Selasa, 20 September 2016

Relevansi Sosiologi Agama Dalam Kemasyarakatan

Relevansi Sosiologi Agama Dalam Kemasyarakatan
A. Pengertian Sosiologi Agama
Tindakan sosial sudah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini, kemudian mereka membentuk koloni-koloni atau kelompok-kelompok yang sesuai dengan mereka baik dari segi ide maupun agama. Namun untuk lebih jelasnya penulis definisikan terlebih dahulu arti Sosiologi Agama. Pertama, sebagai landasan kerja, penulis pakai definisi Dr. H. Goddijn/Dr. W. Goddijn yang berbunyi sebagai berikut: Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.1

Kedua, Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu tersendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain: (1) Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum. (2) bahwa Sosiologi Agama adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi Umum adalah benar-benar suatu ilmu. (3) Tugasnya, mencari keterangan ilmiah.

Sedangkan menurut kamus Sosiologi adalah Sociology of Religion atau Sosiologi Agama adalah Sosiologi yang melibatkan analisa yang sistematik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan metode Sosiologi.2

Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial dan bagaimana orang bertindak di dalamnya. Ilmu ini berkembang seiring dengan berlangsungnya evolusi sosial, politik dan budaya. Melalui obyeknya pula (di atas segala ilmu lainnya) menjadi cermin zamannya: ia mereflesikan nilai-nilai, kekhawatiran, hubungan-hubungan sosial, permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi pada masanya.3 Sisi pertama perubahan ini menyangkut sifat dasar masyarakat itu sendiri.

Sosiologi juga bertujuan mendeskripsikan masyarakat dan fungsinya sekonsisten mungkin. Para sosiolog pertama berusaha memberi ciri terhadap kedua hal yang silih berganti berlangsung di depan mata mereka.4 Yaitu antara komunitas masyarakat dan masyarakat itu sendiri. 

Menurut pandangan sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut Sosiologi Agama. Sosiologi Agama adalah suatu cabang ilmu yang otonom, muncul sekitar akhir abad ke 19. Pada prinsipnya ilmu ini sama dengan Sosiologi Umum, yang membedakannya adalah obyek materinya. 

Sosiologi Umum membicarakan semua fenomena yang ada pada masyarakat umum, sedangkan Sosiologi Agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial, yaitu agama dalam perwujudan sosial. Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia, Hendropuspito, menyatakan : “Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.”5 Untuk memudahkan lebih baiknya kita tampilkan definisi Sosiologi Umum yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.

Pengertian di atas mau menjelaskan: apa itu Sosiologi; apa fungsinya; bagaimana cara bekerjanya. Kalau Sosiologi Umum bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang (berdaya laku) seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya; maka Sosiologi Agama bertugas mencapai keteranganketerangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.6

Jadi, hanya sosiologilah yang mampu mempelajari masyarakat secara umum, baik masyarakat agama ataupun masyarakat dalam arti yang seluasluasnya. Selain ilmu sosiologi ilmu antropologi juga mempelajari masyarakat, tapi lebih cendrung kepada kebudayaannya dan biasanya ilmu antropologi lebih mempelajari masyarakat yang masih primitif, sedangkan ilmu sosiologi mempelajari masyarakat yang sudah maju atau masyarakat modern. Pada awalnya, pengertian sosiologi hanyalah ilmu yang mengkaji masyarakat. Pembelaan dan pengaruh Durkheimlah yang menyebabkan Sosiologi mendapat tempat dalam kehidupan modern, mulai dari masalah pemerintah, ekonomi, pendidikan ataupun forum-forum diskusi umum yang lain, mulai dari kampus sampai acara talk show di televisi.7 Menurutnya, hanya sosiologilah yang akan bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang bergerak di atas kaki mereka sendiri.

Durkheim meyakini bahwa moralitas yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama. Moralitas dan agama bahkan juga tidak bisa dipisahkan dari kerangka sosial. Kita tidak bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks sosial, sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas pun akan berubah.8

Fokus Sosiologi Agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan agama dalam menjembatani ketegangan itu dan dalam menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik dari suku lain, orang-orang yang menyimpang atau pemberontak dari dalam suku itu sendiri, maupun dari bencana alam. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka dalam kosmos, sejarah dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu. Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang terbangun dalam suku. Oleh karena itu, agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat ke dalam suatu proyek sosial bersama, sekumpulan nilai dan tujuan bersama.9

Tempat Sosiologi Agama sudah diterangkan dalam definisi Sosiologi Agama sendiri. Ia merupakan cabang Sosiologi Umum. Maka Sosiologi Agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sakral; bukan ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang positif dan empiris; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu sosial entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.10 Jadi, dapat dikatakan bahwa Sosiologi Agama sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari segala bentuk masyarakat agama khususnya masyarakat modern.

Obyek Kajian Sosiologi Agama
Menurut Emile Durkheim untuk memahami masyarakat, tidak cukup hanya dengan mempelajari cara-cara penyebaran norma-normanya tetapi harus mempelajari sumber-sumber norma yang membentuk kekhasan setiap masyarakat. Dengan demikian kita tidak boleh memandang dari sisi sentimen individual tetapi dari sisi yang menyebabkan mereka seperti itu.11

Maksudnya adalah institusi-institusi yang sebenarnya bisa diamati secara obyektif. Institusi tersebut bisa hidup karena adanya individu-individu tersebut. Namun, satu hal yang esensial adalah bahwa representasi itu bersifat kolektif atau berkelompok.

Secara umum obyek studi Sosiologi Agama dibagi menjadi dua yaitu sasaran langsung (obyek material) dan sudut pendekatan (obyek formal).

a. Sasaran Langsung (Obyek Material)
Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Seperti masyarakat nonagama umumnya demikian pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompok-kelompok keagamaan, institusiinstitusi religius yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.

Masyarakat agama yang demikian itu akan disoroti secara berturut-turut struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat luas umumnya dan atas stratifikasi sosial khususnya, teristimewa mengingat adanya kesadaran dan kohesi kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri. Sudah tentu tidak akan dilupakan untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama baik yang positif maupun yang negatif, seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Demikian juga fenomena jenuhnya organisasi lembaga-lembaga keagamaan yang tidak selalu membawa berhat, bahkan sering menghambat laju modernisasi para penganutnya.

Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama. Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran (dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ini sudah mengejawantah dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Demi jelasnya Sosiologi Agama tidak membuat evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluk-pemeluknya sebagai berasal dari “dunia luar”, dunia sakral yang jauh berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan oleh karenanya juga tidak dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi penilaian atas nilai-nilai adikodrati (supra empiris) adalah tugas khusus dari teologi dogmatik dan teologi moral dan bukan kompetensi Sosiologi Agama. Ilmu yang terakhir ini hanya mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris kebenaran-kebenaran “supra empiris”, yaitu yang disebut istilah masyarakat agama dan itulah sasaran langsung dari Sosiologi Agama. Masyarakat agama ialah suatu persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.12

b. Sudut Pendekatan (Obyek Formal)
Kalau ilmu Ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat agama dari kaca mata “supra empiris” (baca menurut kehendak Tuhan) maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia.

Lebih kongkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbetuknya partai-partai politik dan golongan nonpolitik; memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme, bentrokan dan lain sebagainya. Jadi hal-hal yang disebut dalam contoh di atas yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut sosiologis. Sosiologi Agama melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya masyarakat luas umumnya.13

Wilayah obyek kajian Sosiologi Agama adalah atau lingkup wawasan agama yang bisa diteliti dengan metode ilmiah. (scientific method) yang meliputi berbagai persoalan dan berbagai segi dalam kehidupan umat beragama. Ada beberapa aspek keberagamaan yang menjadi rentang wilayah kajian Sosiologi Agama diantaranya :

1. Perwujudan Agama di Kepulauan Indonesia
Agama yang ada di masyarakat Indonesia sangat banyak, tidak hanya meliputi agama-agama yang diakui secara formal saja, tetapi juga bentuk agama yang secara antropologis dapat dikategorikan sebagai agama. Agama formal adalah agama yang diakui secara hukum di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Agama antropologis adalah semua fenomena kepercayaan yang ada pada masyarakat yang memenuhi kriteria atau ciri sebuah agama menurut ilmu antropologi. 14

2. Penelitian Mengenai Berbagai Kepercayaan
Penelitian mengenai berbagai kepercayaan yang ada di Indonesia menajamkan sasaran perhatian pada apa yang sesungguhnya menjadi kepercayaan dari individu-individu berbagai golongan dalam masyarakat.
Sebab, sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sangat banyak ragamnya. Hampir di setiap daerah dan komunitas terdapat berbagai kepercayaan dan obyek keramat yang dipercayai dan diagungkan yang kadang-kadang berbeda dengan keyakinan yang berasal agama resmi mereka.

Penelitian tentang berbagai kepercayaan ini terutama ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai kepercayaan yang berhubungan dengan hal-hal berikut :
  • Berbagai kekuatan gaib yang dipercaya oleh kebanyakan masyarakat. alam konsepsi Emile Durkheim kekuatan gaib ini disebut dengan obyek-obyek keramat yang setiap tempat mempunyai ciri khas masingmasing. Kepercayaan kepada berbagai kekuatan gaib itu meliputi kepercayaan kepada tuhan-tuhan, dewa-dewa, peri, mambang dan beberapa mahluk halus lainnya. Kekuatan-kekuatan gaib tersebut dipercaya bisa memberikan pertolongan kepada manusia, yaitu dalam keadaan kritis yang berada di luar batas wilayah kemampuan manusia.
  • Alam semesta. Menurut berbagai kepercayaan yang tumbuh di masyarakat, alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Mitologi tentang penciptaan alam semesta memiliki berbagai variasi cerita yang satu sama lainnya sangat berbeda bergantung pada latar belakang tipe kepercayaannya.15
  • Hakikat dan peranan manusia di alam semesta ini. Hubungan manusia dengan Tuhan atau kekuatan gaib melahirkan berbagai peranan manusia di alam semesta ini. Menurut konsepsi agama-agama besar, manusia adalah mahluk yang paling mulia dan paling dekat kedudukannya dengan Tuhan. Manusia bertugas mewakili Tuhan di muka bumi ini untuk mengatur dan memimpin mahluk-mahluk lainnya. Dalam agama Islam umpamanya, manusia mempunyai peranan ganda; di satu pihak sebagai hamba yang selalu harus mengabdi kepada Tuhan dan di lain pihak mempunyai kedudukan sebagai khalifah di muka bumi ini, sebagai wakil Tuhan dalam memakmurkan dan mengelola bumi ini.
Dalam konsep beberapa agama lain, martabat manusia didudukkan secara berlapis dan perannya di muka bumi dipandang berbeda. Menarik untuk dikaji berbagai konsepsi agama tersebut sehingga menjadi sebuah kajian unik bagi Sosiologi Agama. Dalam agama-agama dibicarakan juga tentang hubungan manusia dengan manusia. Banyak aturan dalam agama-agama itu mengenai hubungan manusia dengan manusia. Suatu agama memandang manusia itu sama dihadapan Tuhannya, tetapi agama lainnya memandang hubungan manusia dengan manusia lainnya berdasarkan kasta dan status kelahirannya yang merupakan hukum Tuhan yang tidak berubah.16

3. Penelitian Mengenai Pranata Keagamaan
Pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam dataran yang lebih kongkrit, pranata diuraikan dalam berbagai lembaga sosial; yang lebih kongkrit lagi dalam bentuk organisasi sosial yang memenuhi segala kebutuhan manusia.

Setiap hari manusia sering berinteraksi dengan sesamanya dalam rangka hidup bermasyarakat. Hubungan antara individu itu adakalanya berpedoman pada pola-pola yang tidak resmi. Sistem wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu melakukan interaksi dengan pola-pola resmi, dalam bahasa ilmu sosial disebut pranata (institution).

Pranata sosial yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari suatu masyarakat meliputi segala pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat tersebut dalam mengabdi kepada Tuhan mereka.17 Seperti ibadah, pendidikan agama dan dakwah, hukum dan pengadilan agama,  partai politik yang berdasarkan agama, keluarga, dan masih banyak lagi yang lainnya.

4. Penelitian Mengenai Organisasi-Organisasi yang Berhubungan dengan Suatu Agama 
Organisasi-organisasi yang berhubungan dengan suatu agama dibuat dalam bentuk lembaga formal yang berhubungan dengan pemerintahan dan non pemerintahan seperti :
  • Departemen Agama Republik Indonesia dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
  • Majelis Ulama Indonesia pusat sampai daerah.
  • Persatuan Gereja Indonesia.
  • Wali Gereja Indonesia.
  • Organisasi-organisasi pendidikan keagamaan.
  • Organisasi-organisasi keagamaan.
  • Organisasi politik yang didasarkan pada suatu agama.
  • Organisasi-organisasi sosial keagamaan.
5. Penelitian Mengenai Berbagai Peranan dalam Keagamaan
  • Ulama atau pendeta, sebagai pemimpin agama, tentu mempunyai kharisma dan kewibawaan yang tercermin dari adanya ketaatan umat dalam melaksanakan perintah agama.
  • Peranan pengajar agama dan ahli dakwah. Pengajar agama adalah orang yang mempunyai kekhususan dalam bidang pengalaman keagamaan. Mereka mempunyai status tertentu di masyarakat; latar belakang pendidikan pengajar agama akan berpengaruh terhadap keberhasilan kerjanya.
  • Pejabat-pejabat dalam bidang agama. Maksudnya adalah aparatur pemerintah yang mengurus agama mulai dari Menteri Agama, Direktur Jendral, petugas KUA sampai petugas pekuburan atau penguburan. 
  • Pengarang-pengarang tulisan keagamaan. Misalnya pengarang tafsir kitab suci Al-Qur'an, tafsir Bibel, pengarang ilmu kalam, pengarang buku fiqih, pengarang cerita keagamaan, penulis sejarah agama (Islam, Kristen, Budha dan lain-lain) dan penulis syair-syair serta kesusastraan keagamaan.
  • Pendeta-pendeta asing. Di kalangan agama Kristen baik Katolik maupun Protestan terdapat banyak pendeta dan pastur dari bangsa asing, terutama dari Eropa dan Amerika. Para pendeta itu kadang kala menjadi pimpinan dalam Keuskupan dan wilayah Gerejani.
  • Abangan dan santri. Ketegori kesalahan yang biasa diberikan kepada penganut agama Islam di Pulau Jawa. Abangan diidentifikasi sebagai pemeluk Islam “pengakuan” saja, artinya mereka sangat sedikit mengetahui tentang ajaran Islam dan sedikit ajarannya. Sedangkan santri diidentifikasi sebagai pemeluk Islam yang sangat “banyak” pengetahuannya tentang Islam dan taat melaksanakannya.
  • Awam dan terpelajar. Perbedaan pengetahuan tentang ajaran agama melahirkan dikotomi kategori awam dan terpelajar. kehidupan eragama di antara keduanya sangat mencolok perbedaannya.
Kalangan awam biasanya lebih tekstual, lebih menitikberatkan pada pengalaman. Berbeda dengan kalangan terpelajar; mereka lebih membicarakan interpretasi ajaran sehingga lebih cenderung berdiskusi dari pada melaksanakannya (lebih cendrung rasional).

6. Penelitian Mengenai Agama dan Pelapisan Sosial 
Pelapisan sosial adalah kata lain dari stratifikasi sosial. Ia merupakan keadaan dalam struktur suatu masyarakat yang menggambarkan keadaan sosial suatu masyarakat. Pelapisan sosial bisa didasarkan pada keadaan ekonomi, tingkat kesempatan dalam menempuh pendidikan formal, keterlibatan dalam kegiatan politik atau berbagai tingkatan kedalaman pengetahuan agama.18

Pelapisan sosial berdasarkan keadaan ekonomi, bisa melahirkan pelapisan sosial: lapisan orang kaya, lapisan orang menengah dan lapisan orang miskin. Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan akan melahirkan kategori masyarakat yang terdiri dari kaum terpelajar dan tidak terpelajar.

Menurut hasil penelitian C. Geertz, terdapat perbedaan penghayatan dan pengalaman agama antara orang abangan dan priyayi, antara kalangan santri dan kalangan abangan dan antara kalangan santri maupun kalangan priyayi. Perbedaan itu lebih banyak dipengaruhi oleh status sosial dan tingkat kehidupan masing-masing lapisan sosial tersebut.

7. Penelitian Mengenai Agama dan Masyarakat Daerah
Adapun yang dimaksud masyarakat daerah (dalam bahasa Inggris disebut community) adalah masyarakat yang mendiami daerah tertentu, berinteraksi memakai pola dari sistem budaya yang sama dan diikat oleh adat istiadat yang disepakati bersama. Masyarakat daerah biasanya bersifat omogen; artinya tidak terlalu banyak variasi dalam bidang-bidang
kehidupannya.19

8. Penelitian Mengenai Agama dan Golongan Sosial
Setiap golongan sosial mempunyai kebiasaan-kebiasaan sosial yang disebut budaya kelompok (custom). Budaya kelompok memberikan ciri tertentu pada kelompok tertentu sehingga membedakannya dari kelompok sosial yang lain. Ciri sosial itu juga berlaku pada setiap aspek kehidupan anggota kelompok, termasuk aspek keberagamaannya.20

9. Penelitian Mengenai Gerakan Keagamaan
Gerakan yang dimotori oleh sentimen keagamaan telah sering terjadi. Gerakan itu berupa perlawanan terhadap kesewenangan penguasa atau perlawanan terhadap tuan tanah atau berupa protes terhadap ketidakpuasan sosial, bahkan ketidakpuasan terhadap ajaran agama yang terlalu mendominasi kehidupan manusia. Sebagai suatu kerangka acuan untuk bertindak, agama memiliki kekuatan yang luar biasa ketika sudah menjadi faktor pemicu gerakan sosial. Agama bisa dijadikan faktor pencetus sentimen dari sebuah gerakan sosial, bisa dijadikan alat pengumpul masa, bisa dijadikan ideologi dalam suatu pemberontakan.21

10. Penelitian Mengenai Perasaan dan Pengalaman Keagamaan (Religious Emotion and Religious Experience)
Pengalaman keagamaan bersifat pribadi (individual experience) dan unik. Artinya, pengalaman keagamaan yang dialami oleh seorang penganut suatu agama berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh seorang penganut agama lainnya. Oleh karena itu, setiap orang beragama yang selalu melaksanakan ajaran agamanya, baik dalam bentuk ritual atau pelayanan, akan memperoleh pengalaman keagamaan yang bentuk dan derajatnya sangat individual. Antara pengalaman keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan orang lain akan berbeda.

Perasaan religius adalah suatu set keadaan batin manusia beragama sebagai konsekwensi dari keberagamaannya itu. Menurut Emile Durkheim, perasaan religius tersebut merupakan inti keberagamaan yang muncul dari emosi dari keagamaan. Dalam istilah Islam, itu disebut ihsan, yang berarti merasakan kehadiran Tuhan di hati manusia. Pengalaman dan perasaan religius seseorang akan muncul ketika ia berdoa atau melaksanakan ibadat di tempat tertentu. Akibat-akibat spiritual yang ditimbulkan oleh praktek ibadah yang dilakukan oleh penganut agama akan melahirkan berbagai pengalaman keagamaan yang sangat menarik; misalnya, berbagai pengalaman penganut Islam ketika menunaikan ibadah haji di tanah suci, pengalaman seorang muslim ketika sembahyang tahajjud pada dini hari, ketika ia memanjatkan doa kepada Allah SWT secara khusuk pada saat mendapatkan kesulitan dan pengalaman dari proses perubahan spiritual seorang pemeluk agama setelah melakukan berbagai tindakan keagamaan tertentu.22

11. Penelitian Mengenai Agama sebagai Motivasi untuk Bertindak
Yang dimaksud tindakan sosial adalah segala kegiatan individu, di suatu masyarakat, yang disengaja dan berpola, yang kemampuan melakukannya dari hasil belajar dan tindakannya mengandung implikasi budaya para anggota masyarakat yang lainnya. Sebagaimana diketahui, agama merupakan sumber nilai dari sistem budaya anggota masyarakat tertentu yang dapat dijadikan pedoman terpola bagi anggota masyarakat untuk melakukan segala tindakan yang terkontrol.23

12. Penelitian Mengenai Peranan Agama dalam Perubahan Sosial
Pembangunan masyarakat, sebagai sebuah perubahan sosial yang direncanakan, banyak yang melibatkan unsur-unsur sosial, termasuk para pemeluk agama, baik secara subyek maupun obyek. Keterlibatan para pemeluk agama tersebut bisa dalam proses perencanaan, pelaksanaan ataupun pemanfaatan hasil-hasil pembangunan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun oleh kalangan masyarakat. Masyarakat agama mempertanyakan nilai keabsahan sebagai perubahan yang menimpa mereka kepada para pemimpin agamanya. Terutama bagi masyarakat pedesaan, agama masih dijadikan referensi utama bagi tindakan-tindakan mereka; boleh atau tidaknya partisipasi dalam perubahan sosial bergantung pada ajaran agama yang mereka yakini itu.24

13. Penelitian Mengenai Agama sebagai Faktor Integrasi Masyarakat
Agama yang dipeluk oleh anggota masyarakat tertentu bisa membangkitkan solidaritas dan kohesifitas sosial yang kuat. Agama bisa menjadi semen perekat persatuan dan kesatuan suatu bangsa, suatu masyarakat desa atau komunitas tertentu. Solidaritas sesama penganut agama tertentu, walaupun berbeda daerah dan budaya, bisa menandingi bahkan melebihi solidaritas-solidaritas sosial lain yang dibangun oleh suatu persamaan keadaan diantara mereka, seperti persamaan sewarga negaraan, persamaan dalam budaya, persamaan dalam hobi dan persamaan dalam kesenangan.25

14. Penelitian Mengenai Masalah Hubungan Antarpemeluk Agama atau Antar kelompok Keagamaan
Hubungan antarkelompok-kelompok keagamaan dan antarberbagai pemeluk agama yang berbeda, menarik untuk diteliti. Agama merupakan keyakinan yang subyektif, yang melahirkan suatu perasaan etnosentrisme (suatu perasaan bahwa agama yang diyakinilah yang paling benar) sehingga melahirkan sikap-sikap subyektif pada pemeluk agama lain.

Mungkin muncul sikap bersahabat dengan agama tertentu yang dipandang mempunyai persamaan dan mungkin memunculkan sikap antipati dan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain yang dipandang banyak perbedaan dan merugikan keberadaan agama tersebut.

Kedua sikap di atas melahirkan hubungan antara dua kelompok agama di suatu masyarakat dalam dua kemungkinan: harmonis atau konflik. Dalam hal-hal tertentu terjadi konflik antarmereka dan dalam hal-hal lain mereka bisa berhubungan secara harmonis.26

Menurut Emile Durkheim kehidupan sosial telah membentuk corakcorak paling mendasar dalam kebudayaan manusia, namun sayangnya, yang menjadi perhatian utama para pemikir sebelumnya bukanlah kenyataan tersebut. Seperti kontrak sosial (social contract), yang menyatakan bahwa masyarakat tercipta pertama kali dari dua individu yang sepakat untuk bekerja sama. Menurutnya, tapi dalam sejarah manusia yang riil hal yang sama tidak bisa ditemukan. Bahkan dalam masyarakat prasejarah sekalipun, seorang yang dilahirkan ke dunia langsung mendapati kelompok-kelompok (keluarga, klan, suku dan bangsa) dan tumbuh di dalam konteks kelompok tersebut. Bahasa, kebiasaan, kepercayaan dan respons emosional mereka (bahkan yang sifatnya pribadi sekalipun) selalu muncul dari kerangka pandangan sosial yang telah membantu mereka berkembang semenjak lahir ke dunia ini.27

Peranan Sosiologi Agama dalam Masyarakat
Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosioreligius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiologi), kepada misiologi dan tidak kurang kepada teologi pastoralpun pula kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.28

Kedudukan Sosiologi Agama sangat dekat dengan Sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendak mengungkapkan pola-pola sosial dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat. Di dalamnya ditunjukkan kekuatan-kekuatan (sosial) yang mendorong berdirinya, unsur-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidupnya, dibandingkan dengan tuntutan-tuntutan modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilahkan instansi yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan yang sesuai atau tidak mengadakannya.29

Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan secepatnya tempat dan fungsinya dalam keseluruhan sistem sosial. Namun Sosiologi Agama tidak mau mengutik hakekat dari apa “yang di luar” itu, tetapi hanya melihat pengaruhnya yang nyata, dalam arti sejauh hakekat itu telah mengambil bentuk yang kongkrit sebagai salah satu lembaga sosial.30

Sosiologi Agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri dan berbagai hubungan antaragama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama, seperti magic, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Para sosiolog agama akan berusaha menetralkan emosi mereka ketika mengkaji agama yang berbeda dengan agama mereka sendiri. Walaupun, mungkin hal itu tidak bisa lepas sama sekali, namun objektivitas penelitian terhadap agama sangat diharapkan dalam kajian Sosiologi Agama.31

Sosiologi Agama tidak melulu membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu, tetapi semua agama dan di semua daerah di dunia tanpa memihak dan memilih-milih. Pengkajiannya bukan diarahkan kepada bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama secara kolektif terutama dipusatkan pada fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat. Perhatiannya juga ditunjukkan pada agama sebagai salah satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang.32

Jadi pelembagaan berlangsung pada tiga tingkat yang saling mempengaruhi; yaitu antara ibadah, doktrin dan organisasi. Ini sebenarnya beranjak dari kebutuhan akan stabilitas dan kesinambungan maupun kebutuhan melestarikan sisi keamanan. Kharisma yang ada diubah bentuknya ke dalam kharisma instansi dan spontanitas relatif yang ada pada periode yang lebih awal digantikan dengan bentuk-bentuk yang terlembaga pada tiga tingkat. Proses selanjutnya sering bergalau pada konflik yang tajam, keras dan berlangsung sepanjang abad. Proses mana ditampilkan oleh kebutuhan menjawab permasalahan yang timbul dari implikasi doktrin itu sendiri, kebutuhan untuk menafsirkan kembali untuk menafsirkan ajaran-ajaran tradisional agar isinya tetap relevan dengan situasi baru dan kebutuhan untuk menghadapi pengaruh eksentrik.33

Apa yang kita namakan “pelembagaan” yang kemudian melahirkan “rutinisasi kharisma” adalah suatu proses fundamental yang mendahului berdirinya organisasi keagamaan. Hal yang sama fundamental dan universalnya ialah protes. Pada umumnya, semua perkembangan, semua penyesuaian dengan masyarakat, semua inovasi, membangkitkan protes unsur-unsur kelompok agama yang tidak mampu menerima perubahan.34

Dari segi pelembagaan organisasi keagamaan secara khusus, kita menjajaki kasus agama Kristen hanya karena dalam proses ini ia menawarkan contoh yang terbaik. Gerakan keagamaan lain dengan isi pengalaman keagamaan yang berbeda dan yang berada dalam kondisi sosial budaya yang berbeda pula tentu saja akan mengikuti jalur rutinisasi yang berbeda. Tetapi masalah invarian tertentu yang diilutrasikan oleh kasus Kristen ini tersurat di dalam proses itu sendiri. Penetapan stabilitas, usaha mencapai kesinambungan, evolusi dan formalisasi praktek serta ritus, penyesuaian dengan masyarakat serta ide-ide dan nilai-nilai masyarakat itu, deferensiasi kedalaman dari berbagai kelompok keagamaan, protes yang sering kali melahirkan konflik dan perpecahan, semua hal itu merupakan masalah yang umum dijumpai dalam Sejarah organisasi keagamaan yang khusus yang manapun juga.

Pelembagaan pada tiga tingkat ini, tingkat pemujaan atau ibadat, intelektual, organisasional, juga merupakan masalah umum dan perkembangan pada tiga tingkat ini biasanya berlangsung dalam saling hubungan yang intim. Dalam kasus Kristen kita melihat arti pemujaan, penting dan strategis, yang berlanjut terus dan menampilkan kembali pengalaman keagamaan yang asli di dalam transformasi simbolis. Dalam hubungan dan sikap-sikap pemujaan implisit terdapat benih-benih doktrin dan organisasi. 

Biasanya pemujaan itu penting bagi gerakan pengembangan seperti halnya yang sering terjadi dalam Kristen Purba. Perkecualian tampil bila suatu gerakan keagamaan itu nampak sebagai suatu proses terhadap perkembangan dan praktek pemujaan. Tetapi sikap-sikap ini memang bisa benar-benar dipahami hanya dalam hubungannya dengan protes terhadap kondisi yang pertama dari pemujaan itu sendiri. Karena itu dalam perkembangan gerakan keagamaan pemujaan itu juga merupakan unsur yang umum.35

Sosiologi dan agama berinteraksi hanya dalam tingkat aktualisasi nilainilai transenden ke dalam nilai-nilai imanen, sehingga apa yang kemudian mengemuka sebagai tradisi suatu agama merupakan prototife agama yang telah memasyarakat atau bersosiologis.36 Namun yang pasti, titik temu yang sangat patut ditegaskan ialah bahwa manusia akan selalu melakukan pembedaan naturalistik, (dalam era modern) untuk membangun komunikasi dengan Tuhan dalam kaitannya dengan keberadaannya sebagai manusia yang zoon polition, homo religious, homo social.

Pendekatan dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktek-praktek keagamaan. Dialektika keberagamaan dan kesosialan meniscayakan lahirnya “wajah agama” yang memiliki dua arah orientasi, yakni Tuhan dan manusia jamak. Dalam tataran inilah, disiplin Sosiologi agama dengan demikian merupakan diskursus yang dapat menampilkan ilustrasi-ilustrasi besar kelahiran agama, mulai dari yang primitif sampai modern, yang bercorak supernatural sampai suprarasional, sentralistik sampai individualistik, normatif sampai dialektis dan seterusnya.

SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • 1 D. Hendro Puspito, O. C. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, dan B. P. K. Gunung Mulia, Jakarta, 1983, Cetakan I, halaman 7
  • 2 Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, halaman 397
  • 3 Anthony Giddens dkk., Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, Cetakan I, halaman XII 
  • 4 Ibid,. halaman XVI
  • 5 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, halaman 46
  • 6 Hendropuspito, Op. Cit., halaman 8
  • 7 Daniel L. Pals, Dekonstriksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Terj. Inyiak Ridwan Muzir, M. Syukri, IRCiSoD, Yogyakarta, 2001, halaman 130-131
  • 8 Ibid., halaman 138
  • 9 Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Pen. LkiS, Yogyakarta, 1999, halaman 271
  • 10 Hendropuspito, Op. Cit., halaman 10
  • 11 Anthony Giddens dkk., Op. Cit., halaman 45-46
  • 12 Ibid., halaman 8-9
  • 13 Ibid., halaman 9-10
  • 14 Dadang Kahmad, Op. Cit., halaman 93-94
  • 15 Ibid., halaman 96-97
  • 16 Ibid., halaman 98
  • 17 Ibid., halaman 98-99
  • 18 Ibid., halaman 105
  • 19 Ibid., halaman 106
  • 20 Ibid., halaman 106
  • 21 Ibid., halaman 107
  • 22 Ibid., halaman 108
  • 23 Ibid., halaman 108
  • 24 Ibid., halaman 109
  • 25 Ibid., halaman 110
  • 26 Ibid., halaman 111-112
  • 27 Daniel L. Pals, Op. Cit., halaman 136-137
  • 28 Ibid., halaman 11
  • 29 Ibid., halaman 24
  • 30 Ibid., halaman 26
  • 31 Dadang Kahmad, Op. Cit., halaman 46
  • 32 Ibid., halaman 47
  • 33 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Terj. Tim Penerjemah YASOGAMA, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Cetakan Ke VII, halaman 96 
  • 34 Ibid., halaman 97
  • 35 Ibid., halaman 102-103
  • 36 Max Weber, Sosiologi Agama, Terj. Muhammad Yamin, IRCiSoD, Yogyakarta, 2002, halaman vi

Prinsip-prinsip Etika Profesi Public Relations

Prinsip-prinsip Etika Profesi Public Relations 
1. Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat dengan suatu kode etik setiap profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip etika pada umumnya yang berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi profesional sejauh mereka adalah manusia (Kerap, 1998:44)

Lebih jauh Kerap (1998) mengatakan pertama, prinsip tanggung jawab adalah salah satu prinsip bagi kaum profesional. Bahkan sedemikian pokoknya sehingga seakan tidak harus lagi dikatakan. Karena, sebagaimana diuraikan di atas, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya.

Prinsip kedua adalah prinsip keadilan. Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan tertentu, khususnya orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya.

Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Hanya saja prinsip otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. kedua, otonomi itu juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan umum.

Keempat, prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas bahwa orang yang profesional juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena itu punya komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan orang lain atau masyarakat. 

2. Ihwal Etika
Sebagai pedoman baik buruknya perilaku, etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya perilaku manusia atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia. (Sobur, 2001:5)

Ditinjau dari sudut ilmu komunikasi seorang pejabat humas adalah komunikator organisasional, bukan komunikator individu seperti seorang kiai memimpin pesantren atau seorang dosen perguruan tinggi (Effendy, 1998:164)

Menurut Effendy (1998), pejabat humas bergiat melayani publik sebagai wakil organisasi tempat ia bekerja. Apa yang ia katakan dan ia lakukan menyangkut nilai dirinya dan citra organisasinya. Oleh karena itu seorang profesional organisasional, harus menjadi sumber kredibilitas, dalam arti kata sebagai seorang profesional ia harus dapat dipercaya, beritikad baik serta bersikap dan berperilaku terpuji.

Seorang profesional organisasi kegiatannya menyangkut penilaian masyarakat, sehingga banyak organisasi yang berkaitan dengan profesionalisme menyusun suatu kode etik yang wajib dipatuhi oleh para anggota organisasi tersebut. Demikian, maka di masyarakat dikenal berbagai kode etik, misalnya kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik periklanan, kode etik hubungan masyarakat dan lainnya. Tujuan diadakan kode etik tersebut ialah agar para anggota organisasi bersangkutan mempunyai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka manjaga citra organisasi. 

3. Pengertian Etika
Berbicara mengenai pengertian etika, Effendy (1998) menyebutkan istilah etika mempunyai dua pengertian, secara luas dan secara sempit. Secara luas, dilihat dari istilah bahasa Inggris yakni ethics. Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ethica yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau buruk; dengan kata lain itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain etika adalah filasafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak.

Etika dalam pengertian sempit atau dalam bahasa Inggris ethic (tanpa”s”) secara etimologis berasal dari bahasa Latin “ethicus” atau bahasa Yunani “ethicos” yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral.

Pendapat Kenneth E. Andersen, yang disitir Effendy (1998), mendefinisikan etika sebagai suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan atau keburukan dan bagaimana seharusnya.

Ia menyebutkan pula istilah-istilah etika (ethics, ethic), etis (ethical) moralitas dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga membingungkan.

Tetapi etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada tindakan yang dilakukan.

Banyak perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atau atas kehendaknya, seperti mencangkul kebun, membersihkan mobil, mendirikan rumah, atau membunuh seseorang yang direncanakan.

Dalam kasus pembunuhan, penilaian terhadap perbuatan seperti itu bergantung apakah direncanakan atau tidak. Itu semua berkaitan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada si pembunuh tersebut.

Tetapi etika tidak membuat seorang menjadi baik, menunjukkan kepadanya baik buruknya perbuatan itu. Meskipun demikian, etika turut mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana seharusnya.

Memang manusia hidup dalam rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan.

Franz Von Magnis dalam bukunya Etika Umum menyatakan bahwa jaringan norma seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita dari tindakan sesuai dengan keinginan kita, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. (Effendy, 1998:165)

Ada batas-batas yang mencegah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita inginkan dan yang bisa kita lakukan. Sebaiknya ada sesuatu yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dalam hubungan itu, Von Magnis memberikan contoh sebagai berikut:
  • Saya haus dan di warung ada bir dan saya cukup kuat untuk mengambilnya meskipun si pemilik warung tidak setuju tetapi saya tidak boleh mengambilnya karena tidak bawa uang.
  • Saya ingin mencium seorang wanita tapi tidak boleh karena dia dan saya telah kawin, tetapi masing-masing dengan orang yang berbeda.
  • Saya sedang enak duduk di kursi, tetapi harus bangkit untuk menyambut tamu yang datang.
Sebaiknya banyak yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Contoh untuk itu misalnya harus disuntik sebelum berangkat ke luar negeri. Seorang petinju harus bersalaman dengan lawannya yang akan dipukul jatuh.

4. Etika dan Citra
Pentingnya pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra (image) organisasi yang diwakilinya.

Dua konsep penting dari humas tersebut diidentifikasikan oleh G.Sachs dalam karyanya The Extent and Intention of PR/Information Activities sebagai berikut: “Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita sikap-sikap terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Penampilan (profile) adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan”.

Penjelasan G. Sachs, yang disitir Effendy (1998), dapat disimak bahwa citra adalah dunia sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik pandang mengenai kita.

Sifat penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan efek tertunda serta menjadi subyek berbagai kendala dan gangguan.

Sehubungan dengan informasi dan komunikasi itu, timbul beberapa pertanyaan: informasi apa yang dikomunikasikannya, siapa yang mengkomunikasikannya, siapa yang menjadikan sasaran komunikasinya, dan lain sebagainya.

Dalam hubungannya dengan citra penampilan, tampak bahwa citra dan penampilan tidak pernah serupa dan tidak pernah tepat. Citra menjadi sasaran faktor-faktor yang sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai faktor-faktor yang dapat kita pengaruhi dan yang mempengaruhi citra kita, jelas bahwa kegiatan pengkomunikasian informasi yaitu cara menyalurkan penampilan kita sangatlah penting karena merupakan kebijakan informasi.

Citra dan penampilan dalam kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral sudah disadari dan dipermasalahkan sejak lama, sejak humas dikonseptualisasikan, lebih–lebih setelah didirikan International Public Relation Association (IPRA).

IPRA Code of Conduct, yaitu kode etik atau kode perilaku dari organisai humas internasional itu, diterima dalam konvensinya di Venice pada bulan Mei 1961. Berikut ini adalah ikhtisar dari kode etik tersebut.
1) Integritas pribadi dan profesional (standar moral yang tinggi), reputasi yang sehat, ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA.
2) Perilaku klien dan karyawan: (1) perlakuan yang adil terhadap klien dan karyawan, (2) tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing tanpa persetujuan, (3) menjaga kepercayaan klien dan karyawan, (4) tidak menerima upah, kecuali dari klien lain atau majikan lain, (6) menjaga kompensasi yang tergantung pada pencapaian suatu hasil tertentu.
3) Perilaku terhadap publik dan media: (1) memperhatikan kepentingan umum dan harga diri seseorang, (2) tidak merusak integritas media komunikasi, (3) tidak menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan, (4) memberikan gambaran yang dapat dipercaya mengenai organisasi yang dilayani, (5) tidak menciptakan atau menggunakan pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan khusus atau kepentingan pribadi yang tidak terbuka.
4) Perilaku terhadap teman sejawat: (1) tidak melukai secara sengaja reputasi profesional atau praktek anggota lain, (2) tidak berupaya mengganti anggota lain dengan karyawannya atau kliennya, (3) bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan kode etik ini.

5. Perihal Etiket
Istilah etiket sebagai terjemahan dari bahasa Perancis etiquette secara harfiah berarti peringatan, secara maknawi menurut The Random House Dictionary of The English Language, berarti persyaratan konvensional mengenai perilaku sosial (conventional requirements as to social behavior). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etiket diartikan sebagai tata cara dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama manusianya. 

Definisi di atas menjelaskan bahwa etiket adalah peraturan, baik secara tidak tertulis maupun tertulis, mengenai pergaulan hidup manusia dalam suatu masyarakat yang beradab. Perkataan “beradab” menunjukkan bahwa seseorang merasa dirinya beradab harus mengenal tata cara hidup dalam pergaulan dengan manusia lain. Apabila ia tidak peduli akan etiket pergaulan, maka ia akan dinilai tidak beradab. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan beradab atau peradaban itu? Peradaban atau sivilisasi (civilization), menurut kamus di atas berarti sebuah keadaan masyarakat manusia yang maju yang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan pada tingkat tinggi (an advance state of human society, in which a high level of culture, science, industry, and government has been reach).

Etiket berkaitan dengan tata cara pergaulan modern yang biasanya dihubungkan dengan kehidupan bangsa barat yang memang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan yang tinggi.

Etiket dalam hal tertentu berhubungan dengan etika, tetapi tidak selalu, sebab etika seperti telah dijelaskan tadi berhubungan dengan penilaian benar atau salah dan baik atau buruk yang dilakukan secara sengaja. Seorang yang berperilaku tidak etis dalam arti kata tidak mempedulikan etika adalah menyinggung perasaan orang lain, kelompok lain, atau bangsa lain, karena tindakannya dilakukan dengan sengaja.

Etiket tidak demikian. Seseorang yang tidak tahu etiket tidak dapat dinilai tidak etis. Etiket berfungsi seseorang dinilai beradab sebagaimana disinggung diatas. Demikianlah dalam pergaulan modern dikenal etiket berpakaian, etiket makan, etiket minum, etiket bertamu, dan lain sebagainya.

Paparan di atas merupakan isyarat para pejabat humas betapa pentingnya etika dan etiket bagi para pejabat humas dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, sebab penampilannya menyangkut citra organisasi yang diwakilinya.

Kolonel William P. Nickols, Direktur Humas Angkatan Darat Amerika Serikat, pernah menyajikan suatu ilustrasi yang sangat bagus kepada para tarunanya mengenai pentingnya penjagaan citra organisasi yang menjadi tanggung jawab humas. Dia berucap begini:

Humas adalah ibarat cermin yang Anda pegang di depan organisasi Anda, sehingga Anda, organisasi yang Anda wakili, dan publik, dapat melihat segala sesuatu yang tampak pada cermin tersebut. Jika cermin itu retak, kotor dan banyak goresan, akan memantulkan gambaran atau citra yang rusak di wajah organisasi Anda yang sebenarnya. Akan tetapi, apabila cermin itu bersih cemerlang akan memperlihatkan wajah organisasi Anda yang sebenarnya pula, terang dan jelas. Misalkan pada wajah organisasi Anda terdapat noda, apakah karena penampilan Anda, kebijaksanaan Anda, atau kegiatan yang Anda lakukan, maka itu semua dengan mudah dapat menyentuh perasaan publik Anda. Cermin yang cacat tidak akan dapat menunjukkan noda-noda tadi. Dan Anda, demikian pula organisasi Anda dan publik Anda tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi. Sebaliknya cermin yang utuh cemerlang akan membangkitkan perhatian untuk segera menghilangkan noda-noda tersebut.

Jadi humas diibaratkan cermin, dan yang bertugas memelihara dan bertanggung jawab atas kebersihan itu adalah pejabat humas beserta staf yang dipimpinnya dengan cara senantiasa menjaga etika dan etiket dalam pergaulan hidup sehari-hari, baik dengan publik internal maupun eksternal.

6. Etika Dalam Kegiatan Public Relations
Telah kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah dalam hal pengertian wujud manusia (human being), melainkan proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, tingkah laku dan lain-lain, serta aspek-aspek yang menyangkut kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia (Soekotjo, 1993:102).

Menurut Soekotjo (1993), karena itu dalam konteks hubungan di Indonesia, yang baik terlebih lagi sebagai insan humas, maka akan tampak betapa pentingnya faktor etika. Disebut orang penting karena sebelum melaksanakan hubungan manusia, sikap etis harus tercermin terlebih dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak menyangkut hubungan manusia.

Terlebih lagi sebagai manusia Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih tampak di mana-mana, sikap etis seorang pemimpin terhadap bawahannya menjadi sangat penting karena seorang pemimpin harus mencerminkan sikap seorang panutan yang akan disegani oleh bawahan dan rekan-rekan sekerjanya. Aturan pertama dan pokok dari segala etika: Do what you want from others do to you?.

Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika yang umum dan tidak umum antara lain:
1) Good communicator for internal and external public
2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
3) Memberikan kepada bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka merasa diakui/dibutuhkan)
4) Etika sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan
6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
7) Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana
8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
9) Penuh dedikasi dalam profesinya
10) Menaati kode etik humas.

7. Profesi dan Profesional
Menurut Ruslan (2001), kiat menjadi profesional, yaitu harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang melekat pada profesi yang ditekuni oleh yang bersangkutan, khususnya profesional public relations. Secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki skill atau kemampuan, pengetahuan tinggi oleh orang umum lainnya, apakah itu diperoleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang diperolehnya, dan ditambah dengan pengalaman selama bertahun-tahun yang telah ditempuhnya sebagai profesional.
2) Mempunyai kode etik dan merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam bentuk suatu aturan main, dan perilaku ke dalam “Kode Etik” yang merupakan standar atau komitmen moral atau perilaku (code of conduct) dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban selaku by profession dan by function yang memberikan bimbingan, arahan, serta memberikan jaminan dan pedoman bagi profesi yang bersangkutan untuk tetap taat dan mematuhi kode etik tersebut
3) Memiliki tanggung jawab profesi dan integritas pribadi yang tinggi baik terhadap dirinya sebagai penyandang profesi humas/PR, maupun terhadap publik, iklim, pimpinan, organisasi perusahaan, pembangunan media massa hingga menjaga martabat serta nama baik bangsa dan negaranya.
4) Memiliki jiwa pengabdian kepada publik atau masyarakat, dan dengan penuh dedikasi profesi luhur yang disandangnya, yaitu dalam pengambilan keputusan adalah meletakkan kepentingan pribadinya demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negaranya. Memiliki jiwa pengabdian dan semangat dedikasi tinggi dan tanpa pamrih dalam memberikan pelayanan jasa keahlian dan bantuan kepada pihak lain yang memang membutuhkannya.
5) Otonomisasi organisasi profesional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola organisasi PR/humas, yang mempunyai kemampuan perencanaan dalam program kerja jelas, strategik, mandiri, dan tidak bergantung pihak lain serta sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, dapat dipercaya dalam menjalankan operasional, peran dan fungsinya. Di samping itu, memiliki standar dan etos kerja profesional yang tinggi.
6) Menjadi anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk menjaga eksisitensinya, mempertahankan kehormatan dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai tolok ukur agar tidak dilanggar. Selain organisasi profesi sebagai tempat berkumpul, fungsi lainnya adalah merupakan wacana komunikasi untuk saling menukar informasi, pengetahuan dan membangun rasa solidaritas sesama rekan anggota.

Sebagai seorang profesional PR/humas harus mampu bekerja atau bertindak melalui pertimbangan yang matang dan benar, yaitu dapat membedakan secara etis mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, sesuai dengan pedoman kode etik profesi yang disandang.

Melalui pemahaman etika profesi tersebut, diharapkan para profesional dan khususnya PR/humas yang harus memiliki kemampuan tertentu, yaitu:
1) kemampuan untuk kesadaran etis, yang merupakan landasan kesadaran yang utama, bagi seseorang profesional untuk lebih sensitif dalam memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subjektif, tetapi ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif)

2) kemampuan untuk berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, objektif, dan penuh dengan integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi.

3) kemampuan untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku, sikap, etika moral dan tata krama (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social contact), termasuk memperhatikan hak-hak pihak lain dan dengan menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.

4) kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership) yakni kemampuan atau memiliki jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing dan membina pihak lain yang dipimpinnya, termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.

Konsep-Konsep Dasar Komunikasi Dalam Komunikasi Bisnis

Konsep-Konsep Dasar Komunikasi Dalam Komunikasi Bisnis 
Pada dasarnya ada dua bentuk dasar komunikasi yang lazim digunakan dalam dunia bisnis, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Masing-masing bentuk komunikasi tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1. Komunikasi Verbal
Apa yang dimaksud dengan komunikasi verbal? Komunikasi verbal (verbal communications) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang lazim digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan bisnis kepada pihak lain melalui tulisan maupun lisan. Bentuk komunikasi ini memiliki struktur yang teratur dan terorganisasi dengan baik.

Dalam dunia bisnis dapat dijumpai berbagai macam contoh komunikasi verbal, misalnya:
  • Membuat dan mengirim surat teguran kepada nasabah yang menunggak pembayarannya.
  • Membuat dan mengirim surat penawaran harga barang kepada pihak lain.
  • Membuat dan mengirim surat konfirmasi barang kepada pelanggan.
  • Membuat dan mengirim surat pemesanan barang (order) kepada pihak lain.
  • Membuat dan mengirim surat aduan (claim) kepada pihak lain.
  • Membuat dan mengirim surat permintaan barang kepada pihak lain.
  • Membuat dan mengirim surat penolakan kerja.
  • Membuat dan mengirim surat kontrak kerja kepada pihak lain.
  • Memberi informasi kepada pelanggan yang meminta informasi tentang produk-produk baru.
  • Berdiskusi dalam suatu tim kerja (teamwork).
  • Melakukan wawancara kerja dengan para pelarnar kerja di suatu perusahaan.
  • Mengadakan briefing dengan staf karyawan. 
  • Mengadakan pelatihan manajernen kepada para manajer operasional/lini bawah.
  • Melakukan presentasi proposal pengembangan perusahaan di hadapan tim penguji. 
  • Melakukan teleconference dengan pihak lain.
Dalam dunia bisnis, seseorang dapat saja mengekspresikan pesan-pesannya secara nonverbal (tidak melalui tulisan atau lisan). Namun, ekspresi secara nonverbal memiliki suatu keterbatasan dalam mengkomunikasikan sesuatu kepada pihak lain. Sebagai contoh, jika seseorang ingin membahas suatu kejadian masa lalu, ide atau abstraksi, dia tidak bisa menggunakan ekspresi wajah atau bahasa tubuh untuk menerangkannya. Sebaliknya, dia harus menggunakan bahasa verbal, atau dengan kata lain dia perlu menyusun kata-kata dalam suatu pola. yang merniliki arti atau makna, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.

Melalui komunikasi lisan atau tulisan, diharapkan orang dapat memahami apa yang disampaikan oleh pengirim pesan dengan baik. Penyarnpaian suatu pesan melalui tulisan dan lisan memiliki suatu harapan bahwa seseorang akan dapat mernbaca atau mendengar apa yang dikatakan pihak lain dengan baik dan benar.

Komunikasi bisnis yang efektif sangat tergantung pada keterampilan seseorang dalam mengirim maupun menerima pesan. Secara umum, untuk menyampaikan pesan-pesan bisnis, seseorang dapat menggunakan tulisan dan lisan. Sedangkan untuk menerima pesan-pesan bisnis, seseorang dapat menggunakan pendengaran dan bacaan. Bagan menunjukkan berbagai macam bentuk komunikasi verbal yang digunakan dalam dunia bisnis.

a. Berbicara dan Menulis
Pada umumnya, untuk mengirimkan pesan-pesan bisnis, orang lebih senang berbicara (speaking) daripada menulis (writing) suatu pesan. Alasannya, komunikasi lisan relatif lebih mudah, praktis (efisien), dan cepat dalam penyampaian pesan-pesan bisnis. Pada umumnya, bagi para pelaku bisnis, penyampaian pesan-pesan bisnis dengan tulisan relatif jarang dilakukan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa komunikasi lewat tulisan tidak Penting. Hal ini karena tidak semua hal bisa disampaikan secara lisan.

Pesan yang sangat penting dan kompleks, lebih tepat disampaikan dengan menggunakan tulisan. Adapun bentuk-bentuk komunikasi tertulis dalam dunia bisnis mencakup antara lain surat (macam-macam surat bisnis), memo, dan laporan. Masing-masing bentuk surat-surat bisnis tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci pada bab-bab berikutnya.

b. Mendengar dan Membaca
Meskipun buku ini lebih menekankan pada bentuk komunikasi tulisan daripada lisan, perlu diingat bahwa komunikasi yang efektif merupakan komunikasi dua arah. Orang-orang yang terlibat dalam dunia bisnis cenderung lebih suka memperoleh atau mendapatkan informasi daripada menyampaikan informasi. Untuk melakukan hal tersebut, mereka memerlukan keterampilan mendengar (listening) dan membaca (reading).

Sayangnya, kebanyakan orang dalam dunia bisnis memiliki kemampuan mendengar yang relatif lemah (kurang baik). Sebagai contoh sederhana, ketika seseorang mengikuti seminar bisnis, maka informasi yang dapat diserap dalam benak pikiran mungkin hanya setengah dari yang diucapkan (itupun masih lumayan). Beberapa hari kemudian, pesan yang masih dapat diingat mungkin tinggal seperempatnya. Begitu pula halnya dengan mahasiswa. Tatkala mengikuti kuliah, pada hari pertama mungkin banyak hal yang didapatkan, dipaharni, dan dimengerti. Namun, pada hari-hari berikutnya materi yang masih dapat diingat, dipaharni, dan dimengerti sudah semakin banyak berkurang.

Dalam kaitannya dengan keterampilam membaca, seseorang sering mengalarni kesulitan dalam mengambil pesan-pesan penting dari suatu bacaan. Hasil studi yang dilakukan oleh Irwin Ross pada tahun 1986 di majalah Fortune Amerika Serikat rnenunjukkan bahwa kira-kira 38 persen dari orang dewasa mengalarni kesulitan memahami iklan di berbagai surat kabar, 14 persen kesulitan mengisi cek secara benar, 26 persen kesulitan dalam penjurnlahan dan pengurangan dalam buku cek, dan sekitar 20 persen mengalarni kesulitan membaca dengan baik.

Meskipun mendengar dan membaca adalah hal yang berbeda, keduanya memerlukan pendekatan serupa. Langkah pertama adalah mencatat informasi yang berarti bahwa seseorang harus memusatkan perhatian pada pembicaraan yang tengah berlangsung atau bahan yang sedang dibacanya. Setelah dapat menangkap inti pembicaraan atau bacaan, langkah selanjutnya adalah menafsirkan dan menilai informasi. Langkah ini merupakan bagian terpenting dari proses mendengar.

Sambil melakukan penyaringan suatu informasi, seseorang harus dapat memutuskan mana informasi yang penting dan mana yang tidak penting. Suatu pendekatan yang dapat dilakukan adalah mencari ide pokok (main idea) dan ide-ide pendukung (supporting idea) secara rinci. jadi, untuk dapat menyerap informasi dengan baik seseorang harus dapat berkonsentrasi pada apa yang sedang dibaca atau didengar. Pekerjaan tersebut tentu saja bukan tugas yang mudah, karena perlu suatu tindakan yang berulang-ulang, tidak sekali jadi sebagaimana bim salabim!

2. Komunikasi Nonverbal
Bentuk komunikasi yang paling mendasar dalam komunikasi bisnis adalah komunikasi nonverbal (nonverbal communications). Menurut teori antropologi, sebelum manusia menggunakan kata-kata, manusia telah menggunakan gerakan-gerakan tubuh, bahasa tubuh (body language) sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Berikut ini adalah beberapa contoh perilaku yang menunjukkan komunikasi nonverbal:
  • Menggertakkan gigi untuk menunjukkan kemarahan (dalam bahasa jawa disebut getem-getem).
  • Mengerutkan dahi untuk menunjukkan seseorang sedang berpikir.
  • Gambar pria atau wanita yang dipasang di pintu masuk toilet untuk menunjukkan kamar sesuai dengan jenis kelaminnya.
  • Berpangku tangan untuk menunjukkan seseorang sedang melamun.
  • Tersenyum dan berjabat tangan dengan orang lain untuk mewujudkan rasa senang, simpati, dan penghormatan.
  • Membuang muka untuk menunjukkan sikap tidak senang atau antipati terhadap orang lain.
  • Menggelengkan kepala untuk menunjukkan sikap menolak atau keheranan.
  • Menganggukkan kepala untuk menunjukkan tanda setuju atau OK.
  • Berbicara dengan mengambil jarak agak menjauh untuk menunjukkan bahwa lawan bicaranya belum begitu dikenal dengan baik (asing).
  • enutup mulut dengan telapak tangan untuk menunjukkan suatu kebohongan.
  • Telapak tangan yang terbuka untuk menunjukkan kejujuran.
  • Tangan mengepal untuk menunjukkan penuh percaya diri.
  • Gerakan kaki dan tangan secara tidak teratur, bagaikan orang yang kedinginan untuk menunjukkan bahwa seseorang sedang grogi (nervous).
  • Seseorang mengirimkan seuntai bunga kepada teman yang meraih sukses bisnis untuk menunjukkan rasa simpati dan ucapan selamat atas kesuksesan yang diraih.
  • Ruang tunggu sebuah bank disediakan tanpa tempat duduk untuk menunjukkan bahwa para nasabah akan dilayani dengan cepat tanpa harus menunggu lama.
Pendek kata, dalam komunikasi nonverbal orang dapat mengambil suatu kesimpulan tentang berbagai macam perasaan orang lain, baik rasa senang, benci, cinta, rindu dan berbagai macam perasaan lainnya. Lagi pula, komunikasi nonverbal berbeda dengan komunikasi verbal di dalam cara yang cukup mendasar.

Pada umumnya, bentuk komunikasi nonverbal memiliki sifat yang kurang terstruktur yang membuat komunikasi nonverbal sulit untuk dipelajari. Sebagai contoh, seseorang akan mengalami kesulitan bila menyuruh orang lain untuk mengambil buku kerja di suatu tempat yang terdapat beragam warna maupun judul bukunya dengan menggunakan bahasa nonverbal. Di samping itu, proses belajar yang dialami seseorang untuk dapat melakukan perilaku nonverbal juga sulit dijelaskan. Tak seorang pun pernah mengajari bagaimana bayi menangis, tersenyum, atau tertawa. Dan tak seorang pun pernah belajar mengerutkan dahi, manakala jalan pikirannya buntu atau terganggu. Begitu halnya orang berteriak histeris, manakala seseorang sedang frustasi atau stres berat karena tak mampu menyelesaikan pekerjaan berat tepat pada waktunya.

Ada beberapa jenis komunikasi nonverbal lainnya, seperti arti suatu warna dan gerak-isyarat tertentu, yang akan, bervariasi dari waktu ke waktu. Warna-warna cerah yang ada di ruang-ruang kantor, warna pakaian seragam kerja (uniform) para karyawan yang berbeda antar departemen (bagian) yang satu dengan departemen (bagian) lainnya dalam suatu perusahaan. Di samping itu, bahasa isyarat yang sering ditunjukkan oleh para karyawan yang sedang menyelesaikan pekerjaan di kantor, juga termasuk salah satu bentuk komunikasi nonverbal.

Komunikasi nonverbal juga lebih bersifat spontan dibandingkan dengan komunikasi verbal dalam hal penyampaian suatu pesan. Pada umumnyal sebelum menyampaikan sesuatu, seseorang sudah memiliki suatu rencana tentang apa yang ingin dikatakan. Misalnya, ketika seseorang mengatakan "Tolong, bukakan pintu itu," maka pada saat itu seseorang dengan sadar telah mempunyai tujuan atau maksud tertentu. Tetapi, ketika seseorang berkomunikasi secara nonverbal, ia seringkali melakukannya secara tidak sadar. Contoh yang paling sederhana adalah mengerutkan dahi ketika sedang memikirkan sesuatu, ekspresi wajah yang memerah karena ingin meluapkan kemarahan, mondar-mandir tanpa tujuan yang pasti karena pikiran sedang kacau, dan sejenisnya. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat alami (natural) dan tak pernah direncanakan sebelumnya. Ekspresi seseorang baik senang dan sedih, juga termasuk ke dalam komunikasi nonverbal.

3. Pentingnya Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal sering tidak terencana atau kurang terstruktur. Namun, komunikasi nonverbal memiliki pengaruh yang lebih besar daripada komunikasi verbal. Isyarat-isyarat komunikasi nonverbal adalah sangat penting terutama untuk menyampaikan perasaan dan emosi seseorang.

Apa kebaikan atau keunggulan dari komunikasi nonverbal? Salah satu kebaikan komunikasi nonverbal adalah kesahihannya (reliabilitas). Hal ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap kebenaran pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan bahasa isyarat. Secara umum, orang akan mudah menipu orang lain dengan menggunakan kata-kata daripada menggunakan gerakan tubuh (bahasa isyarat). Komunikasi dengan menggunakan kata-kata akan lebih mudah dikendalikan daripada dengan menggunakan bahasa isyarat (gerakan badan/tubuh) atau ekspresi wajah. Hal ini disebabkan oleh sifat komunikasi nonverbal yang spontan. Ketika seseorang mendengar berita yang menyenangkan, ekspresi wajah seseorang nampak cerah ceria, seolah-olah tanpa beban. Namun, bila seseorang mendengar berita yang kurang menyenangkan yang menyangkut diri sendiri, keluarga, atau teman karib, maka dengan cepat ekspresi wajah seseorang akan mudah berubah menjadi murung, lesu, lemah, tak bergairah, seolah-olah hampa dunia ini.

Dengan memperhatikan isyarat nonverbal, seseorang dapat mendeteksi kecurangan atau menegaskan kejujuran orang lain. Maka, tidaklah mengherankan bila seseorang lebih percaya pada pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat nonverbal ketimbang pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat verbal. Seseorang dapat saja menutup-nutupi kecurangan dengan isyarat verbal (seperti tulisan). Namun, ia tidak dapat sepenuhnya menutupi apa yang sedang terjadi pada dirinya karena hal itu tercermin dalam ekspresi wajahnya. Manakala wajah seseorang murung atau cemberut, maka dapat diduga bahwa seseorang sedang menghadapi suatu masalah, mungkin masalah pribadi, keluarga, atau masalah bisnis di kantornya.

Komunikasi nonverbal penting artinya bagi pengirim dan penerima pesan, karena sifatnya yang efisien. Suatu pesan nonverbal dapat disampaikan tanpa harus berpikir panjang, dan pihak audiens juga dapat menangkap artinya dengan cepat.

Coba perhatikan para petugas penyaji makanan dan minuman (dalam bahasa Jawa disebut sinoman) di suatu acara resepsi yang sedang melakukan tugasnya. Pada urnurnnya mereka memiliki bahasa-bahasa isyarat tertentu yang dapat dipaharni oleh teman-teman mereka untuk menunjukkan tempat-tempat mana yang sudah maupun yang belum mendapat jamuan makanan atau minurnan. Contoh lain, ketika seorang karyawan berusaha inernanggil ternannya yang sedang as yik mengobrol di suatu ternpat yang agak jauh. la dapat menggunakan isyarat nonverbal seperti bertepuk tangan sambil melambaikan tangan untuk memanggil temannya tersebut.

Cukup banyak contoh bentuk kornunikasi nonverbal baik yang ada dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia bisnis. Coba Anda kernbangkan contoh-contoh yang lain!

4. Tujuan Komunikasi Nonverbal
Meskipun komunikasi nonverbal dapat berdiri sendiri, namun seringkali berkaitan erat dengan ucapan (lisan). Ini berarti sering terjadi penggabungan antara komunikasi verbal dan nonverbal dalam suatu situasi. Kata-kata yang disampaikan dalam suatu percakapan hanya membawa sebagian dari suatu pesan. Sedangkan bagian yang lain, disampaikan melalui sinyal-sinyal nonverbal. Coba amati acara "Dunia dalam Berita' pukul 21.00 WIB di stasiun televisi TVRI. Dalam acara itu, dengan mudah dapat dijurnpai kombinasi kornunikasi verbal dan nonverbal. Coba perhatikan dengan cermat!

Apa sebenarnya tujuan komunikasi nonverbal? Menurut John V. Thil dan Courtland Bovee dalam Excellence In Business Communications, kornunikasi nonverbal mempunyai enam tujuan, yaitu: 
1) Menyediakan/memberikan informasi. 
2) Mengatur alur suatu percakapan.
3) Mengekspresikan emosi.
4) Mernberi sifat, melengkapi, menentang, atau mengembangkan pesan-pesan verbal.
5) Mengendalikan atau mempengaruhi orang lain.
6) Mempermudah tugas-tugas khusus, misalnya bagairnana mengayunkan tongkat golf yang baik dan benar.

Bagaimana relevansi komunikasi nonverbal dalam dunia bisnis? Dalam dunia bisnis, komunikasi nonverbal dapat membantu menentukan kredibilitas dan potensi kepemimpinan seseorang. Jika seseorang dapat belajar mengelola pesan yang dibuat dengan bahasa isyarat, karakteristik atau ekspresi wajah, suara dan penampilan, ia dapat melakukan komunikasi dengan baik. Dengan kata lain, seorang manajer (pemimpin) sekaligus harus dapat menjadi komunikator yang baik. la harus tahu bagaimana menyampaikan pesan-pesan bisnis kepada para bawahannya, kapan dan kepada siapa pesan-pesan bisnis itu harus disampaikan.

Lebih lanjut, jika seseorang dapat belajar membaca pesan-pesan nonverbal yang disampaikan orang lain, ia akan dapat menafsirkan maksud dan sikap mereka secara lebih akurat dan lebih tepat. Ketika berurusan dengan para karyawan, klien atau pelanggan, perhatikanlah secara seksama pesan-pesan yang mereka sampaikan. Apabila sikap karyawan menunjukkan gejala-gejala kurang atau menurun semangat kerjanya, sering melakukan mogok kerja, dan prestasi kerja menurun, seorang manajer harus tanggap dan segera mengambil langkah-langkah penanggulangan. Contoh-contoh tersebut menggambarkan betapa pentingnya bagi seorang pemimpin dalam level apa pun untuk peka terhadap sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh bawahannya.

PROSES KOMUNIKASI
Sesuatu yang dapat dinikmati saat ini seperti buku yang sedang Anda baca, compact disc dengan lagu-lagu nostalgia, acara-acara televisi yang beraneka ragarn, Internet yang banyak membawa informasi baru, personal computer yang semakin canggih, dan sejenisnya tidaklah datang begitu saja, tetapi melalui suatu proses yang cukup panjang. Demikian pula dengan komunikasi, yang memerlukan proses.

Perhatikanlah seseorang yang sedang berbicara, menulis, mendengar, atau membaca, kegiatan komunikasi yang mereka lakukan lebih dari satu tindakan. Sebagai suatu proses, kormunikasi mempunyai persamaan dengan bagaimana seseorang mengekspresikan perasaan, hal-hal yang berlawanan (kontradiktif), yang sama (selaras, serasi), serta meliputi proses menulis, mendengar, dan mempertukarkan informasi. Menurut Courtland L. Bovee dan John V. Thil dalam Business Communication Today, proses komunikasi (communication process) terdiri atas enarn tahap, yaitu:
1) Pengirim mempunyai suatu ide atau gagasan.
2) Pengirim mengubah ide menjadi suatu pesan. 
3) Pengirim menyampaikan pesan.
4) Penerima menerima pesan.
5) Penerima menafsirkan pesan.
6) Penerima memberi tanggapan dan mengirim urnpan balik kepada pengirim.

Keenam tahapan dalam proses komunikasi tersebut dapat digambarkan dalam sebuah diagram sebagai berikut:


Tahap Pertama: Pengirim Mempunyai Suatu Ide atau Gagasan
Sebelum proses penyampaian pesan dapat dilakukan, maka pengirim pesan harus menyiapkan ide atau gagasan apa yang ingin disampaikan kepada pihak lain atau audiens. Ide dapat diperoleh dari berbagai sumber yang terbentang luas di hadapan kita. Dunia ini penuh dengan berbagai macam informasi, baik yang dapat dilihat, didengar, dicium maupun diraba. Ide-ide yang ada dalam benak kita disaring dan disusun ke dalam suatu memori yang ada dalam jaringan otak, yang merupakan gambaran persepsi kita terhadap kenyataan. Setiap orang akan memiliki peta mental yang berbeda, karena kita memandang dunia dan menyerap berbagai pengalaman dengan suatu cara yang unik dan bersifat individual.

Karena persepsi adalah hal yang unik, ide yang disampaikan seseorang mungkin akan ditafsirkan secara berbeda oleh orang lain. Bahkan dua orang yang memiliki suatu pengalaman yang sama terhadap sesuatu hal atau kejadian, akan memiliki suatu kesan yang tidak serupa. Sebagai contoh, ada dua orang yang bersama-sama mengikuti briefing dari pimpinan perusahaan. Apabila mereka diminta untuk menceritakan pengalaman mereka masing-masing, tentu ada beberapa hal yang berbeda. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena setiap orang akan menyaring informasi yang didapat, dan hanya akan memperhatikan dan mengingat hal-hal yang mereka anggap menarik atau penting. Seorang komunikator yang baik harus dapat menyaring hal-hal yang tidak penting atau tidak relevan, dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang memang penting dan relevan. Dalam dunia komunikasi, proses tersebut dikenal sebagai abstraksi (abstraction).

Tahap Kedua: Pengirim Mengubah Ide Menjadi Suatu Pesan 
Dalam suatu proses komunikasi, tidak semua ide dapat diterima atau dimengerti dengan sempurna. Seperti yang telah diuraikan pada, bagian B dari bab ini, proses komunikasi dimulai dengan adanya ide dalam pikiran, yang lalu diubah ke dalam bentuk pesan-pesan seperti dalam bentuk kata-kata, ekspresi wajah, dan sejenisnya, untuk kemudian dipindahkan kepada orang lain.

Agar ide dapat diterima dan dimengerti secara sempurna, pengirim pesan harus memperhatikan beberapa hal, yaitu subjek (apa yang ingin disampaikan), maksud (tujuan), audiens, gaya personal, dan latar belakang budaya. Sebagai contoh sederhana, pada umumnya orang Timur cenderung menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa tak langsung dan bahasa penghalus. Untuk menyatakan sikap menolak, seseorang terlebih dahulu harus menggunakan kalimat-kalimat pembuka yang bersifat netral, baru kemudian menyatakan sikap penolakan.

Tahap Ketiga: Pengirim Menyampaikan Pesan
Setelah mengubah ide-ide ke dalam suatu pesan, tahap berikutnya adalah memindahkan atau menyampaikan pesan melalui berbagai saluran yang ada kepada si penerima pesan. Rantai saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan terkadang relad pendek, namun ada j uga yang cukup panjang. Panjang-pendeknya rantai saluran komunikasi yang digunakan akan berpengaruh terhadap efektivitas penyampaian pesan. Bila pesan-pesan yang panjang dan kompleks disampaikan secara lisan, pesan-pesan tersebut bisa terdistorsi atau bahkan bertentangan dengan pesan aslinya. Di samping itu, dalam menyampaikan suatu pesan, berbagai media komunikasi dapat digunakan, media tulisan maupun lisan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan jenis atau sifat pesan yang akan disampaikan.

Tahap Keempat: Penerima Menerima Pesan
Komunikasi antara seseorang dengan orang lain akan terjadi, bila pengirim mengirimkan suatu pesan dan penerima menerima pesan tersebut. Jika seseorang mengirim sepucuk surat, komunikasi baru bisa terjalin bila penerima surat telah membaca dan memahami isinya.

Jika seseorang menyampaikan pidato di hadapan umum, para pendengar sebagai audiens harus dapat mendengar apa yang dikatakan, dan memahami pesan-pesan yang disampaikan.

Tahap Kelima: Penerima Menafsirkan Pesan
Setelah penerima menerima suatu pesan, tahap berikutnya adalah bagaimana ia dapat menafsirkan pesan. Suatu pesan yang disampaikan pengirim harus mudah dimengerti dan tersimpan di dalam benak pikiran si penerima pesan. Selanjutnya, suatu pesan baru dapat ditafsirkan secara benar bila penerima pesan telah memahami isi pesan sebagaimana yang dimaksud oleh pengirim pesan.

Tahap Keenam: Penerima Memberi Tanggapan dan Mengirim Umpan Balik ke Pengirim
Umpan balik (feedback) adalah penghubung akhir dalam suatu mata rantai komunikasi. la merupakan tanggapan penerima pesan yang memungkinkan pengirim untuk menilai efektivitas suatu pesan.

Setelah menerima pesan, penerima akan memberi tanggapan dengan cara tertentu dan memberi sinyal terhadap pengirim pesan. Sinyal yang diberikan oleh penerima pesan beraneka macam, dapat berupa suatu senyuman, tertawa, sikap murung, cemberut, memberi komentar sekilas (singkat), anggukan sebagai pembenaran, atau pesan secara tertulis. Sebagai contoh, seorang karyawan perusahaan menerima sepucuk surat dari pimpinannya. Sesaat kemudian surat tersebut dibacanya. Apabila ekspresi wajahnya nampak murung, berarti dapat diduga bahwa ia menerima berita yang kurang menyenangkan. Sebaliknya, jlka ia menerima surat dari pimpinannya dan setelah dibacanya nampak ekspresi wajah yang berseri-seri, dapat diduga bahwa ia menerima berita yang menyenangkan. Bentuk ekspresi wajah tersebut adalah contoh umpan balik (feedback) dalam berkomunikasi.

Umpan balik memegang peranan penting dalam proses komunikasi, karena ia memberi kemungkinan bagi pengirim untuk menilai efektivitas suatu pesan. Di samping itu, adanya umpan balik dapat menunjukkan adanya faktor-faktor penghambat komunikasi, misalnya perbedaan latar belakang, perbedaan penafsiran kata-kata, dan perbedaan reaksi secara emosional. 

Variabel-variabel Komunikasi Bisnis 
Berbicara mengenai variabel-veriabel komunikasi, termasuk komunikasi bisnis, biasanya mengacu pada model komunikasi klasik yang dikembangkan ahli komunikasi Harold D. Laswell. Variabel-variabel tersebut dirumuskan dalam apa yang dinamakan Formula Laswell yang menyatakan : who, says what, to whom, through what channel and with what effect? Dari formula ini, kita bisa mengidentifikasi bahwa who adalah komunikator, say what adalah pesan, to whom adalah komunikan, through what channel adalah saluran/media, dan with what effects adalah efek komunikasi. Namun penerapan formula ini dalam kegiatan komunikasi bisnis memerlukan sedikit modifikasi, seperti yang dilakukan Rosenblatt berikut ini :
1. Variabel Sumber (who) : yang berkaitan dengan kredibilitas sumber yang berdimensi keahlian, kepercayaan dan dinamisme.
2. Variabel Pesan (say what) : yang berupa pesan verbal dan nonverbal
3. Variabel Penerima (to whom) : yang berkaitan dengtan karakteristik komunikan berdasarkan aspek fisologis, psikologis dan sosiologis.
4. variabel Konteks (in what context) : yang terdiri dari konteks psikologis dan fisikal
5. Variabel Saluran (through what channel) : yang penggunaannya ditentukan oleh variabel penerima dan pesan
6. Variabel Efek (with what effects) : yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan kegiatan atau proses komunikasi.

Bila dibandungkan dengan Formula Laswell, Rosenblatt menambahkan variabel “konteks”. Hal ini bisa dimengerti karena proses komunikasi, termasuk komunikasi bisnis, selalu berlangsung dalam konteks tertentu. 

Komunikasi dalam Manajemen Bisnis 
Tujuan organisasi bisnis adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sebagai sebuah kegiatan bisnis, organisasi bisnis pun bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat itu diperoleh melalui cara yang legal dengan menyediakan kebutuhan barang-barang dan jasa masyarakat.

Elemen-elemen organisasi bisnis dapat dibagi dua :
1. elemen eksternal 
2. elemen internal

Elemen internal berada di dalam organisasi bisnis yang mencakup mulai dari pemilik perusahaan, manajemen sampai karyawan. Sedangkan elemen eksternal adalah lembaga-lembaga yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada organisasi/lembaga bisnis seperti lembaga pemerintah, pemasok, pelanggan dan penyalur.

Fungsi komunikasi dalam manajemen adalah sebagai alat untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan para pelaku bisnis. Fungsi komunikasi ini mengikuti juga fungsi-fungsi manajemen yakni :
1. Perencanaan
2. Pengorganisasian
3. Actuating
4. Pengawasan

Komunikasi dalam bisnis sangat penting untuk mendapatkan informasi dan mempengaruhi.
Kegiatan komunikasi dalam manajemen amat bergantung pada iklim komunikasi di dalam organisasi/lembaga bisnis. Iklim komunikasi ini amat dipengaruhi gaya manajemen. Ada 4 gaya manajemen yakni :
1. Gaya direktif
2. Gaya pelatih
3. Gaya superotif
4. Gaya pendelegasian.

Gaya manajemen mana yang akan kita pakai, sangatlah bergantung pada situasi organisasi/lembaga bisnis kita. Namun kecenderungan dalam manajemen mutakhir, gaya yang dipilih adalah gaya yang mendukung iklim keterbukaan komunikasi. Dalam situasi manajemen ini, para manajer lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendengarkan dibandingkan memberikan perintah. Para pekerja menawarkan gagasannya, membantu menetapkan tujuan dan bekerja sama dalam memecahkan persoalan. Namun banyak kasus dijumpai, gaya manajemen partisipatif seperti itu sukar dijalankan karena keengganan para manajer sndiri untuk mengubah gaya manajemen direktifnya. Para manajer itu bisa menerima gagasan manajemen partisipatif tapi tetap membatasi arus informasi. 

Proses Komunikasi Bisnis 
Menurut Bovee dan Thill (1989), dalam komunikasi bisnis berbagai bentuk komunikasi dilangsungkan. Kedua pakar itu kemudian membuat prosentasi kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam komunikasi bisnis. Hampir separuh (45%) kegiatan komunikasi bisnis adalah mendengarkan/menyimak pesan komunikasi yang disampaikan orang lain. Sebagai imbangannya, 30% kegiatan komunikasi kita adalah berbicara. Sedangkan membaca mencapai 19% dan terkecil adalah menulis 16%. Kegiatan komunikasi bisnis tersebut berlangsung dalam berbagai level kegiatan komunikasi yakni :

1. Komunikasi Massa
Komunikasi massa dalam komunikasi bisnis diperlukan untuk menyampaikan pesan kepada publik dan menerima pesan dari publik. Agar komunikasi bisnis pada level komunikasi massa berjalan dengan efektif perlu mengetahui karakteristik komunikasi massa yaitu :
Sumbernya terlembagakan
Pesannya bersifat publik
Medianya bersifat simultan dan periodik
Khalayaknya heterogen, anonim dan tersebar
Efeknya tidak seketika

2. Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok dalam komunikasi bisnis bentuknya sangat bergantung pada jenis kelompok yang dibentuk. Ada beberapa jenis kelompok seperti :
  • Kelompok kerja
  • Fokus grup
  • Komite
  • Konferensi media
  • Rapat publik
Kegiatan komunikasi bisnis pada level komunikasi kelompok ini amat dipengruhi budaya.

3. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi bisnis juga berlangsung dalam level komunikasi Interpersonal. Komunikasi interpersonal ini merupakan kegiatan memunculkan makna melalui pertukaran pesan. Agar kita memanfaatkan komunikasi interpersonal ini dengan baik, kita harus mengingat 10 prinsip komunikasi di bab sebelumnya. Juga harus mempertimbangkan proses simplifikasi dan abstraksi saat mengubah gagasan menjadi pesan. Dalam menyampaikan pesan tersebut, kita juga harus memperhatikan siapa penerima pesan tadi.