahami
pentingnya ilmu dalam kehidupan umat manusia.
Ketika
kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan tercakup pula
telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu.
Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang
hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan
gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam
dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan
demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur,
sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik
kesimpulan. Telaah yang kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu
meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara
ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data
empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir
yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang
digunakannya. Telaah ketiga ialah dari segi aksiologi yaitu terkait
dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Berikut ini digambarkan batasan ruang lingkup atau bidang garapan tahapan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
A. Ontologi
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis
yang terkenal diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum mampu membedakan antara penampakan dengan
kenyataan.
1. Pengertian Ontologi
a. Menurut Bahasa :
Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos = being atau ada, dan logos = logic atau ilmu.
Jadi, ontologi bisa diartikan :
The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau Ilmu tentang yang ada.
b. Pengertian menurut istilah :
Ontologi
adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan
ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret maupun rohani /
abstrak (Bakhtiar, 2004).
2. Term ontologi
Term
ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun1636 M untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679 – 1754 M)
membagi Metafisika menjadi 2 yaitu :
a. Metafisika Umum : Ontologi
Metafisika
umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika
umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
b. Metafisika Khusus : Kosmologi, Psikologi, Teologi (Bakker, 1992).
3. Paham-paham dalam Ontologi
Dalam
pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan
pokok/aliran-aliran pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme,
Pluralisme, Nihilisme, dan Agnotisisme.
a. Monoisme
Paham
ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi
ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :
1). Materialisme
Aliran
materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu
Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena
pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri
sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-525 SM). Dia
berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini
sering dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun
dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap
tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang
dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah Demokritos (460-370 SM). Ia
berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang
merupkan asal kejadian alam.
2). Idealisme
Idealisme
diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme
sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme
berarti serbacita, spiritualisme berarti serba ruh.
Aliran
idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu
semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Tokoh aliran ini diantaranya :
- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.
- Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.
- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
- Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).
b. Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal
sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad
dan spirit.
Tokoh
paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia
kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716 M).
c. Pluralisme
Paham
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Lebih
jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari
banyak unsur.
Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Tokoh
modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning
of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal
yang mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat
dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.
d. Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin
tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu
Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu:
Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada
ia tidak dapat diketahui, Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita
ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh
modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan
Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia dilahirkan di Rocken di Prusia
dari keluarga pendeta.
e. Agnotisisme
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.
Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa
Greek yaitu Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya
know. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan
tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal
dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme dan Martin
Heidegger (1889-1976 M) seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre
(1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis (Bagus,
1996).
B. Epistimologi
Masalah
epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub
sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu
membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang
ingin dipikirkan.
Keterkaitan
antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan
betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain,
sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita membicarakan epistemologi,
berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau
langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya
didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam
lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan
kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
1. Pengertian Epistemologi
Ada
beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat
dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Secara
etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.
Pengertian
lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan
? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap
mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri,
2005).
Menurut
Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat
pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan,
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba
menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya,
pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert D.Runes.
Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas
ilmu pengetahuan”..
2. Ruang Lingkup Epistemologi
M.Arifin
merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan
validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu
hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan,
A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang
harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa
hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran
itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita
ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat
diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah
benarnya ilmu.
M.
Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih
banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu
pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai
epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan
ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam
pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian
yang layak.
Kecenderungan
sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan
epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan,
bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan.
Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara
sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga
memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek
pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga
senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun
negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu
bagian dari cakupan wilayah epistemologi.
3. Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam
filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material
adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan,
hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha
mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya)
tentang objek material filsafat (sarwa yang ada).
Objek
epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses
yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses
untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan,
sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui
dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa
terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak
terarah sama sekali.
Tujuan
epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi
bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat
tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang
menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting
dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
4. Landasan Epistemologi
Kholil
Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary
knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain.
Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut
pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain,
disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering
disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan
istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang
menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan
akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya,
dan sebagainya.
Metode
ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah
menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu
pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris,
juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah
filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
5. Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodologi
Lebih
jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam
mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode
merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang
mengkerangkai secara konseptual prosedur tersebut. Implikasinya, dalam
metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan metode.
Metodologi
membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan
kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang
digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis
metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode
penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta
terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak
bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar
memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma
positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham
determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan
penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis).
Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek
filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis
yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah
epistemologi.
Oleh
karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis
antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari
epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya
terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub
sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari
filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup
bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh
metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan
metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi.
Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat.
6. Hakikat Epsitemologi
Epistemologi
berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya
yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan
batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita
mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi
masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat.
Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang
epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian
psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran
manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat
sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang
berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan
berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi
keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya
pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah
landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu
selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat
proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil
pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh
karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun
objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi
menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam
epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui
perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan
padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan
pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang
menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak
semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat
sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika
sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya.
Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk
membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan
dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Epistemologi
atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap
pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang
mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang
mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi
lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin
diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai
penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua
objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek
tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga
tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga
objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa
diketahui.
Epistemologi
ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang
senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang
bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan
pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari
gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti
dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu
mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya
berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu
masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan
berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan
seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan
berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang
dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan
berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka
panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada
bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya
merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara
empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari
gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu
memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir
dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain
dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional,
sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal
ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan
deduksi, sedangkan usaha membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan
kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika
metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman,
bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari
epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme
dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain
berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih
mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini
merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali,
sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara
berkesinambungan dan serius.
7. Pengaruh Epistemologi
Secara
global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai
ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan
dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang
merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa
fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh
kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang
strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah
produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya
yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains,
tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat
dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi
senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi
menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang
canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu
pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan
sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan
sesuatu itu, dan sebagainya.
C. Aksiologi
1. Pengertian Aksiologi
Menurut
Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios (layak,
pantas) dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
Aksiologi
berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu
kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam
menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece
Rakhmat, 2010)
Dari
pendapat diatas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
2. Penilaian Aksiologi
Bramel
(Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian.
Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan
disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku,
norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam
etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung
jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam
maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Bagian
kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Mengutip
pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif
ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek
sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur
segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah
ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia
seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu
mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya
nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan
dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada
tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki
kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar Amsal, 2004).
Bagian
ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan
social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari
ilmu adalah sudah tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi
manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya
Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu terus berkembang dan
memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai
ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian
tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu
juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang lain.
Mengutip
pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang mengatakan
bahwa “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan
merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak
pada system nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu
itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si
pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap.
Selanjutnya
Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan kedalam 4 tahapan yaitu:
- Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
- Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
- Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari
apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang
ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di
masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah
menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar