Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada Dan Dasar-Dasar Kenyataan
Filsafat,
atau dalam bahasa arab falsafah adalah berpikir radikal, sistematis,
dan universal tentang segala sesuatu. Objek pemikiran filsafat adalah
segala sesuatu yang ada. Segala yang ada merupakan bahan pemikiran
filsafat. Filsafat merupakan usaha berpikir manusia yang sistematis
sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Kata falsafah (Melayu),
philosophie (Belanda), philosophie (Jerman), philosophy (Inggeris),
philosophie (Perancis) berasal daripada kata bahasa Yunani, yaitu :
Philien: mencintai, Sophia: kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran.
Falsafah ialah perihal mencintai kearifan, kebijaksanaan, hikmat,
kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Berfalsafah merupakan puncak
ketuntasan berfikir, yaitu dengan belajar dan menyelidiki segala hal
mencari kebenaran hakiki. Kebenaran ialah perkara cita-cita tertinggi
yang dapat dicapai melalui akal atau kaedah berfikir. Dalam Islam,
secara normatif berfikir amat penting dan dianjurkan untuk mencapai
hakikat sesuatu. Diskusi kajian filsafat mengandung aspek ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
Metafisika
merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi
metafisika berasal dari bahasa Inggeris: metaphysics, Latin: metaphysica
dari Yunani meta ta physica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah,
melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika
merupakan bagian Falsafah tentang hakikat yang ada di sebalik fisika.
Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia.
Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan
yang Ada (being), Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah
peranan kita dalam kehidupan ini?. Metafisika secara prinsip mengandung
konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yang tidak dapat
diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain
Untuk
mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika, dapat
dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melewati 3
jenis tahapan abstraksi yaitu fisika, matematika dan teologi .
Abstraksi pertama yaitu fisika, Manusia berfikir ketika mengamati
secara indrawi. Dengan berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri”
dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat
dirasakan”. Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya
hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri
individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu,
menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Abstraksi
kedua yakni matesis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri
dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari
materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut
“matesis” (“matematika” mathesis = pengetahuan, ilmu).
Abstraksi
ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Dengan meng-"abstrahere"
dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal
dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi, asas
pertama dalam pendapatkan hakikat realitas dsb. Disini Aras fisika dan
aras matematika jelas telah ditinggalkan. Pemikiran pada aras ini
menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau “filsafat
pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Sejajar dengan konsep tersebut wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan.
First order criteriology meliputi: metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika.
Second order criteriology meliputi: etika, filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat pikiran.
Third order criteriology meliputi: filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, dan lain-lain.
Metafisika
secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengada
(Being). Disini metafisika merupakan upaya untuk menjawab problem
tentang realitas yang lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental
daripada ilmu dengan cara merumuskan fakta yang paling umum dan luas
tentang dunia termasuk penyebutan kategori yang paling dasar dan
hubungan di antara kategori tersebut
A. Lingkup Metafisika
Metafisika
mengandung Klasifikasi yang meliputi Pertama, Metaphysica Generalis
(ontologi); ilmu tentang yg ada atau pengada. Kedua, Metaphysica
Specialis terdiri atas: 1). Antropologi; menelaah tentang hakikat
manusia, terutama hubungan jiwa dan raga. 2) Kosmologi; menelaah tentang
asal-usul dan hakikat alam semesta. Dan 3). Theologi; Kajian tentang
Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat
pada-Nya.
Metafisika
umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya
prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus
membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus:
teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada
dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat
pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui
indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang
tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi),
semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi).
Disiplin
filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena
pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan
pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas
inderawi. Istilah metafisika dengan sifatnya yang supra inderawi
inilah memunculkan keengganan orang terhadap konsep-konesp metafisika.
Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama,
metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam
pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik
merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar
dengan siqnifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari
segala ilmu.
Dengan
membincangkan metafisika memberi pemahaman bahwa filsafat mencakup
“segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan;
disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai
bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan
khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari
kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok Bahasan yang
mencakup, pertama tentang kajian Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau
apa yang betul-betul ada. Kedua tentang, Ilmu pengetahuan tentang
realitas, sebagai lawan dari tampak (appearance) Ketiga, Studi tentang
dunia secara menyeluruh dengan segala Teori tentang asas pertama (first
principle); prima causa yang wujud di alam (kosmos).
Bagian
metafisika yang membincang tentang hakikat realitas disebut Ontologi.
Sedangkan Kosmologi adalah bagian metafisika tentang proses realitas
sehingga menghasilkan obyek dalam kajian metafisika yang disebut dengan
obyek partikular (materi) dan obyek universal (ide)
B. Falsafah Metafisika Agama
Ilmu
filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa
wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki
wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan
dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab
Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Filsafat
Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis,
rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari
pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci
(Numen) sakral : adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu
mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi
dasar tingkah-laku manusia. Yang quddus itu dikonsepsikan sedemikian
rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya manusia hanya
beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku
hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju
pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian
metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar. Karena
tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.
Kekokohan
konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab tantangan
pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang
mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal
tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan.
Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan-minimal-menjawab dua hal
pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini
hal-hal yang supraindrawi,immateri dan; Pertama: pemikir agama harus
mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen
dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua:
Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun
memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas
ini.
Metafisika,
berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada
alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi
mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang,
fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam.
Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama
oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi ke -ilahiaan untuk
menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.
Kajian
tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis,
refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular.
Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan
bersifat universal.Yakni sebagai hal “penyelidikan tentang Tuhan”, bisa
juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang
transenden”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang
terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang
untuk mempelajarinya menghabiskan waktu yang tidak pendek.
Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga
membuat tidak semua orang berminat menekuninya
Pertanyaan
yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam
perkembangan pemikiran Islam. Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan
berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika dalam wacana pemikiran
Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah aspek penting yang mesti
dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga islam menjadi agama
yang memiliki bentuknya yang komprehensip. Misalnya pertanyaan-pertanyan
yang menyangkut hal - hal sebagai berikut bagaimana pemikir islam
merumuskan hakekat metafisis Aqal dan Jiwa (hakekat metafisis Manusia),
Bagaimana pemikir Muslim merumuskan hakekat metafisis Wujud (metafisika
ketuhanan), dan Bagaimana Pemikir-pemikir Muslim mengkonsepsikan
hekakat Metafisis Falsafat Wahyu dan Nabi dan lain sebagainya. Pada
hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman
kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal
yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga
melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan
sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Ilmu
metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian
ilmu metafisika dalam khasanah western science, Falsafah metafisika
Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk
ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan
konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu
agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia
agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya
akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan
dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan
peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap,
untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan
seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur
air (H2O) Asam Klorida(HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya .
Dengan
ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum
yang secara konseptual riel seperti juga alam jagad raya yag tak lain
terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat
dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat
hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat
sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk
membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama
dengan tuntutan akal.
Dengan
penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran
agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin
meningkat. Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran
agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis,juga
maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan
dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah
ritual dan perintah-perintah agama yang membentuk berbagai ritualitas
agama hanya bermakna sebagai beban yang sangat berat bagi umatnya.
Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa tanpa adanya
agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.
Problematika
kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta (makrokosmos)
bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang
berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Pada dasarnya
tidak ada sesuatu halpun di alam ini yang tidak dapat ditangkap dengan
panca indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap
secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.
C. Manfaat Falsafah Metafisika
Manfaat
metafisika bagi pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan
saintifik pada umumnya maupun ilmu-ilmu pengetahuan berbasis keagamaan.
Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
- Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan histories.
- Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.
- Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru.
- Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream, seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.
- Metafisika menuntut orisinalitas berpikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.
- Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptis.
- Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada,artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai (not value-free)
- Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.
D. Pemikir-Pemikir Metafisika Islam
Untuk
memperoleh gambaran yang memadai atas falsafah metafisika dalam
bingkai pemikiran Islam maka perlu dilacak sejumlah wacana yang
berkembang di kalangan pemikir- pemikir muslim pada abad pertengahan.
Lebih-lebih ketika masa-masa periode pembentukan (formative Periode)
khazanah intelektual dapat ditemukan pemikiran-pemikiran yang
memungkinkan dapat dijadikan sebuah refleksi untuk mendiskusikan
falsafah metafisika dalam pemikiran islam. Karena pemikiran metafisika
merupakan ber-induk pada pemikiran filsafat yang maka untuk menemukan
narasi pemikiran metafisika dapat ditemukan diantara pemikiran-pemikiran
filsafat tokoh yang bersangkutan yang menyangkut Manusia (jiwa) Alam
(kosmologi) dan Yang ada (wujud).
1. Al-Kindi
Tentang
filsafat al-Kindi memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai
bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan
agama merupakan dua barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya
kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa aktifitas filsafat yang
definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan
manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran
Tentang
metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam in adalah illat-Nya.
Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan
Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah
wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia
selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang sempurna yang
tidak didahului oleh wujud yang lain.
2. Al-Farabi
Bagi
al-Farabi, filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada
ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut
al-farabi bagian metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh
aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam sumber-sumber
Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas bagian utama
yaitu:
- Menelaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi
- Menelaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas epistimologi
- Menelaah apa dan bagaimana “substansi-substansi mujarad (immaterial) yang berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.
Tuhan
adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada sebab
baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Berarti adanya Tuhan
bergantung kepada sebab yang lain, karena itu ia adalah substansi yang
azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu sendiri telah
cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam metafisika nya
tentang ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan
pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat
Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.
Tentang
penciptaan alam (kosmologi) al-farabi cenderung memahami bahwa alam
tercipta melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar
bahwa penciptaan alam oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut
al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari
luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih.
Allah
menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan
melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan
dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang
dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang
memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang
dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (
al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup
Tuhan mengetahuiNya.
Secara konseptual hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
- Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
- Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
- Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
- Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan
filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak
bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh
dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau
demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang
banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas
merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses
emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan
juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent)
yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama
dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari
situ timbul langit pertama dan selanjutnya dengan segala planet yang ada
pada sistem tata surya.
3. Al-Razi
Persoalan
metafisika yang dibahas oleh al-Razi seperti halnya yang ada pada
filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu:
Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.
Secara
prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dengan substansi ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan
manusia bahwa dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang
sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu dapat dicapai dengan berfilsafat.
Dalam karya tulis al-Razi, al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak
jelas bahwa ia sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal
adalah karya terbesar dari Tuhan bagi manusia.
4. Ikhwan Al-Safa’
Setelah
wafatnya al-Farabi, muncullah kalangan kelompok muslim yang menyebutkan
diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-Safa’ yang berarti
saudara-saudara (yang mementingkan kesucian batin atau jiwa). Mereka
berhasil menghasilkan karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan
filsafat yang dikenal dengan judul Rasa’il Ikwan al-Safa’, terdiri dari
52 risalah yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bidang
matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa manusia dan
kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya
seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.
Ikhwan
al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: pengetahuan
adab/sastra, pengetahuan syari’ah, pengetahuan falsafat, dan pengetahuan
filsafat mereka bagi menjadi empat bagian yaitu: pengetahuan
matematika, pengetahuan logika, pengetahuan fisika, dan pengetahuan
ilahiah, metafisika. Filsafat menurut mereka mempunyai tiga taraf,
yaitu: 1) taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan, 2) taraf
pertengahan yakni mengetahui hakikat dari segala yang ada sejauh
kemampuan manusia, 3) taraf akhir yakni berbicara dan meramal sesuatu
sesuai dengan pengetahuan mengenai alam ikhwan al-safa’ juga menganut
paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara emanasi.
5. Ibnu Maskawaih
Menurut
Ibnu Maskawaih untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan, jadi
tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara
rasional juga dapat dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan
kejiwaan. Sebagai bukti adanya Tuhan ialah gerak-gerak yang lain itu
timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber gerak itu timbul sendiri,
adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk berbuah
pasti diganti dengan bentuk yang lain.
Tentang
jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya untuk
menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita
suatu akhlak, dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa
dibuat-buat perbuatan yang indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal
aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu menerima hal-hal yang
bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap sesuatu jika
sesuatu itu sudah menempel pada benda.
6. Ibnu Sina
Ar-Rais
al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980 M
disebuah desa bernama afshanah. Dekat Bukhara yang saat ini terletak
dipinggiran selatan Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran
muslim paling populer sampai saat ini di dunia barat, Ibnu Sina dikenal
dengan sebutan Avicenna.
Sebagai
seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan
badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa
bersifat langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam
mengenal dirinya. Ibnu Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa
jiwa adalah wujud rohani (immateri) yang berada dalam tubuh, wujud
imateri yang tidak berada atau tidak langsung mengendalikan tubuh
disebut akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud imateri yang
berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup,
penggerak dan pengendali tubuh, ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam
jiwa di bumi yaitu 1) Jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) Jiwa binatang, 3) jiwa
manusia, pada jiwa tumbuh-tumbuan terdapat potensi makan potensi
menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada jiwa binatang, selain jiwa
yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan potensi
menangkap, potensi khayal dan sebagainya.
Pada
jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga
terdapat potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan
teoritis ini pada taraf potensi disebut akal material dan setelah
berkembang pada taraf berikutnya disebut akal makalah. Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia
juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan
dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian
seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah
bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh
adalah Jibril.
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika
ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek
pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya.
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang
dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia
sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Menurut
Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta
tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia
ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi -fungsi fisik, dan
dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada
permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir.
Dalam
pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh
pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim
(al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada
pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang
berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni
didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam
mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha
Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan
tidak mesti wajib.
Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak
mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin,
bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah
sejak Qadim, sebelum Zaman.
Perbuatan
Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan
sebagai berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi
mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak
ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu
adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud
lain (wujud al muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin
menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak
ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu
sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan
sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu
Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah
diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang
dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat
Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama
sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak
mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum
kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.
Yang
dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat
yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan
“kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan
iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi
bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah
kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan
kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya,
lebih-lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk
memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti :
shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib
darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri
dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan
jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah
fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan
(Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga
bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
7. Al-Ghazali
Tiga
pendapat filosof-filosof muslim yang dikufurkan al-Ghazali yang
tertuang dalam bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam
itu azali atau qadim, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz iyyat,
lalu ia juga mengkufurkan paham yang mengingkari adanya kebangkitan
tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut, salah satu
dari tiga paham tersebut menurut al-Ghazali jatuh ke dalam kekafiran.
Untuk paham yang pertama tentang paham qadim- nya alam menurut nya bila
alam tu diktakn qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim nya alam membawa kepada
kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Kedua tentang paham
bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham bahwa Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof muslim
tapi paham ini dianut oleh aristoteles, menurut al-Ghazali Tuhan
mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuny tidak berubah, dan ini
dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tetapi sebab-sebab
yang bersifat umum, atau dapat di pahami dengan pengertian bahwa tuhan
telah mengetahui halhal yang juz’i ketiga tentang paham pengingkaran
kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut al-Ghazali gambaran al-Qur’an
dan Hadis tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang
bersifat rohani saja, tapi pada jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan
dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk
merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan
azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.
Menurut
al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia
mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah - ubah yaitu
al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah
“substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan
“tempat bersemayam pengetahuan - pengetahuan intelektual (al-ma’qulat)
yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan
bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab
fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik
adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya
tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain,
al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok,
yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi,
namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.Substansi
yang pertama dinamakan badan ( al-jism) dan substansi yang kedua disebut
jiwa ( al-nafs). Jiwa ( al-Nafs) memiliki daya - daya sebagai
derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut.
Demikianlah
diantara pemikir-pemikir muslim yang bisa dijadikan rujukan konsepsi
untuk melacak akar pemikiran Falsafah Metasika dalam sejarah pemikiran
Islam, sebagai perbandingan perlu dideskripsikan khasanah pemikiran
falsafah metafisika di kawasan barat.
E. Pemikir – Pemikir Metafsisika Barat
Sebagai
sebuah analisa memperkuat konseptualisasi kajian falsafah metafisika
dikemukakan disini sejumlah pemikir-pemikir metafisika Barat yang dapat
ditelaah secara seksama sehingga dapat menjadi bahan komparasi dan
perbandingan dengan pemikir-pemikir Muslim tersebut diatas:
1. Thales berpendapat air sebagai arche. Filsafat alam yang berusaha mencari asal (arche) alam semesta yakni air.
2.
Dalil Pembuktian Tuhan Ansellmus: Dalil ontologis: segala
sesuatu di dunia ini tidak ada yg sempurna, melainkan hanya
memperlihatkan tingkatan-tingkatan (gradasi). Oleh karena itu, tentu ada
satu yang paling sempurna yang mengatasi semua ketidaksempurnaan itu,
yakni The Perfect Being.
3.
Dalil Kosmologis menurut Aristoteles, Keteraturan alam semesta
ini ditentukan oleh gerak (motion). Gerak merupakan penyebab terjadinya
perubahan (change) di alam semesta. Akhirnya akal manusia tiba pada
suatu titik yang ultimate, yaitu sumber penyebab dari semua gerak, yaitu
Unmoved Mover, Penggerak yang tadak digerakkan.
4.
Dalil Teleologis (William Paley) Benda-benda di ruang alam
semesta itu memiliki gerak yg bertujuan (teleos), sehingga alam semesta
ini merupakan karya seni terbesar yang membuktikan adanya A Greater
Intelligent Designer.
5.
Dalil Etis (I.Kant), Dalam diri setiap manusia ada dua
kecenderungan yang bersifat niscaya, yaitu keinginan untuk hidup bahagia
(happiness) dan berbuat baik. Kedua kecenderungan itu akan dapat
terwujud dalam kehidupan manusia apabila dijamin oleh 3 postulat, yaitu
kebebasan kehendak (freewill), keabadian jiwa (immortality), dan Tuhan
(God) sebagai penjamin hukum moral (Law Giver).
6.
Plotinos: Semua pengada beremanasi dari to Hen (yang satu)
melalui proses spontan dan mutlak. To Hen beremanasi pada Nous
(kesadaran), melimpah pada Psykhe (jiwa), akhirnya melimpah pada materi
sebagai bentuk yang paling rendah, yaitu Meion.
7.
Karl Jaspers mengatakan; pertama Metafisika merupakan upaya
memahami Chiffer; simbol yang mengantarai eksistensi dan transendensi.
Kedua Manusia adalah chiffer paling unggul, karen banyak dimensi
kenyataan bertemu dalam diri manusia. Ketiga Manusia merupakan suatu
mikrokosmos, pusat kenyataan; alam, sejarah, kesadaran, dan kebebasan
ada dlm diri manusia. Jadi Metafisika: berarti membaca chiffer,
transendensi, keilahian, sebagai kehadiran tersembunyi. Arti dari
Chiffer adalah jejak, cermin, gema atau bayangan transendensi.
8.
Jp. Sartre yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme
memberikan konsep pertama L’etre en soi (Being-in-itself) yaitu
keberadaan dalam diri yang bukan pasif dan bukan pula aktif, tetapi
memuakkan. Kedua Ctt: L’etre en soi keberadaan dlm diri yg bukan aktif
dan pasif, sifatnya memuakkan. L’etre pour soi; kesadaran mns utk diri,
sifatnya aktif, kebebasan dan berusaha mengobjekkan org lain. Dan
ketiga, L’etre pour autrui; keberaadaan untuk orang lain (sosial).
F. Penentang Metafisika Barat
Dialektika
keilmuan menjadi wacana yang sangat kental berkembang terus menerus di
barat sehingga ketika muncul pemikiran-pemikiran metafisika yang
merupakan aliran filsafat idealisme, akhirnya muncullah sejumlah tokoh
dan pemikir yang menentang aliran ini yang lebih mengedepankan paradigma
filsafatnya pada aliran empirisme positivistik. Nilai pokok Aliran ini
adalah penentangan keras akan adanya konsep metafisika. Adapun penentang
Metafisika Barat bisa dikemukakan disini adalah:
1. David Hume:
- Metafisika itu cara berpikir yang menyesatkan (sophistry) dan khayalan (illusion). Sebaiknya karya metafisika itu dimusnahkan, karena tidak mengandung isi apa-apa.
- Metafisika bukanlah sesuatu yang dapat dipersepsi oleh indera manusia, sehingga merupakan sesuatu yang senseless.
2. Alfred Jules Ayer
- Metafisika adalah parasit dalam kehidupan ilmiah yang dapat menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, Oleh karena itu, metafisika harus dieliminasi dari dunia ilmiah.
- Problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu (pseudo-problems), artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab.
3. Ludwig Wittgenstein
- Metafisika itu bersifat the Mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan (inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis.
- Ada 3 persoalan metafisika, yaitu: (1) Subject does not belong to the world; rather it is a limit of the world. (2). Death is not an event in life, we do not live to experience death. (3). God does not reveal Himself in the world.
- Kesimpulan: “Sesutu yang tak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja”. (What we cannot speak about, we must pass over in silence!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar