Memahami Konsep Value Added dan Value Based Management
Pada
dasarnya setiap perusahaan bertujuan untuk memaksimalkan kekayaan dari
pemegang sahamnya. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan diperlukan
untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan tersebut. Pengukuran
kinerja keuangan berdasarkan laporan keuangan telah banyak dilakukan,
yaitu dengan menggunakan rasio keuangan diantaranya rasio likuiditas,
leverage, aktivitas maupun rasio profitabilitas. Pengukuran-pengukuran
tersebut memiliki kelebihan pada setiap metodenya namun juga mempunyai
kelemahan. Kelebihan pengukuran tersebut adalah kemudahan dalam
perhitungannya selama data historis tersedia. Sedangkan kelemahannya
adalah metode tersebut tidak dapat mengukur kinerja perusahaan secara
akurat. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan adalah data
akuntansi yang tidak terlepas dari penafsiran/estimasi yang dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai macam distorsi sehingga kinerja
keuangan perusahaan tidak terukur secara tepat dan akurat.
Untuk
mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pengukuran kinerja
keuangan berdasarkan data akuntansi, maka timbullah pemikiran pengukuran
kinerja keuangan berdasarkan nilai (value based). Pengukuran tersebut
dapat dijadikan dasar bagi manajemen perusahaan dalam pengelolaan
modalnya, rencana pembiayaan, wahana komunikasi dengan pemegang saham
serta dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan insentif bagi
karyawan (Amin Widjaya : 2001). Dengan value based sebagai alat pengukur
kinerja perusahaan, manajemen dituntut untuk meningkatkan nilai
perusahaan. Pengukuran value added yang telah banyak dikemukakan dalam
beberapa tulisan maupun penelitian adalah Economic Value Added (EVA).
Paradigma pengukuran value added yang belum begitu banyak dikemukakan
adalah Financial Value Added (FVA). Selain FVA, Net Value Added (NVA)
juga merupakan pengukuran value added yang mengukur nilai tambah untuk
pemegang saham melalui keputusan investasi perusahaan (Patel &
Cherukuri). Kajian ini hanya akan memaparkan pengukuran value added
dengan menggunakan Financial Value Added. Namun sebelumnya akan
diuraikan pengukuran kinerja dengan menggunakan financial ratio dan
pengukuran nilai tambah dengan menggunakan Economic Value Added sebagai
dasar pembanding.
1. Financial Ratio
Metode
yang paling sering digunakan untuk mengukur kinerja keuangan adalah
dengan menggunakan financial ratio, yang dianalisis dari laporan
keuangan perusahaan. Analisis laporan laporan keuangan dapat dilakukan
dengan menghitung berbagai macam rasio. Emery (1997) mengelompokkan
rasio keuangan dalam enam (6) kelompok, yaitu : liquidity ratio, asset
activity ratio, leverage ratio, coverage ratio, profitability ratio dan
market value ratio. Penggunaan financial ratio sangatlah penting,
terutama dalam analisis fundamental. Analisis ini mencakup keadaan
fundamental dari perusahaan yang dianalisis serta industri baik industri
perusahaan yang dianalisis maupun industri lain yang terkait. Financial
ratio membantu perusahaan didalam mengidentifikasi berbagai kekuatan
dan kelemahan perusahaan (Keown, 1996 : 94). Selanjutnya, menurut Keown
terdapat dua cara untuk membandingkan data keuangan perusahaan, yakni :
1) dengan analisis trend yaitu membandingkan financial ratio antar
waktu, dan 2) dengan analisis comparative, yakni membandingkan
financial ratio suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kelebihan
dari penggunaan financial ratio sebagai pengukur kinerja keuangan adalah
karena mudahnya dalam proses perhitungannya, selama data yang
dibutuhkan tersedia dengan lengkap. Namun disisi lain terdapat
kelemahan-kelemahan dari financial ratio tersebut yang akan diuraikan
pada sesi berikut.
2. Kelemahan Financial Ratio
Kelemahan
dari financial ratio adalah karena perhitungannya berdasarkan data
akuntansi. Salah satu kelemahan dari pengukur akuntansi adalah
rasio-rasio tersebut dihasilkan dari nilai buku. Dengan demikian,
nilainya tidak mencerminkan nilai yang ada di pasar. Misalkan : Jika
terdapat dua perusahaan yang identik, baik asset maupun struktur
modalnya, namun berbeda waktu pendiriannya, maka perusahaan yang lebih
dulu berdiri memiliki laba bersih yang lebih besar dibandingkan dengan
perusahaan yang berdiri kemudian. Hal ini tentu saja dapat dipahami,
karena perusahaan yang lebih dahulu berdiri cenderung memiliki nilai
penyusutan lebih yang lebih kecil.
Distorsi
lain dari penggunaan data akuntansi adalah penggunaan metode penyusutan
maupun metode dalam menilai persediaan. Metode penyusutan saldo menurun
akan menghasilkan laba bersih lebih besar pada akhir umur ekonomis
aktiva sedangkan metode garis lurus untuk penyusutan aktiva akan
mengakibatkan biaya penyusutan yang relative stabil sepanjang umur
aktiva tersebut. Dalam kondisi dimana harga barang cenderung naik,
penggunaan LIFO dalam menilai persediaan akan menyebabkan beban pokok
penjualan menjadi rendah sehingga pajak dan laba perusahaan juga akan
terpengaruh, akibat penggunaan metode ini.
Dari
uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa penggunaan metode yang berbeda
baik metode penyusutan maupun metode dalam menilai persediaan antara
satu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya akan menghasilkan
keuntungan yang berbeda pula. Sehingga sulit membandingkan kinerja suatu
perusahaan dengan menggunakan financial ratio manakala perusahaan yang
diperbandingkan menggunakan metode yang berbeda. Akibatnya pengukuran
kinerja dengan rasio-rasio berdasarkan laporan keuangan tidak
menghasilkan nilai pengukuran yang akurat. Accounting profit tidak
mencerminkan dengan baik economic profit dari suatu perusahaan.
3. Economic Value Added
Metode
EVA pertama kali dikembangkan oleh Stewart & Stern seorang analis
keuangan dari perusahaan Stern Stewart & Co pada tahun1993. Di
Indonesia metode tersebut dikenal dengan metode NITAMI (Nilai Tambah
Ekonomi). EVA/NITAMI adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur
laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan
hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya
operasi dan biaya modal. (Amin Widjaja Tunggal : 2001).
EVA
merupakan tujuan korporat untuk meningkatkan nilai atau value added
dari modal yang telah ditanamkan pemegang saham dalam operasi
perusahaan. Oleh karenanya EVA merupakan selisih laba operasi setelah
pajak (Net Operating Profit After Tax atau NOPAT) dengan biaya modal
(Cost of Capital).
4. Manfaat EVA
Terdapat
beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan dalam menggunakan EVA
sebagai alat ukur kinerja dan nilai tambah perusahaan.
Menurut Amin Widjaya (2001) beberapa manfaat EVA dalam mengukur kinerja perusahaan antara lain :
1.
EVA merupakan suatu ukuran kinerja perusahaan yang dapat berdiri
sendiri sendiri tanpa memerlukan ukuran lain baik berupa perbandingan
dengan menggunakan perusahaan sejenis atau menganalisis kecenderungan (
trend ).
2. Hasil perhitungan EVA mendorong pengalokasian dana perusahaan untuk investasi dengan biaya modal yang rendah.
Sedangkan menurut Sidharta Utama ( 1997:10), manfaat EVA adalah :
1.
EVA dapat digunakan sebagai penilaian kinerja keuangan perusahaan
karena penilaian kinerja tersebut difokuskan pada penciptaan nilai
(value creation)
2. EVA akan menyebabkan perusahaan lebih memperhatikan kebijakan struktur modal.
3.
EVA membuat manajemen berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang
saham yaitu memilih investasi yang memaximumkan tingkat pengembalian
dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat
dimaximalkan.
4.
EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kegiatan atau proyek
yang memberikan pengembalian lebih tinggi daripada biaya-biaya modalnya.
Selain
manfaat yang telah dijelaskan diatas, EVA merupakan pengukuran yang
sangat penting karena dapat digunakan sebagai signal terjadinya
Financial Distress pada suatu perusahaan (Salmi & Virtanen, 2001).
Jika suatu perusahaan tidak dapat memperoleh profit di atas required of
return , maka EVA akan menjadi negatif, dan hal ini merupakan warning
akan terjadinya Financial Distress bagi perusahaan tersebut.
5. Pengukuran EVA
Ada
beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur EVA, tergantung
dari struktur modal dari perusahaan (Velez-Pareja : 2000). Apabila
dalam struktur modalnya perusahaan hanya menggunakan Modal Sendiri,
secara matematis EVA dapat ditentukan sebagai berikut :
EVA = NOPAT – (ie x E)
Dimana :
NOPAT= Net Operating Profit After Taxes
ie = opportunity cost of equity
E = Total Equity
Namun,
manakala dalam strukutur perusahaan terdiri dari hutang dan modal
sendiri, secara matematis EVA dapat dirumuskan sebagai berikut :
EVA = NOPAT – (WACC x TA)
Dimana :
NOPAT= Net Operating Profit After Taxes
WACC= Weighted Average Cost of Capital
TA = Total Asset (Total Modal)
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interprestasi hasil sebagai berikut :
Jika EVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan
Jika EVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan
Jika
EVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas karena laba telah digunakan
untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun
pemegang saham.
6. Cost of Capital
Cost
of Capital atau biaya modal mempunyai dua makna, tergantung dari sisi
investor atau perusahaan. Dari sudut pandang investor cost of capital
adalah opportunity cost dari dana yang ditanamkan investor pada suatu
perusahaan. (Keown : 1999). Sedangkan, dari sudut pandang perusahaan,
cost of capital adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
memperoleh sumber dana yang dibutuhkan. Untuk praktisi keuangan, istilah
cost of capital ini digunakan sebagai :
- discount rate untuk membawa cash flow pada masa mendatang suatu project ke nilai sekarang
- tarif minimum yang diinginkan untuk menerima project baru
- biaya modal dalam perhitungan EVA
- benchmark untuk menaksir tariff biaya pada modal yang digunakan
Pada umumnya komponen cost of capital terdiri dari cost of debt dan cost of equity (Lisa Linawati Utomo : 1999)
Cost of Debt
Hutang
dapat diperoleh dari lembaga pembiayaan atau dengan menerbitkan surat
pengakuan hutang (obligasi). Biaya hutang yang berasal dari pinjaman
adalah merupakan bunga yang harus dibayar perusahaan, sedangkan biaya
hutang dengan menerbitkan obligasi adalah required of return yang
diharapkan investor yang digunakan untuk sebagai tingkat diskonto dalam
mencari nilai obligasi. Mengingat biaya hutang (bunga) dibayar sebelum
perusahaan memperhitungkan pajak pnghasilan (tax deductible), maka biaya
riil yang ditanggung perusahaan adalah biaya hutang setelah pajak (cost
of debt after tax).
Biaya hutang = kd
Biaya hutang setelah pajak = kd* = kd (1-t)
Dimana :
kd* : biaya hutang setelah pajak
kd : biaya hutang sebelum pajak
t : tarif pajak
Cost Of Equity
Biaya
modal saham merupakan tingkat hasil pengembalian atas saham biasa yang
diinginkan oleh para investor. Menurut Weston & Copeland ( 1992),
salah satu metode yang dapat digunakan dalam perhitungan biaya modal
laba ditahan yaitu pendekatan capital asset pricing model (CAPM), dimana
biaya modal laba ditahan adalah tingkat pengembalian atas modal sendiri
yang diinginkan oleh investor yang terdiri dari tingkat bunga bebas
resiko dengan premi resiko pasar dikalikan dengan b (resiko saham
perusahaan). Secara matematis dapat ditulis ks dapat dicari dengan rumus
:
ks = Rf + ( Rm – Rf ) b
dimana :
ks : tingkat pengembalian yang diinginkan investor (opportunity of equity)
Rf : tingkat bunga investasi yang diperoleh tanpa resiko (risk free)
Rm : tingkat bunga investasi rata – rata dari pasar
b : ukuran resiko saham perusahaan
Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Dalam
praktek, pembiayaan/pendanaan yang digunakan perusahaan diperoleh dari
berbagai sumber. Dengan demikian biaya riil yang ditanggung oleh
perusahaan merupakan keseluruhan biaya untuk semua sumber pembiayaan
yang digunakan, dimana perhitungannya dapat menggunakan rumus berikut :
WACC = Wd. kd ( 1 – t ) + Ws. ks
Dimana :
WACC : biaya modal rata – rata tertimbang
Wd : proporsi hutang dalam struktur modal
kd : cost of debt
Ws : proporsi saham biasa dalam struktur modal
ks : tingkat pengembalian yang diinginkan investor
7. Keunggulan dan Kelemahan EVA
Salah
satu keunggulan EVA sebagai penilai kinerja perusahaan adalah dapat
digunakan sebagai penciptaan nilai (value creation). Keunggulan EVA yang
lain adalah :
1. EVA memfokuskan penilaian pada nilai tambah dengan memperhitungan beban sebagai konsekuensi investasi.
2.
Konsep EVA adalah alat perusahaan dalam mengukur harapan yang
dilihat dari segi ekonomis dalam pengukurannya yaitu dengan
memperhatikan harapan para penyandang dana secara adil dimana derajat
keadilan dinyatakan dengan ukuran tertimbang dari struktur modal yang
ada dan berpedoman pada nilai pasar dan bukan pada nilai buku.
3.
Perhitungan EVA dapat dipergunakan secara mandiri tanpa memerlukan
data pembanding seperti standar industri atau data perusahaan lain
sebagai konsep penilaian.
4.
Konsep EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus
pada karyawan terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga
dapat dikatakan bahwa EVA menjalankan stakeholders satisfaction
concepts.
5.
Pengaplikasian EVA yang mudah menunjukkan bahwa konsep tersebut
merupakan ukuran praktis, mudah dihitung dan mudah digunakan sehingga
merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam mempercepat pengambilan
keputusan bisnis.
Selain
berbagai keunggulan, konsep EVA juga memiliki kelemahan-kelemahan.
Menurut Teuku Mirza (1997) kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :
1. EVA hanya mengukur hasil akhir (result), konsep ini tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentu.
2.
EVA terlalu bertumpu pada keyakinan bahwa investor sangat
mengandalkan pendekatan fundamental dalam mengkaji dan mengambil
keputusan untuk menjual atau membeli saham tertentu padahal
faktor-faktor lain terkadang justru lebih dominan.
8. FINANCIAL VALUE ADDED
Financial
Economic Value Added atau lebih singkat disebut Financial Value Added
(FVA) merupakan metode baru dalam mengukur kinerja dan nilai tambah
perusahaan. Metode ini mempertimbangkan kontribusi dari fixed assets
dalam menghasilkan keuntungan bersih perusahaan. Secara matematis
pengukuran FVA dinyatakan sebagai berikut :
FVA = NOPAT – (ED – D)
Dimana :
FVA = Financial Value Added
NOPAT = Net Operating Profit After Taxes
ED-D = Equivalent Depreciation – Depreciation
Interpretasi dari hasil pengukuran FVA dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Jika FVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah finansial bagi perusahaan
- Jika FVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah financial bagi perusahaan
- Jika FVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas
Perusahaan
tentunya akan berusaha untuk memiliki nilai tambah financial bagi
perusahaan dimana FVA > 0, hal ini terjadi manakala keuntungan bersih
perusahaan dan penyusutan dapat mengcover equivalent depreciation atau
(NOPAT+D) lebih besar dari ED. Jika ini tercapai maka perusahaan dapat
meningkatkan kekayaan pemegang saham karena NPV akan bernilai positif.
Dengan
menggunakan konsep Break Even Point (BEP), maka berdasarkan pengukuran
FVA di atas, dapat diketahui pada tingkat penjualan berapa unit
perusahaan akan mencapai BEP. Dari interpretasi FVA telah diketahui
bahwa perusahaan menunjukkan posisi impas pada saat FVA = 0. Dengan
demikian break even point dari FVA dapat dihitung sebagai berikut :
Dimana :
Q = unit yang dapat dijual
FC = fixed cost
t = tingkat pajak
m = unit margin
D = depreciation
ED = equivalent depreciation
9. Hubungan FVA dengan Keputusan dalam Manajemen Keuangan
Pengukuran
FVA sangatlah membantu perusahaan dalam kaitannya dengan
keputusan-keputusan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Hubungan
antara pengukuran FVA dengan keputusan dalam manjemen keuangan
Terdapat
tiga (3) keputusan dalam manajemen keuangan yang akan menjadi value
drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Ketiga keputusan
tersebut adalah :
- Operating Decision adalah suatu keputusan yang harus diambil perusahaan dalam menghasilkan volume penjualan dan mengelola biaya-biaya yang timbul baik variable cost maupun fixed cost sedemikian rupa sehingga menghasilkan operating profit margin bagi perusahaan. Pertumbuhan volume penjualan (sales growth) merupakan indikator dari pertumbuhan perusahaan yang ini merupakan value drivers bagi terciptanya Financial Value Added. Dengan sales growth yang tinggi dan income tax rate tertentu akan meningkatkan operating profit margin yang pada akhirnya financial value added diharapkan juga akan meningkat.
- Financing Decision, adalah suatu keputusan pembiayaan perusahaan dimana perusahaan harus menentukan sumber dana yang paling efisien, yang direfleksikan oleh cost of capital (k) yang dibayarkan selama periode n. Cost of capital ini kemudian menjadi factor pembagi terhadap nilai income yang diterima (δn,k). Dalam konteks value driver, semakin rendah cost of capital yang ditanggung oleh perusahaan maka semakin besar nilai per 1 sen uang yang diterima oleh perusahaan. Konsekuensinya, pada formula measure, semakin kecil cost of capital, semakin besar δn,k, sehingga semakin besar nilai FVA.
- Investment Decision, adalah keputusan manajemen terhadap pilihan-pilihan investasi yang secara normatif harus mampu memaksimalkan nilai perusahaan. Proses pemilihan alternatif investasi harus mempertimbangkan sumber-sumber pendanaan yang terlibat, karena akan mempengaruhi struktur modal perusahaan. Hal ini secara intuitif juga mempengaruhi komposisi working capital dan fixed capital yang merupakan komponen pengubah nilai dalam konteks pengukuran FVA di atas. Manajemen harus bisa mengoptimalkan pengelolaan working capital dan fixed capital-nya agar tidak tercipta idle capital atau kapital yang kurang efektif dalam proses peningkatan nilai perusahaan. Otomatis, jumlah working capital dan fixed capital yang besar akan menciptakan tanggungan cost of capital yang lebih besar bagi perusahaan. Ini juga akan menurunkan nilai FVA, karena TR menjadi besar.
10. Keunggulan Konsep Financial Value Added
Berikut adalah kelebihan FVA dibanding EVA;
1.
Jika ditilik ulang konsep NOPATD, FVA melalui definisi Equivalent
Depreciation mengintegrasikan seluruh kontribusi aset bagi kinerja
perusahaan, demikian juga opportunity cost dari pembiayaan perusahaan.
Kontribusi ini konstan sepanjang umur proyek investasi.
2.
FVA secara jelas mengakomodasi kontribusi konsep value growth
duration (durasi proses penciptaan nilai) sebagai unsur penambah nilai.
Unsur ini merupakan hasil pengurangan nilai Equivalent Depreciation
akibat bertambah panjangnya umur aset dimana aset bisa terus
berkontribusi bagi kinerja perusahaan. Dalam konsep EVA, proses ini
tidak secara jelas dijabarkan.
3.
FVA mengedepankan konsep Equivalent Depreciation dan Accumulated
Equivalent tampaknya lebih akurat menggambarkan financing costs. Lebih
lanjut, FVA mampu mengharmonisasikan hasilnya dengan konsep NPV tahun
per tahun, dimana NPV setidaknya saat ini dianggap sukses mengukur
proses penciptaan nilai.
4.
Dengan berbasis pada definisi EVA yang sudah dikenal luas, FVA
memberi solusi terhadap mekanisme kontrol dalam periode tahunan, yang
selama ini merupakan kendala bagi konsep NPV. EVA dan FVA sama-sama
mampu menyelaraskan output-nya dengan hasil NPV, dalam bentuk periode
yang terdiskonto, namun FVA memberi output yang lebih maju dengan
berhasil melakukan harmonisasi hasil dengan NPV dalam ukuran tahunan.
Oleh karena itu, FVA menjadi lebih bermanfaat sebagai alat kontrol.
11. Kelemahan Financial Value Added
Dibanding
EVA, FVA kurang praktis dalam mengantisipasi fenomena bila perusahaan
(proyek) menjalankan investasi baru di tengah-tengah masa investasi yang
diperhitungkan. EVA akan merefleksikan situasi ini melalui peningkatan
aset dan sumber daya yang terlibat dalam perusahaan (proyek). Fenomena
ini tidak bisa diakomodasi dalam penentuan titik impas pada konsep NPV
dan FVA.
Gan mau nanya, ini dapet artikel sumbernya dari mana?, Apa ada bukunya?. Mksh
BalasHapus