Selasa, 20 September 2016

Dinamika Pengaturan Ham Dalam Konstitusi

Dinamika Pengaturan Ham Dalam Konstitusi 
UUD 1945 sebagai norma peraturan perundangan yang tertinggi telah memuat semangat perlindungan, pemihakan dan penegakan HAM. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan, batang tubuh hingga penjelasannya. Namun demikian, karena adanya perubahan (lebih tepatnya amandemen) terhadap UUD 1945, tentunya sedikit banyak akan menyentuh pengaturan tentang HAM itu sendiri.

Semangat reformasi bangsa ini telah menempatkan pelaksanaan UUD 1945 pada kedudukan yang semestinya. Bahwa UUD 1945 harus diartikan sebagai perwujudan suatu "living constitution", yang membuka horizon-horizon dan spirit pembaharuan sesuai dengan perkembangan kebutuhan warga negara dan pertumbuhan tuntutan atas perikehidupan politik yang sesuai dengan cita-cita negara hukum.

Dampak globalisasi tidak terbendung, termasuk dalam dimensi hukum. Nilai-nilai hukum yang diyakini di wilayah negara tertentu dapat menembus ke wilayah negara lain tanpa batas secara timbal balik. Maka banyak terjadi adopsi hukum yang terjadi karena adanya interaksi dan interelasi dari masing-masing negara di berbagai wilayah dunia. Meskipun dengan catatan negara-negara yang mempunyai kekuatan dan pengaruh besar dalam percaturan internasional seperti Amerika dan Eropa Barat yang paling banyak dapat memberi pengaruh ke negara-negara lain. 

Nilai-nilai HAM misalnya banyak diklaim berasal dari Barat, negara-negara di wilayah lain dianggap sebagai pengekor yang hanya membebek apa yang menjadi prinsip-prinsip HAM Barat. Sesungguhnya setiap bangsa sudah memiliki konsep HAM yang tentu secara berbeda satu dengan yang lain bergantung pada latar kultur, sosial ekonomi, letak geografis dan lain-lain faktor. Deklarasi HAM Dunia tahun 1948 yang kemudian diamini sebagian besar bangsa-bangsa di dunia menjadi bukti bahwa nilai-nilai HAM sudah diakui dan dimiliki oleh semua bangsa di dunia tanpa terkecuali.

Di Indonesia, pada kenyataannya sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, rakyat dicekoki sakralisasi UUD 1945 yang secara terus-menerus mengindoktrinasi dan membentuk sikap masyarakat bahwa UUD 1945 sedemikian sempurnanya, sehingga tidak perlu dirubah, diperbaiki atau diamandemen. Keadaan ini masih didukung dengan sikap otoriter Pemerintah yang membuat kebanyakan orang di Indonesia kehilangan nyali untuk mempersoalkan UUD 1945, karena akan mendapat cap subversif dan tudingan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Jika ditilik ke belakang, Bung Karno dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 hanya bersifat sementara, sehingga sakralisasi terhadap UUD 1945 sangat tidak relevan dengan semangat UUD 1945 itu sendiri. Selain itu UUD 1945 disusun dalam waktu singkat dan dalam keadaan darurat sehingga mengandung berbagai kelemahan. Ketidaksempurnaan UUD 1945 ini mengakibatkan dalam penerapannya seringkali menimbulkan berbagai penafsiran atau interpretasi yang diberikan atas dasar pemikiran dan pertimbangan pemerintah sesuai dengan kepentingan pihak pemerintah (penguasa).

Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru yang berkuasa secara otoriter telah memberi interpretasi sepihak atas UUD 1945. Selama itu pula rakyat tidak mempunyai hak atau keberanian untuk menafsirkan UUD 1945 sesuai dengan sudut pandang, pemikiran serta kepentingan sendiri secara merdeka. Justru UUD 1945 akhirnya menjadi alat legitimasi tindakan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat. Sejumlah pakar yang merasa prihatin atas keadaan ini tidak mampu untuk membuka dan memasuki secara bebas "ruang publik" yang tidak hanya dikuasai pemerintah, tetapi juga membelenggu kebebasan berekspresi.

Padahal menurut Bryce, faktor pendorong perlunya UUD dalam suatu negara diantaranya adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak mereka ketika terancam, dengan membatasi tindakan-tindakan penguasa dan adanya keinginan rakyat maupun pemerintah untuk menjamin kehidupan rakyatnya dengan jalan membentuk sistem ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam bentuk tertentu yang menurut aturan-aturan positif dengan maksud agar di kemudian hari tidak akan ada tindakan sewenang-wenang penguasa.

Dari pendapat Bryce ini, Muchsan menyimpulkan bahwa UUD sebagai sumber hukum yang tertinggi mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Menjamin hak-hak para warga masyarakat, terutama warga negaranya dari tindakan yang sewenang-wenang para penguasa. Dalam negara hukum modern yang bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya sekadar terjaminnya perlindungan hukum terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan tetapi juga setiap anggota warga negara dapat mengembangkan hak-­hak sebagai manusia.
2. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam aturan-aturan dan ketentuan UUD.

Bertolak dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, justru seolah-olah menyengsarakan dan memenjarakan rakyat. Jadi, ada sesuatu yang salah dalam UUD 1945 itu sendiri yang mengakibatkan kerancuan dalam kehidupan bernegara yang diantaranya dalam pengaturan HAM. Menurut Muchsan, harus ada bab tersendiri yang mengatur dan merumuskan HAM secara rigid, baik yang berbentuk hak dasar, HAM klasik atau hak sosial sehingga kepastian akan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak asasi dapat dilaksanakan dengan mantap.

Hak dasar adalah hak-hak yang mendasari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Hak asasi klasik adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati, sehingga erat hubungannya dengan harkat dan martabat manusia. Sedangkan hak sosial adalah hak yang sangat erat kaitannya dengan kelayakan hidup manusia.

Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa dengan dukungan sebagian besar rakyat telah menimbulkan keberanian masyarakat untuk mempersoalkan UUD 1945. Desakralisasi UUD 1945 merupakan salah satu target gerakan reformasi.

Tidak bisa dipungkiri, globalisasi di saat-saat reformasi dicanangkan begitu kuatnya merombak tatanan hidup masyarakat Indonesia. Ia telah membawa pengaruh berupa prinsip budaya modernitas yang sangat berbeda, bahkan bisa dikatakan berlawanan dengan prinsip budaya lokal (nasional) di Indonesia. Ketika globalisasi melanda, Indonesia sudah mempunyai sejarah, identitas, koherensi dan corak tersendiri. Keanekaragaman budaya yang luar biasa banyaknya terutama karena pluralitas yang dimiliki bangsa ini.

Reformasi sebagai buah globalisasi membawa pengaruh luar biasa terhadap aspek kehidupan bangsa termasuk dalam bidang kenegaraan. Apa yang tengah menjadi isu stategis dunia, seperti demokrasi dan HAM segera merangsek mempengaruhi pola pikir bangsa Indonesia, terutama kaum muda dan mahasiswa. Isu ini pula yang kemudian diusung untuk mempertegas gerakan reformasi.

Akhirnya reformasi menuai hasilnya dengan tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah didudukinya 30 tahun lebih. Puncaknya, tumbang pula sakralisasi konstitusi.

UUD 1945 telah diamandemen melalui empat kali perubahan dalam Sidang Umum Tahunan MPR tahun 1999, dan ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dan 18 Agustus 2000. Kemudian pada tahun 2001 dan 2002.

A. UUD 1945 dan Perdebatan HAM
UUD 1945 merupakan konstitusi negara merdeka yang dirancang oleh tokoh-tokoh yang sebagian besar terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan. Maka dengan dijiwai semangat menegakkan kemerdekaan hampir dapat dipastikan konstitusi ini mengandung hak asasi meskipun dalam penyusunannya sempat diwarnai silang pendapat mengenai pemuatan materi HAM di dalamnya. Yang kemudian muncul adalah kompromi sebagai sebuah keputusan akhir berupa perumusan HAM yang bersifat implisit yang diikuti dengan dalih bahwa hal-hal yang implisit tadi jika diteliti akan banyak ditemukan rumusan-rumusan HAM.

Memang jika membandingkan tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, maka nampak jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 mengandung rumusan-rumusan hak asasi yang lebih luas dan lebih eksplisit daripada UUD 1945. Sering diutarakan alasan akan hal ini adalah bahwa UUD 1945 disusun tiga tahun sebelum diumumkannya The Universal Declaration of Human Right oleh PBB. Sedangkan Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disusun setelah adanya Deklarasi Universal HAM PBB tersebut, sehingga dapat dimengerti jika sebagian besar deklarasi PBB itu kemudian banyak diserap dalam kedua konstitusi ini.

Alasan di atas tak sepenuhnya benar, karena sebelum adanya Deklarasi HAM Universal, sekurang-kurangnya telah ada dua dokumen HAM yang sudah dikenal luas di seluruh dunia, yaitu Declaration of Independence Amerika dan Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen Perancis. Kedua dokumen ini nampak jelas pengaruhnya dalam rumusan HAM PBB yang diumumkan tahun 1948. Tentunya tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo dan Sukiman mengetahui dengan jelas adanya kedua dokumen yang sudah sangat mengglobal tersebut. Hal ini tampak dalam perbedaan pendapat di antara mereka dalam sidang BPUPKI mengenai perlu tidaknya materi HAM diatur secara rinci dalam konstitusi. Tampaknya, tidak adanya perumusan materi HAM dalam UUD 1945 sejak awalnya adalah karena adanya pergulatan pemikiran tentang HAM itu sendiri oleh tokoh-tokoh yang merancang konstitusi tadi.

Setidaknya ada dua kubu dalam perdebatan materi HAM ini, yaitu kubu Soekarno-Soepomo yang menolak tegas dicantumkannya materi HAM dalam rancangan konstitusi dan kubu Hatta-Yamin yang menginginkan dicantumkannya materi HAM. Kedua kubu ini meskipun sama-sama setuju dengan paham negara kekeluargaan tetapi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap HAM.

Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa negara Indonesia yang berpaham kekeluargaan tidak dapat menerima materi HAM yang lahir dan paham liberalisme dan individualisme. Sedangkan Hatta dan Yamin mengkhawatirkan tidak diaturnya materi HAM secara eksplisit akan menyebabkan kesewenang-­wenangan tindakan penguasa terhadap rakyat. Dan akhir dari silang pendapat ini adalah dimuatnya secara terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM yakni pada Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan rumusan yang masih membatasi; hak asasi yang penting memang diakui pelaksanaannya masih harus diatur dengan UU yang dapat dibuat oleh eksekutif (Presiden) bersama legislatif (DPR).

Sesungguhnya pendapat yang menyatakan bahwa HAM lahir dari paham individualisme dan liberalisme, jika ditelusuri dari sejarah HAM itu sendirti tidak sepenuhnya benar. Sebelum manusia memasuki jaman modern, jika dilihat dari sejarah agama-agama, usaha penegakan HAM telah dimulai oleh para Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan ke dunia. Kitab Taurat, Injil dan Al Qur'an misalnya, telah memuat materi HAM. Jika dicermati Piagam Madinah (sebagai konstitusi tertulis tentang pemerintahan) dan pidato Rasulullah SAW pada saat hajjatul wada' jelas sekali memuat rumusan HAM yang universal. Hal ini, menurut Yusril, tentu bukan lahir dari paham liberalisme atau individualisme. Doktrin tauhid dan kesatuan universal umat manusia di dalam Islam misalnya adalah sumber ajaran agama ini mengenai HAM.

Instrumen HAM yang lahir sejak jaman pertengahan hingga abad modern, seperti Magna Charta (Inggris, 1215), Petition of Rights (Inggris, 1628), Declaration of Independence (Amerika, 1776), Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen (Perancis, 1789) dan Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) tidak lahir dari paham liberalisme atau individualisme, melainkan karena tuntutan kolektif rakyat yang menentang absolutisme dan diktatorisme.

Magna Charta lahir dari tuntutan para bangsawan dan agamawan untuk membatasi kesewenang-wenangan raja. Petition of Right lahir dari tuntutan Parlemen (house) untuk membatasi kekuasaan raja. Declaration of Independence AS lahir sebagai pernyataan kemerdekaan atas penjajahan Inggris. Declaration des Droit de I’homme et du Citoyen lahir dari tuntutan kolektif Assemble Nationalle (house) untuk membatasi kekuasaan Raja Louise XVI dan melindungi hak-hak rakyat. Universal Declaration of Human Rights PBB merupakan pencerminan kemenangan negara-negara Sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman dan Jepang yang cenderung diktator dan menindas rakyat. 

Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai dokumen HAM tadi tidak lahir dari paham liberalisme dan individualisme tetapi muncul dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi, sejarah HAM erat hubungannya dengan sejarah untuk menegakkan demokrasi di satu sisi dan perjuangan kemerdekaan di sisi lain.

Jika dilakukan jelajah historik, secara singkat dapat dikatakan bahwa sejarah negara RI memperlihatkan dinamika yang sama dengan sejarah HAM yang umum, yaitu adanya tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Hal ini mulai diperdebatkan sejak tahun 1945 hingga sekarang. HAM individual melahirkan demokrasi liberal dan negara hukum yang statis dengan peranan negara yang pasif dan berakibat terjadi kesenjangan sosial ekonomi. HAM komunal melahirkan demokrasi terbatas (cenderung otoriter) dengan konsep negara hukum yang dinamis dan berwawasan welfare state. Contoh ekstrem tentang ini dapat ditunjuk AS dan Perancis sebagai pengusung aliran HAM komunal dan negara eks Soviet sebagai gambaran negara dengan HAM yang komunal.

Muatan HAM di dalam UUD 1945 pada mulanya bersifat sangat fleksibel dalam arti dapat diimplementasikan menurut langgam politik yang ada. Hal ini sesuai dengan sifat UUD 1945 yang fleksibel. Sehingga yang terjadi kemudian, jika kondisi politik sedang demokratis, HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika kondisi politik sedang berada di bawah payung otoritareian, HAM akan mendapat perlakuan buruk. Pada masa sekarang, setelah terwujudnya desakralisasi konstitusi, berupa amandemen terhadap UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR 1999; rumusan HAM mendapatkan perhatian yang besar, yaitu dengan ditambahkan dan ditetapkannya Bab X A tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dan Pasal 28A hingga Pasal 28J. Sehingga dengan sendirinya pengaturan (baca: perlindungan) HAM dalam UUD 1945 yang terdiri dan pembukaan, batang tubuh dan penjelasan mengalami perubahan yang signifikan. 

Jika didalami perdebatan materi HAM antara kubu Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin, maka tentu yang lebih kontekstual adalah Hatta-Yamin. Bahwa materi HAM betapapun menurut Soekarno-Soepomo tidak perlu diatur dalam konstitusi karena Indonesia berpaham kekeluargaan, jelas tidak dapat diterima. Dicantumkannya materi HAM dalam konstitusi saja masih terdapat berbagai pelanggaran HAM, apalagi jika tidak ada sandaran penegakan di dalamnya, tentu pelanggaran HAM akan lebih marak lagi.

Perjalanan sejarah Indonesia yang sudah demikian panjang, yang dipengaruhi oleh dinamika berbagai peristiwa yang mewarnainya, telah juga memberi banyak corak terhadap dinamika HAM, baik dalam pengaturan maupun penegakannya.

Sejarah dinamika HAM Indonesia juga demikian, linier dengan sejarah HAM secara umum. Bahwa ada tarik-menarik antara HAM individual dan HAM komunal (kolektif). Bahkan sejak adanya pengaturan HAM dalam Pasal 28 UUD 1945, bangsa ini tidak beranjak dari sana. Indonesia masih mengambil langkah moderat untuk mengusung aliran HAM individual seperti AS dan Perancis atau HAM komunal seperti yang diusung negara-negara eks Soviet. 

Nilai keduanya, baik individual maupun komunal secara bersamaan diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Tapi dalam prakteknya, Indonesia tampaknya akan mengikuti kecenderungan global yang tentu saja bermuara pada nilai-nilai HAM Barat.

a. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi
Penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat) belaka. Dan salah satu ciri Negara Hukum adalah adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Konsekuensi logis dan kenyataan di atas adalah dicantumkannya ketentuan-ketentuan HAM dalam konstitusi kita, UUD 1945.

Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, tetapi Pembukaan UUD 1945 tidak mengalami amandemen, sehingga "warna" HAM di dalamnya tidak mengalami perubahan sejak disahkan dan berlaku hingga sekarang. Kedudukan Pembukaan UUD 1945 menurut Ilmu Hukum adalah sebagai pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm), juga merupakan pangkal derivasi (sumber penjabaran normatif) dari Batang Tubuh UUD 1945 dan hukum positif lainnya. Oleh karenanya di dalamnya terdapat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu hakekat dan sifat negara, tujuan negara, kerakyatan (demokrasi), dasar pemerintahan negara dan bentuk susunan persatuan.

Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dimuat dan dijelaskan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Pokok-pokok pikiran ini meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia yang merupakan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis (convensi). Pokok-pokok pikiran yang mencerminkan adanya pengakuan dan perlindungan HAM ini adalah sebagai berikut:
a. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan/perwakilan.
d. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Rumusan HAM secara lebih jelas dapat dilihat dalam isi (teks) Pembukaan UUD 1945 (yang merupakan declaration of independence bangsa Indonesia) dari alinea pertama hingga alinea keempat.[18] Alinea pertama pada hakekatnya merupakan pengaakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka (freedom to be free). Pernyataan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa merupakan pengakuan HAM yang universal untuk hidup bebas dari penindasan bangsa lain dan menegaskan adanya kedudukan yang sejajar atas semua bangsa di dunia. Pengakuan terhadap perikemanusiaan adalah intisari rumusan HAM, karena pada hakekatnya HAM merupakan hak dasariah yang dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena dia manusia.

Pengakuan perikeadilan dan keadilan yang termuat berurutan dalam alinea pertama dan kedua menunjuk pada norma dasar moral yang universal yang mendasari norma lain, baik di bidang etika atau hukum. Keadilan adalah intisari spiritual Negara Hukum yang mestinya dimiliki oleh setiap bangsa. Bahwa kekuasaan hendaknya dijalankan dengan adil, sehingga dapat tercapai kemakmuran yang merupakan kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Alinea ketiga menyebutkan hasrat bangsa Indonesia untuk berkehidupan yang bebas dan ditutup dengan adanya kemerdekaan rakyat. Jika ditafsirkan secara luas, pernyataan kemerdekaan ini bukan saja merdeka secara eksternal dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga merdeka secara internal. Artinya kemedekaan dari bangsa lain tidak boleh digantikan dengan penindasan oleh bangsa sendiri.

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 ditegaskan tujuan pembentukan pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dasar untuk mencapai tujuan ini adalah norma moral universal yaitu kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang sangat sesuai dengan semangat HAM. Sedangkan Dahlan Thaib, secara ringkas menyatakan bahwa dalam alinea keempat terkandung perlindungan HAM dalam berbagai bidang yaitu bidang politik, hukum, sosial, cultural dan ekonomi. Hanya sangat disayangkan bahwa pengaturan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945 tidak begitu banyak, karena perbedaan pendapat para penyusunnya. Kiranya dapat disebutkan di sini bahwa alinea keempat menjadi sangat penting karena di dalamnya memuat dasar negara, Pancasila; yang juga sangat menjiwai semangat, pengakuan dan perlindungan HAM.

Amandemen UUD 1945 sangat berpengaruh terhadap pengaturan berbagai hal yang terdapat di dalamnya, khususnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945. Yang terlihat di sini kemudian adalah berupa perubahan pasal-pasal, termasuk pasal-pasal yang berkenaan dengan HAM. Apabila diteliti, sejak disahkan dan berlakunya hingga sekarang, banyak sekali ketentuan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang mengatur HAM, yaitu Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33 dan Pasal 34.

Pasal 27 UUD 1945 yang sekarang terdiri dan 3 ayat menyatakan tentang persamaan di muka hukum (equality befor the law) dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan kewajiban dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 mengisyaratkan adanya kebebasan rakyat Indonesia untuk mendirikan partai polotik dan perserikatan baik yang bersifat sosial politik maupun murni kemasyarakatan (sosial). Pasal 29 memberikan jaminan dan kebebasan bagi setiap warga negara untuk melaksanakan perintah agama (Tuhan) sesuai dengan agama yang dianut. Pasal 31 menegaskan pengakuan pentingnya pendidikan (pengajaran) yang juga merupakan tujuan pembentukan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 32 merupakan jaminan dart perlindungan yang bersifat kultural yang menegaskan upaya pemerintah untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa. Pasal 33 menganut ketentuan-ketentuan economic rights yang berdasarkan asas kekeluargaan (demokrasi ekonomi) demi kemakmuran rakyat. Dan jika dihubungkan dengan Pasal 33, maka Pasal 34 memuat semangat perlindungan terhadap kesejahteraan sosial.

Setelah amandemen UUD 1945 lahirlah Bab tersendiri yang mengatur tentang HAM, yaitu Bab X A yang terdiri atas 10 pasal, yaitu Pasal 28A hingga Pasal 28J. Bab ini secara eksplisit menyebut berbagai hak asasi manusia dengan jelas.

Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Bunyi pasal ini sesuai dengan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights yang sejalan dengan semangat penghargaan terhadap eksistensi manusia. Bahwa hidup dan kehidupan manusia hendaknya bebas dari keadaan, tekanan dan ancaman yang membahayakan keselamatan hidupnya, karena ancaman terbesar atas hidup manusia adalah penghilangan hak hidup berupa penghilangan nyawa.

Pengakuan terhadap hak manusia untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunannya diatur dalam Pasal 28B ayat 1 yang dirangkai dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Hal ini mengarahkan orang untuk membentuk keluarga bahagia melalui perkawinan yang sah dan agar hendaknya setiap keluarga memperhatikan kesejahteraan keturunannya.

Hak mengembangkan diri, mendapat pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya serta untuk memajukan diri diatur dalam Pasal 28C ayat 1 dan 2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak aktualisasi diri, hanya saja semuanya harus diletakkan dalam kerangka kesejahteraan umat manusia dengan membangun masyarakat, bangsa dan negara.

Equality before the law merupakan asa yang harus ditegakkan dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28D ayat 1. Ayat 2 mengatur hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak dalam suatu hubungan kerja. Sedangkan ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yang dirangkai dengan ayat 4 yang memberikan hak atas setiap orang untuk memperoleh status kewarganegaraannya.

Kebebasan memeluk agama dan beribadah, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan dan bertempat tinggal merupakan hak asasi yang diatur dalam Pasal 28E ayat 1. Pada ayat 2 disebutkan adanya kebebasan meyakini kepercayaan dan kebebasan untuk berekspresi sesuai dengan hati nuraninya. Sedangkan ayat 3 memberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat.

Abad informasi dan komunikasi telah membuat dunia ini terasa menjadi sedemikian sempit. Untuk mengembangkan pribadinya manusia perlu mendapatkan berbagai informasi dengan berkomunikasi. Pasal 28F UUD 1945 memberikan jaminan untuk menggunakan segala jenis media yang ada guna memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi.

Jaminan atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda, serta perlindungan dari rasa takut untuk berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 28G ayat 1. Sedangkan ayat 2 merupakan pernyataan adanya kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain.

Keinginan setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin diatur dalam Pasal 28H ayat 1, juga tentang hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan adanya pelayanan kesehatan. Ayat 2, 3 dan 4 pasal ini pada dasarnya mengakui adanya persamaan dan keadilan yang menjamin penghargaan martabat manusia dan kebebasan dari sifat sewenang-wenang terhadap hak milik.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 281 ayat 1 pada dasarnya merupakan hak mendasar berupa hak untuk hidup merdeka dalam beragama serta adanya perlindungan dan kepastian hukum yang dirangkai dengan ayat 2 berupa jaminan dari perlakuan diskriminasi. Ayat 3 merupakan pernyataan perlindungan terhadap identitas tradisional. Sedangkan ayat 4 dan 5 menegaskan bahwa masalah HAM adalah tanggung jawab negara yang harus ditegakkan berdasarkan prinsip negara hukum yang demokratis, sehingga pelaksanannya harus dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Jika Pasal 28A hingga Pasal 281 memuat pengaturan mengenai hak, maka pada Pasal 28J ayat 1 dan 2 diatur adanya kewajiban asasi yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang guna menghormati hak dan kebebasan orang lain.

1. Materi Muatan HAM Dalam UUD 1945
Perumusan HAM di dalam UUD 1945 sebenarnya sudah mulai diperjuangkan sejak sebelum zaman kemerdekaan terutama sejak berdirinya Serikat Dagang Islam sampai dengan perdebatan dalam sidang Badan Pekerja Untuk Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Namun, konsep HAM pada waktu itu banyak ditentang oleh pendiri negara sebagai paham barat yang cenderung mendukung paham individualisme dan liberalisme. Di lain pihak Sumobroto dan Marwoto mengatakan UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang hidup di kalangan masyarakat. HAM yang tersirat di dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Selanjutnya, Dahlan Thaib mengatakan bila dikaji baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip hak asasi manusia, yakni sebagai berikut: (1) Hak untuk menentukan nasib sendiri; (2) Hak akan warga negara; (3) Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum;(4) Hak untuk bekerja; (5) Hak akan hidup layak;(6) Hak untuk berserikat; (7) Hak untuk menyatakan pendapat; (8) Hak untuk beragama; (9) Hak untuk membela negara; (10) Hak untuk mendapat pengajaran;(11) Hak akan kesejahteraan sosial; (12) Hak akan jaminan sosial; (13) Hak atas kebebasan dan kemandirian peradilan;(14 )Hak mempertahankan tradisi budaya;(15) Hak mempertahankan bahasa daerah.

Tetapi jika merujuk kepada pendapat Harun Al Rasyid, UUD 1945 justru tidak memberikan jaminan akan tegaknya HAM. Pada saat perdebatan antara pihak Soekarno-Soepomo dan Hatta-Yamin pada risalah pembentukan pasal 28 UUD 1945 ketentuan HAM akhirnya harus dikaji kembali dengan penetapan Undang-Undang. Dengan kata lain hak tersebut akan ada jika telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Sebaliknya, jika tidak, maka selamanya hak itu tidak akan ditegakkan. Sebenarnya ide untuk mengkaji HAM sudah mulai terbentuk pada saat terbentuknya Panitia IV yang mengkaji tentang perincian hak asasi manusia. Berbagai macam sosialisasi dan kajian literatur tentang HAM telah dilakukan dari mulai sosialisasi kepada cendikiawan, sarjana dan tokoh masyarakat. Namun akhirnya segala usaha tersebut tidak jadi terwujud karena tidak adanya kata sepakat dari anggota MPRS dan akhirnya panitia tersebut dibubarkan pada tahun 1973 dengan ketetapan No. V/MPR/1973. 

2. Materi Muatan HAM Dalam Konstitusi RIS 1949
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949 memberikan perbedaan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hak Asasi Warga Negaranya (HAW). Hak Asasi Manusia diatur sebanyak 15 pasal, sedangkan Hak Asasi Warga Negara diatur sebanyak 5 pasal. Sedangkan menurut Jimly, ketentuan HAM di dalam Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 hampir sama. Jimly merangkum semua ketentuan tentang HAM dalam kategori ketentuan mengenai hak kebebasan yang diatur sebanyak 22 butir pasal, larangan atas pelanggaran HAM tersebut sebanyak delapan pasal, serta adanya kewajiban dan tanggung jawab Negara sebanyak 11 pasal.

Sependapat dengan Jimly Majda melihat bahwa yag perlu dicermati di dalam Konstitusi RIS ini adalah adanya kewajiban hak asasi manusia dan negara. Karena hak dan kewajiban sangatlah terkait satu sama lain maka selain warga Negara, negarapun juga haruslah mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi dari korelasi tersebut. Adapun table kewajiban asasi penguasa ini perlu ditampilkan karena akan menjadi dasar yang perlu dipegang jika saja mekanisme constitutional complain itu telah ada masa itu.

3. Materi Muatan HAM Dalam UUDS 1950
Menurtu catatan Soepomo, terdapat tiga perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM, yaitu :
1. Hak dasar mengenai kebebasan agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang sebagai pada Pasal 18 Konstitusi RIS. Oleh Pasal 18 UUDS 1950, mengenai kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
2. Di dalam Pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok. Selain itu mengenai masalah perekonomian, dalam UUDS 1950 diatur benar mengenai masalah organisasi-organisasi yang bergerak dibidang ekonomi supaya tidak merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke dalam Pasal 38 UUDS 1950. Adapun dalam Pasal 37 ayat (3) melarang organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan perekonomian negara.
Karena permasalahan hak warga negara mengenai perekomian cenderung di perhatikan di dalam konstitusi tersebut, maka ditegaskan pula bahwa hak milik berfungsi sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (3), hak milik itu adalah fungsi sosial. Dengan ketentuan ini semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengandalkan hak-hak asasi secara individual, tetapi juga lebih fokus kepada fungsi dan manfaat sosial.

Pencantuman hak-hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga negara maupun negara dalam UUDS 1950, dinilai sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.

Todung Mulya Lubis juga mengatakan bahwa HAM dalam UUDS 1950 jauh lebih luas dengan yang dimuat dalam Konstitusi RIS 1949. Adapun Todung mengatakan bahwa:

“The Provisional Constitution not only adopted all human rights provisions from 1949 Constitution but also enlarged upon them, causing political figures like Supomo, for One, to argue that the Provisional constitution went too far in recognizing human rights. Indeed, this constitution was the most liberal that Indonesia ever had , if liberalism is to be measured by the number of human rights provisions.”

Menurut Todung bahwa UUDS 1950 tidak hanya mengadopsi ketentuan HAM di dalam Konstitusi RIS 1949, tetapi juga mengembangkannya dengan baik meskipun Konstitusi RIS dirasa paling liberal dalam sejarah pembuatan konstitusi dan itupun jika paham liberalisme diatur di dalam ketentuan HAM.

4. Materi Muatan HAM Pasca-Kembali ke UUD 1945
Selanjutnya menurut Todung Mulya Lubis pula, dengan kembalinya kepada UUD 1945 jaminan konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas. Selanjutnya dikatakan:[25]

“How committed is the 1945 Constitution to human rights?How many article does the 1945 Constitution have on human rights? The answer is, not very many. It is a very short and simple constitution consisting of thirty-seven articles, and only six explicity deal with human rights. It is for this reason that 1945 Constitution has not generally been considered favorable to human rights. The refusal to return to this constitution by a majority of the Konstituante was partly because of the inadequate human rights provisons”.

Jadi pada saat pasca kembalinya ke UUD 1945, Todung mengatakan bahwa dari 37 pasal di UUD 1945 hanya 6 pasal yang menerangkan mengenai hak asasi manusia. Sehingga dapat diterima jika konstituante menolak kembali kepada UUD 1945 karena tidak cukupnya ketentuan hak asasi manusia tersebut.

5. Materi Muatan HAM Dalam Perubahan Kedua UUD 1945
Dengan memasukkan materi Hak Asasi Manusia dalam satu bab yaitu Bab XA sebanyak 10 pasal, Perubahan Kedua UUD 1945 telah membuat suatu kemajuan penting dalam perjuangan HAM dalam konstitusi. Selain itu, penegasan muatan HAM dari teks pasal UUD 1945 seperti pasal 27 Ayat (1), dan (2) dan Pasal 28 masih diadopsi.

Namun jika dicermati, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua ini tidak memiliki kejelasan. Adanya pasal-pasal yang saling tumpang tindih, yaitu:
1. Ketidakjelasan makna penegakan HAM dari bab Pasal 27 Ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 Ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Hal yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 Ayat (1) tentang hak atas equity before the law (persamaan di hadapan hukum).Begitu juga pada Bab XA Pasal 28 F dengan Pasal 28 Tentang hak berserikat dan berkumpul.
2. Bab XA Pasal 28 C yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Begitu juga halnya dengan Bab XA Pasal 28 E yang menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar