Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration)
a. Konsep yang digunakan
Dalam
pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dilihat sebagai
seperangkat Institusi Negara, proses, prosedur, sistem dan struktur
organisasi, serta praktek dan periilaku untuk mengelola urusan-urusan
Publik dalam rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social
Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik
menurut ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan dengan
legitimasi, delegasi, kewenangan rasional legal, keahlian, tidak berat
sebelah, terus menerus, cepat dan akurat:, dapat diprediksi, memiliki
standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan
kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik
sebagai sebuah instrumen Negara diharapkan untuk menyediakan basis
fundamental bagi perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk di
dalamnya kebebasan individu, perlindungan akan kehidupan dan
kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia,
stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik dalam mengalokasikan
atau mendistribusikan surnberdaya maupun dalam hal-hal lalnnya
(Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi
Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan aturan hukum
(Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004).
Sehigga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik model klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yang legalistik.
Studi
Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan kontribusi
Woodrow Wilson (1887) dalam “A Study of Administration”. Wilson secara
tegas berkeinginan mengatakan bahwa harus terdapat pemisahan antara
politik dan Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law
should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”.
Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic
and Administration: A Study in Government, yang memandang agar
Administrasi bebas dan pengaruh politik, meskipun Administrasi membantu
dalam eksekusi kebijakan/Keputusan politik.
Paradigma
Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat melalui model “old
chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik
berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis dan terinstitusionalisasi;
organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan; penugasan yang
permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan
keluaran yang seragam (lihat dalam Oluwu, 2002 dan Frederickson, 2004).
Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh
kegiatan pemèrintah yang terfokus pada pemberian pelayanan kepada
masyarakat yang dilakukan oleh administrator Publik yang akuntabel dan
bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar
utama yang diperjuangkan dalam Old Public Administration adalah
efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi
administrator Publik didefinisikan sebagai planning, organizing,
staffing, directig, coordinating dan budgeting.
b. Kritik terhadap model kiasik
Kritik
yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga
dikaitkan dengan karakteristik dan Administrasi Publik yang dianggap
inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari
masyarakat, penggunaan sumberdaya Publik yang sia-sia akibat hanya
berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil, sehingga
pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dan masyarakat
yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar
pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004).
Kritik
terhadap Administrasi Publik model kiasik juga dapat dilihat dalam
kaitannya dengan keberadaan konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat
setidaknya 2 (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tersebut
(Prasojo, 2003), yakni: pertama, dalam hubungan antara masyarakat dan
negara, implementasi birokrasi ditandai dengan meningkatnya intensitas
perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur
birokrasi dalam hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi
sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi
penyebab jauhnya birokrasi dan rakyat. Peningkatan intensitas dianggap
memiliki resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi negara
yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan pada akhirnya
menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal
(Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai
sistem yang tertutup dengan pendekatan hirakis yang top down dan ukuran
kinerja yang hanya berbasis pada efisiensi bukan responsiveness. Itu
sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan perubahan
dan kebutuhan masyarakat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut di atas
kemudian menyebabkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi
Publik.
Gelombang Pertama Pembaharuan:
1. Progressive Era Public Administration (PPA)
Dalam
perkembangan paradigma Administrasi Publik, di negara-negara industri
maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.a
gelombang reformasi yang radikat. Gelombang pertama datam Administrasi
Publik disebut dengan Progressive Era Public Administration (PPA)
(Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini
berupaya meningkatkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan
seleksi dan promosi dalam birokrasi yang berbasis merit dan bukan
patronase, berdasarkan kepada hukum dan peraturan bukan pada diskresi
yang tidak terbatas, pelaksanaan pelayanan publik yang berbasis
impersonalitas, prosedur modernisasi dalam sebuah transformasi yang
sangat cepat dan mengambil tempat di produksi ekonomi negara-negara
industri maju (Hood, 1994).
2. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari
banyak kasus yang ada, NPM dianggap telah banyak berbuat untuk
menggoyang organisasi publik yang tidur dan melayani dirinya sendiri
melalui penggunaan ide-ide dari sektor privat (Oluwu, 2002). NPM
menyediakan banyak pilihan untuk mencoba mencapai biaya yang efektif
dalam penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah
untuk kebijakan dan implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub
kontrak dan metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yang kuat
terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM
berusaha untuk memperbaiki kinerja organisasi sektor publik dengan
menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat dan melalui
mekanisme pasar. Pada dasarnya hal yang baru dalam NPM (what is new
public management) adalah mereformasi paradigma administrasi publik lama
yang berbasis traditional ruled based, authority driven process dengan
pendekatan baru yang berbasis market-based dan compettition driven
based.
Terdapat
sejumlah prinsip dasar dari NPM berdasarkan pendapat dari sejumlah ahli
sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu,
2002; serta Borins and Warrington 1996 dalam Samaratunge and Bennington,
2002).
- Penanganan oleh manajemen profesonaL.
- Keberadaan standar dan ukuran kinerja.
- Penekanan pada pengawasan keluaran dan manajenien wirausaha.
- Kompetisi dalam pelayanan Publik.
- Penekanan pada gaya sektor privat dalam praktek manajemen.
- Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan penghematan.
- Penekanan terhadap peran dan manajer Publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi
- Mengadvokasi otonoini manajerial dengan mengurangi pengawasan peran lembaga pusat
- Tuntutan, pengukuran dan penghargaan terhadap kinerja individu dan organinasi.
- Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya manusia dan teknologi yang dibutuhkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya.
- Menjaga penerimaan terhadap kompetisi dan wawasan yang terbuka menenai bagaimana tujuan Publik harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah.
Beberapa
prinsip yang dikembangkan oteh para ahli Administrasi Publik tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk mencapai ` dalam banyak hal, Publik
seringkati tidak ditibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan,
meencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambiL
untuk dapat menjarnin bahwa Publik tetap menjadi pusat dan
tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan
bahwa rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan
masyarakat dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.
Kritik
Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya
“The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga
seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen,
not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the
pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan
(value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada
mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan
semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just
productivity).
3. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan
NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dianggap sebagai
kelemahan dari NPM, seperti yang dinyatakan oleh Oluwu (2002).
Menurut
OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang
ditawarkan oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang muncul ada1ah
terkait dengan pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara manajemen
sektor publik dengan sektor privat dalam mengimplementasikan NPM. Setain
itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka mengenai
validitas empirik dan NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor
privat yang dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah
pertentangan antara klaim datam NPM terhadap kondisi yang ada di sektor
publik. Model usahawan seringkali dapat mengurangi esensi dan
nilai-nilai demokratis seperti keaditan, peradilan, keterwakitan dan
partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya
perbedaan besar antara kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan
kekuatan pasar ini tidak selalu dapat memenuhi apa yang menjadi
kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik seringkali tidak
dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan,
mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil untuk dapat
menjamin bahwa publik tetap menjadi pusat dan tindakan-tindakan
pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap
masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.
Kritik
lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt dalam bukunya
“The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga
seharusnya metayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen,
not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the
public interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan
(value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada
mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan
semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just
productivity).
3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor Iainnya
Pengertian
dan good governance dapat dilihat dan pemahaman yang dimiliki baik oleh
IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara
untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dan pemerintah”
(Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat
aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dan penegakannya
(Bappenas, 2002). ini juga berarti mencabut akar dan korupsi dan
aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melal.ui
transparansi din aliran informasi serta menjamin bahwa informasi
mengenal kebijakan dan kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan dan
diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat
memonitor dan mengawasi manajemen dan dana yang berasal. dan masyarakat
(Bappenas, 2002). Pengertian ml sejatan dengan endapat Bovaird and
Loffler (2003) yang rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah
isu seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; agenda kesetaraan
(gender, etnik, usia, agama, dan Lainnya); etika dan perilaku jujur;
akuntabititas; serta keberlanjutan.
Paradigma
The New Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yang menjunjung
tinggi keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencapain tujuan nasional dan
keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir untuk memberikan
keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di dalam Publik sektor
dengan peran masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan Publik. Karya
terakhir yang memperkuat paradigma the new governance adalah The New
Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt,
2002). Denhardt dan Denhardt mengajukan kritik yang keras terhadap
paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan
pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.
ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan
pembahasan terhadap paradigma yang berkembang dalam Administrasi
Publik, maka terdapat sejumlah isu yang dapat dijelaskan sesual dengan
perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-isu ini penting untuk segera
direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik dalam
pendidikan tinggi administrasi Publik.
1. Reformasi Administrasi
Di
kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi
ke negara maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan
prioritas dalam pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor
pembangunan (administrative Development) sekaligus menjadi instrumen
penting pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi
administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan
melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan
fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi Administrasi,
dan (2) menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal
struktur, proses, sumber daya manusia (PNS) serta retasi antara negara
dan masyarakat.
Isu
reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan
modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dan pengataman beberapa
negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana
merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea
Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi peran
administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang
dilakukan pada saat itu adalah melalui civil servant ethics act pada
tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts
control, civil servant consciuosness reform movement, dan social
purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo
tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi
dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi pemerintah pusat dan
penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua usaha Korea Setatan
untuk merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena
hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang
profesional, bersih dan berwibawa, Beberapa isu dan agenda yang tengah
berkembang dalam kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1)
Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan
iightsizing, perubahan manajemen dan organsasi (3) Rekayasa Proses
Administrasi Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses
perencanaan yang partisipatif, (4) serta hubungan-hubungan baru antara
pemerintah dan masyarakat datam pembangunn dan pemerintahan.
Dalam
konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini
menjadi sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi
yang belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar
pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama,
sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang
diterapkan. adalah peninggalan pemerintah kotonial. yang juga memiliki
dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan
regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa
daripada pemenuhan Hak Sipil. warga negara (lihot Thoha: 2003). Tidak
mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen
untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk
mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah
untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Ketidakmampuan
pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan
regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya
upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan
kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan Publik masih jauh dan
harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yang berorientasi
kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yang
terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan
birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture).
Dalam kultur yang demikian, korups, kolusi dan nepotisme menjadi hal
yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan. seringkali
terabaikan.
Dalam
kaitan dengan reformasi birokrasi di Indonesia, maka isu-isu yang
terkait dengan dengan reformasi birokrasi dalam kerangka tecritik dan
perbandingan dengan negara lain harus menjadi baian yang tidak
terpisahkan kurikulum.
Ketiadaan
komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan dan fungsi administrasi
negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi
birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan
sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design
yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya kemauan
potitik dan pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara
lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi.
Ketidakpahaman
ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi
juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai
agen pembangunan.
2. Desentralisasi
Isu
lain yang berkembang secara teoritik dan praktek dalam administrasi
Publik adalah desentralisasi. Perkembangan isu desentralisasi ini
terkait dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor
untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang
sudah .sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke
negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada saat ini isu
tersebut semakin kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia.
Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang vacum.
Pasang
surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671).
Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di
daerah seperti PRRI dan Pernesta juga sangat terkait dengan aspek
vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi
terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan
negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan
antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi
ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi
bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan
dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo,
2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak
berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik
keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya, pasca
kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya
perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti
dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang tetah direvisi dengan UU
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara
radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di
Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat
dikatakan berhasil. meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
Desentratisasi
yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan
bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan
penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di
Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu
ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi
yang sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien
dan efektif, juga untuk meriingkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.
Hasil
penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota juga propinsi
yang dilakukan penulis menunjukkan banyaknya ketidaksetaraan politik
(political equality) antar berbagai stakeholdes dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tersebut meliputi relasi
antara kepala daerah dan DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah
daerah dan masyarakat, ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam
pelaksanaan pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tersebut telah
menyebabkan sulitnya peningkatan partisipasi masyarakat dalam
proses-proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik serta kontrol
atas pengunaan resources di daerah. Ketidaksetaraan ini menyebabkan efek
berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness dan local
acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini
administrasi Publik harus mengisi kapasitas pemerintahan daerah untuk
membangun dan menjalankan pemerintahan.
3. Kualitas Petayanan Publik
Isu
yang cukup penting dan menghiasi literatur dalam administrasi Publik
adalah peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini
dengan reformasi birokrasi, tetapi dalam pandangan penulis isu ini
memiliki dimensi software yang harus mendapatkan perhatian tersendiri
dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan paradigma New Public
Management telah memasukkan unsur-unsur dan metode sektor swasta dalam
sektor Publik. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam berbagai literatur
yang terkait dengan judul-judul. buku dan seminar “Performance
Management in Public Services, Building Partnership for Public Service,
E-government, Public Private Partnership, the New Public Services,
Reeinventing Government, Improved Public Service” dan berbagai judul
lainnya.
Berbagai
hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam peningkatan kualitas
pelayanan Publik adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa
entrepreneurship dalam pemerintahan dan serta perubahan peran negara
dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan
antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja
PNS. Metode yang dipergunakan antara lain melalui Kontrak Kinerja,
Privatisasi, Kemitraan Publik dan swasta, pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai strategi
pelayanan Publik telah menjadi alternatif antara lain dengan apa yang
disebut Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority,
Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL
Bureacucratic Control Authority.
Dalam
konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant
Ecosob sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik kepada
masyarakat. Disamping itu, saat ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur
Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan
Publik yang sebentar lagi akan dibahas di DPR.
Meskipun
demikian, praktek New Public Management yang berupaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt
and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter
keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana masyarakat yang berstatus
sosial ekonomi rendah seringkali secara mudah terabaikan. Dalam kaitan
ini perlu juga kalangan akademisi public administration memberikan
formula yang lebih konstektual denqan kondisi Indonesia.
4. Good Governance
Sesuai
dengan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik
maka, isu Governance menjadi kunci pembahasan daam administrasi Publik.
Hal ini terkait dengan upaya untuk menciptakan akses partisipasi
masyarakat dalam pelayanan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Penguatan partisipasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek lain berupa
akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, pelayanan dan
pembangunan.
Dalam
konteks ini Governance diartikan sebagai suatu hubungan yang interakti.
dan berbasis pertukaran informasi antara berbagai pemangku kepentingan
dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku
kepentingan pemerintahan, melainkan juga harus melibatkan masyarakat dan
kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan
melalui antara lain apa yang disebut dengar Citizen’s Charter dan
Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam
pelayanan Publik pemerintah harus memiliki kinerja dan orientasi
pemenuhan hak-hal. sipil masyarakat. Dan melalui mekanisme pengaduan,
masyarakat dapat menyampaikan keberatan-keberatan dan masukan terhadap
kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan yang memberikan penguatan terhadap kedudukan
pemerintah.
5. Globalisasi dan Iniltenium Development Goals dan ECOSOB
isu
lain yang merupakan faktor eksternal adalah menguatnya globalisasi dan
regionalisasi. Hal ini antara lain menyebabkan berkurangnya peran dan
otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan
yang. dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan covenant,
prinsip-prinsip dan kesepakatan internasional lainnya yang telah
diratifikasi. Termasuk dalam hal ini adalah misalnya perjanjian
perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional tentang
pemberantasan korupsi, dan covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya adalah
pencanangan millenium Development Goals yang harus dipenuhi oleh
pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah harus memberikan penguatan kepada
masyarakat untuk lepas dari kemiskinan struktural yang terjadi. Dengan
demikian isi ini juga akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan
dibuat oleh pemerintah.
6. Kebijakan Publik
Yang
juga menjadi isu dalam administrasi publik adalah terkait dengan proses
penyusunan kebijakan Publik yang harus semakin baik dan kondusif bagi
pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait dengan
proses penyusunan kebijakan yang semakin partisipatif dengan berbagai
pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus menjadi aktor
yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, isu ini juga
terkait dengan proses potitik yang terjadi di Parlemen dalam kaitanya
dengan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial
di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam kebijakan Publik.
Hal ini karena sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik,
proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi
party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik
dalam kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional.
Untuk
memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan
metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan software-software
kebijakan Publik yang dapat merasionalisasi secara kuntitatif.
Penguasaan metode decision support system (seperti AHP dan System
Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk
adalah penguasaan metode system thinking dan system dynainic untuk
memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti
knowledge management harus menjadi kurikulum dalam administrasi Publik.
7. Hukum Administrasi Negara
Isu
lainnya yang relevan dengan kajian administrasi Publik adalah Hukum
Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya memiliki hubungan
yang sangat dekat sebagaimana telah menjadi tradisi dalam administrasi
publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi
dalam administrasi Publik disebabkan juga oleh lemahnya integrasi antara
Administrasi Publik dengan Hukum Administrasi Negara.
Padahal
perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras
Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi
kedua dan ketiga di Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi
negara. Hal ini berbeda dengan ilmuwan administrasi Publik generasi
pertama seperti Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, sudah
saatnya memikirkan kembali perubahan kurikulum administrasi Publik yang
berorientasi juga pada kajian Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya
dengan studi administrasi Publik.
NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA
Administrasi
Publik di Indonesia mengalami persoalan krusial karena sulitnya
memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) dan
Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan
bersatu sehingga sulit rnembedakan secara benar penggunaan dan fungsi
negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara
ini kurang mendapatkan perhatian sehingga seringkali pekerjaan
administrasi Publik dengan mudah diintervensi oleh pemerintah.
Presiden
adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus kepala
administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik,
karena negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian pula pemerintah
yang dipilih secara demokratis dan administrasi Publik yang diangkat dan
bekerja berdasarkan Undang-undang harus terdapat pembagian fungsi dan
peran yang tegas. Tentu saja dalam pengertian yang luas ruang linkup
kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah dan
administrasi Publik. Tetapi dalam kehidupan praktek administrasi Publik
perlu dipikirkan upaya untuk mempertegas garis batas antara negara,
pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik
untuk melaksanakan keputusan-keputusan politik seringkali disebabkan
oleh tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar