Relevansi Sosiologi Agama Dalam Kemasyarakatan
A. Pengertian Sosiologi Agama
Tindakan sosial sudah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini, kemudian mereka membentuk koloni-koloni atau kelompok-kelompok yang sesuai dengan mereka baik dari segi ide maupun agama. Namun untuk lebih jelasnya penulis definisikan terlebih dahulu arti Sosiologi Agama. Pertama, sebagai landasan kerja, penulis pakai definisi Dr. H. Goddijn/Dr. W. Goddijn yang berbunyi sebagai berikut: Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.1
Kedua, Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu tersendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
Segi-segi penting yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain: (1) Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum. (2) bahwa Sosiologi Agama adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi Umum adalah benar-benar suatu ilmu. (3) Tugasnya, mencari keterangan ilmiah.
Sedangkan menurut kamus Sosiologi adalah Sociology of Religion atau Sosiologi Agama adalah Sosiologi yang melibatkan analisa yang sistematik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan metode Sosiologi.2
Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial dan bagaimana orang bertindak di dalamnya. Ilmu ini berkembang seiring dengan berlangsungnya evolusi sosial, politik dan budaya. Melalui obyeknya pula (di atas segala ilmu lainnya) menjadi cermin zamannya: ia mereflesikan nilai-nilai, kekhawatiran, hubungan-hubungan sosial, permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi pada masanya.3 Sisi pertama perubahan ini menyangkut sifat dasar masyarakat itu sendiri.
Sosiologi juga bertujuan mendeskripsikan masyarakat dan fungsinya sekonsisten mungkin. Para sosiolog pertama berusaha memberi ciri terhadap kedua hal yang silih berganti berlangsung di depan mata mereka.4 Yaitu antara komunitas masyarakat dan masyarakat itu sendiri.
Menurut pandangan sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama itu disebut Sosiologi Agama. Sosiologi Agama adalah suatu cabang ilmu yang otonom, muncul sekitar akhir abad ke 19. Pada prinsipnya ilmu ini sama dengan Sosiologi Umum, yang membedakannya adalah obyek materinya.
Sosiologi Umum membicarakan semua fenomena yang ada pada masyarakat umum, sedangkan Sosiologi Agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial, yaitu agama dalam perwujudan sosial. Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia, Hendropuspito, menyatakan : “Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.”5 Untuk memudahkan lebih baiknya kita tampilkan definisi Sosiologi Umum yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seumum-umumnya.
Pengertian di atas mau menjelaskan: apa itu Sosiologi; apa fungsinya; bagaimana cara bekerjanya. Kalau Sosiologi Umum bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang (berdaya laku) seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya; maka Sosiologi Agama bertugas mencapai keteranganketerangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya.6
Jadi, hanya sosiologilah yang mampu mempelajari masyarakat secara umum, baik masyarakat agama ataupun masyarakat dalam arti yang seluasluasnya. Selain ilmu sosiologi ilmu antropologi juga mempelajari masyarakat, tapi lebih cendrung kepada kebudayaannya dan biasanya ilmu antropologi lebih mempelajari masyarakat yang masih primitif, sedangkan ilmu sosiologi mempelajari masyarakat yang sudah maju atau masyarakat modern. Pada awalnya, pengertian sosiologi hanyalah ilmu yang mengkaji masyarakat. Pembelaan dan pengaruh Durkheimlah yang menyebabkan Sosiologi mendapat tempat dalam kehidupan modern, mulai dari masalah pemerintah, ekonomi, pendidikan ataupun forum-forum diskusi umum yang lain, mulai dari kampus sampai acara talk show di televisi.7 Menurutnya, hanya sosiologilah yang akan bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang bergerak di atas kaki mereka sendiri.
Durkheim meyakini bahwa moralitas yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama. Moralitas dan agama bahkan juga tidak bisa dipisahkan dari kerangka sosial. Kita tidak bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks sosial, sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas pun akan berubah.8
Fokus Sosiologi Agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan agama dalam menjembatani ketegangan itu dan dalam menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik dari suku lain, orang-orang yang menyimpang atau pemberontak dari dalam suku itu sendiri, maupun dari bencana alam. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka dalam kosmos, sejarah dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu. Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang terbangun dalam suku. Oleh karena itu, agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat ke dalam suatu proyek sosial bersama, sekumpulan nilai dan tujuan bersama.9
Tempat Sosiologi Agama sudah diterangkan dalam definisi Sosiologi Agama sendiri. Ia merupakan cabang Sosiologi Umum. Maka Sosiologi Agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sakral; bukan ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang positif dan empiris; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu sosial entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.10 Jadi, dapat dikatakan bahwa Sosiologi Agama sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari segala bentuk masyarakat agama khususnya masyarakat modern.
Obyek Kajian Sosiologi Agama
Menurut Emile Durkheim untuk memahami masyarakat, tidak cukup hanya dengan mempelajari cara-cara penyebaran norma-normanya tetapi harus mempelajari sumber-sumber norma yang membentuk kekhasan setiap masyarakat. Dengan demikian kita tidak boleh memandang dari sisi sentimen individual tetapi dari sisi yang menyebabkan mereka seperti itu.11
Maksudnya adalah institusi-institusi yang sebenarnya bisa diamati secara obyektif. Institusi tersebut bisa hidup karena adanya individu-individu tersebut. Namun, satu hal yang esensial adalah bahwa representasi itu bersifat kolektif atau berkelompok.
Secara umum obyek studi Sosiologi Agama dibagi menjadi dua yaitu sasaran langsung (obyek material) dan sudut pendekatan (obyek formal).
a. Sasaran Langsung (Obyek Material)
Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung. Seperti masyarakat nonagama umumnya demikian pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti misalnya kelompok-kelompok keagamaan, institusiinstitusi religius yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.
Masyarakat agama yang demikian itu akan disoroti secara berturut-turut struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat luas umumnya dan atas stratifikasi sosial khususnya, teristimewa mengingat adanya kesadaran dan kohesi kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri. Sudah tentu tidak akan dilupakan untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan oleh agama baik yang positif maupun yang negatif, seperti kerukunan antar golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Demikian juga fenomena jenuhnya organisasi lembaga-lembaga keagamaan yang tidak selalu membawa berhat, bahkan sering menghambat laju modernisasi para penganutnya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama. Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran (dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ini sudah mengejawantah dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Demi jelasnya Sosiologi Agama tidak membuat evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluk-pemeluknya sebagai berasal dari “dunia luar”, dunia sakral yang jauh berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan oleh karenanya juga tidak dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi penilaian atas nilai-nilai adikodrati (supra empiris) adalah tugas khusus dari teologi dogmatik dan teologi moral dan bukan kompetensi Sosiologi Agama. Ilmu yang terakhir ini hanya mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris kebenaran-kebenaran “supra empiris”, yaitu yang disebut istilah masyarakat agama dan itulah sasaran langsung dari Sosiologi Agama. Masyarakat agama ialah suatu persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.12
b. Sudut Pendekatan (Obyek Formal)
Kalau ilmu Ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat agama dari kaca mata “supra empiris” (baca menurut kehendak Tuhan) maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia.
Lebih kongkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbetuknya partai-partai politik dan golongan nonpolitik; memainkan peranan dalam munculnya strata (lapisan) sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme, bentrokan dan lain sebagainya. Jadi hal-hal yang disebut dalam contoh di atas yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama menyorotinya dari sudut sosiologis. Sosiologi Agama melalui pengamatan dan penelitian mau mencari keterangan-keterangan ilmiah untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan khususnya masyarakat luas umumnya.13
Wilayah obyek kajian Sosiologi Agama adalah atau lingkup wawasan agama yang bisa diteliti dengan metode ilmiah. (scientific method) yang meliputi berbagai persoalan dan berbagai segi dalam kehidupan umat beragama. Ada beberapa aspek keberagamaan yang menjadi rentang wilayah kajian Sosiologi Agama diantaranya :
1. Perwujudan Agama di Kepulauan Indonesia
Agama yang ada di masyarakat Indonesia sangat banyak, tidak hanya meliputi agama-agama yang diakui secara formal saja, tetapi juga bentuk agama yang secara antropologis dapat dikategorikan sebagai agama. Agama formal adalah agama yang diakui secara hukum di Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Agama antropologis adalah semua fenomena kepercayaan yang ada pada masyarakat yang memenuhi kriteria atau ciri sebuah agama menurut ilmu antropologi. 14
2. Penelitian Mengenai Berbagai Kepercayaan
Penelitian mengenai berbagai kepercayaan yang ada di Indonesia menajamkan sasaran perhatian pada apa yang sesungguhnya menjadi kepercayaan dari individu-individu berbagai golongan dalam masyarakat.
Sebab, sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia sangat banyak ragamnya. Hampir di setiap daerah dan komunitas terdapat berbagai kepercayaan dan obyek keramat yang dipercayai dan diagungkan yang kadang-kadang berbeda dengan keyakinan yang berasal agama resmi mereka.
Penelitian tentang berbagai kepercayaan ini terutama ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai kepercayaan yang berhubungan dengan hal-hal berikut :
- Berbagai kekuatan gaib yang dipercaya oleh kebanyakan masyarakat. alam konsepsi Emile Durkheim kekuatan gaib ini disebut dengan obyek-obyek keramat yang setiap tempat mempunyai ciri khas masingmasing. Kepercayaan kepada berbagai kekuatan gaib itu meliputi kepercayaan kepada tuhan-tuhan, dewa-dewa, peri, mambang dan beberapa mahluk halus lainnya. Kekuatan-kekuatan gaib tersebut dipercaya bisa memberikan pertolongan kepada manusia, yaitu dalam keadaan kritis yang berada di luar batas wilayah kemampuan manusia.
- Alam semesta. Menurut berbagai kepercayaan yang tumbuh di masyarakat, alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan. Mitologi tentang penciptaan alam semesta memiliki berbagai variasi cerita yang satu sama lainnya sangat berbeda bergantung pada latar belakang tipe kepercayaannya.15
- Hakikat dan peranan manusia di alam semesta ini. Hubungan manusia dengan Tuhan atau kekuatan gaib melahirkan berbagai peranan manusia di alam semesta ini. Menurut konsepsi agama-agama besar, manusia adalah mahluk yang paling mulia dan paling dekat kedudukannya dengan Tuhan. Manusia bertugas mewakili Tuhan di muka bumi ini untuk mengatur dan memimpin mahluk-mahluk lainnya. Dalam agama Islam umpamanya, manusia mempunyai peranan ganda; di satu pihak sebagai hamba yang selalu harus mengabdi kepada Tuhan dan di lain pihak mempunyai kedudukan sebagai khalifah di muka bumi ini, sebagai wakil Tuhan dalam memakmurkan dan mengelola bumi ini.
Dalam konsep beberapa agama lain, martabat manusia didudukkan secara berlapis dan perannya di muka bumi dipandang berbeda. Menarik untuk dikaji berbagai konsepsi agama tersebut sehingga menjadi sebuah kajian unik bagi Sosiologi Agama. Dalam agama-agama dibicarakan juga tentang hubungan manusia dengan manusia. Banyak aturan dalam agama-agama itu mengenai hubungan manusia dengan manusia. Suatu agama memandang manusia itu sama dihadapan Tuhannya, tetapi agama lainnya memandang hubungan manusia dengan manusia lainnya berdasarkan kasta dan status kelahirannya yang merupakan hukum Tuhan yang tidak berubah.16
3. Penelitian Mengenai Pranata Keagamaan
Pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam dataran yang lebih kongkrit, pranata diuraikan dalam berbagai lembaga sosial; yang lebih kongkrit lagi dalam bentuk organisasi sosial yang memenuhi segala kebutuhan manusia.
Setiap hari manusia sering berinteraksi dengan sesamanya dalam rangka hidup bermasyarakat. Hubungan antara individu itu adakalanya berpedoman pada pola-pola yang tidak resmi. Sistem wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu melakukan interaksi dengan pola-pola resmi, dalam bahasa ilmu sosial disebut pranata (institution).
Pranata sosial yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari suatu masyarakat meliputi segala pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat tersebut dalam mengabdi kepada Tuhan mereka.17 Seperti ibadah, pendidikan agama dan dakwah, hukum dan pengadilan agama, partai politik yang berdasarkan agama, keluarga, dan masih banyak lagi yang lainnya.
4. Penelitian Mengenai Organisasi-Organisasi yang Berhubungan dengan Suatu Agama
Organisasi-organisasi yang berhubungan dengan suatu agama dibuat dalam bentuk lembaga formal yang berhubungan dengan pemerintahan dan non pemerintahan seperti :
- Departemen Agama Republik Indonesia dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
- Majelis Ulama Indonesia pusat sampai daerah.
- Persatuan Gereja Indonesia.
- Wali Gereja Indonesia.
- Organisasi-organisasi pendidikan keagamaan.
- Organisasi-organisasi keagamaan.
- Organisasi politik yang didasarkan pada suatu agama.
- Organisasi-organisasi sosial keagamaan.
5. Penelitian Mengenai Berbagai Peranan dalam Keagamaan
- Ulama atau pendeta, sebagai pemimpin agama, tentu mempunyai kharisma dan kewibawaan yang tercermin dari adanya ketaatan umat dalam melaksanakan perintah agama.
- Peranan pengajar agama dan ahli dakwah. Pengajar agama adalah orang yang mempunyai kekhususan dalam bidang pengalaman keagamaan. Mereka mempunyai status tertentu di masyarakat; latar belakang pendidikan pengajar agama akan berpengaruh terhadap keberhasilan kerjanya.
- Pejabat-pejabat dalam bidang agama. Maksudnya adalah aparatur pemerintah yang mengurus agama mulai dari Menteri Agama, Direktur Jendral, petugas KUA sampai petugas pekuburan atau penguburan.
- Pengarang-pengarang tulisan keagamaan. Misalnya pengarang tafsir kitab suci Al-Qur'an, tafsir Bibel, pengarang ilmu kalam, pengarang buku fiqih, pengarang cerita keagamaan, penulis sejarah agama (Islam, Kristen, Budha dan lain-lain) dan penulis syair-syair serta kesusastraan keagamaan.
- Pendeta-pendeta asing. Di kalangan agama Kristen baik Katolik maupun Protestan terdapat banyak pendeta dan pastur dari bangsa asing, terutama dari Eropa dan Amerika. Para pendeta itu kadang kala menjadi pimpinan dalam Keuskupan dan wilayah Gerejani.
- Abangan dan santri. Ketegori kesalahan yang biasa diberikan kepada penganut agama Islam di Pulau Jawa. Abangan diidentifikasi sebagai pemeluk Islam “pengakuan” saja, artinya mereka sangat sedikit mengetahui tentang ajaran Islam dan sedikit ajarannya. Sedangkan santri diidentifikasi sebagai pemeluk Islam yang sangat “banyak” pengetahuannya tentang Islam dan taat melaksanakannya.
- Awam dan terpelajar. Perbedaan pengetahuan tentang ajaran agama melahirkan dikotomi kategori awam dan terpelajar. kehidupan eragama di antara keduanya sangat mencolok perbedaannya.
Kalangan awam biasanya lebih tekstual, lebih menitikberatkan pada pengalaman. Berbeda dengan kalangan terpelajar; mereka lebih membicarakan interpretasi ajaran sehingga lebih cenderung berdiskusi dari pada melaksanakannya (lebih cendrung rasional).
6. Penelitian Mengenai Agama dan Pelapisan Sosial
Pelapisan sosial adalah kata lain dari stratifikasi sosial. Ia merupakan keadaan dalam struktur suatu masyarakat yang menggambarkan keadaan sosial suatu masyarakat. Pelapisan sosial bisa didasarkan pada keadaan ekonomi, tingkat kesempatan dalam menempuh pendidikan formal, keterlibatan dalam kegiatan politik atau berbagai tingkatan kedalaman pengetahuan agama.18
Pelapisan sosial berdasarkan keadaan ekonomi, bisa melahirkan pelapisan sosial: lapisan orang kaya, lapisan orang menengah dan lapisan orang miskin. Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan akan melahirkan kategori masyarakat yang terdiri dari kaum terpelajar dan tidak terpelajar.
Menurut hasil penelitian C. Geertz, terdapat perbedaan penghayatan dan pengalaman agama antara orang abangan dan priyayi, antara kalangan santri dan kalangan abangan dan antara kalangan santri maupun kalangan priyayi. Perbedaan itu lebih banyak dipengaruhi oleh status sosial dan tingkat kehidupan masing-masing lapisan sosial tersebut.
7. Penelitian Mengenai Agama dan Masyarakat Daerah
Adapun yang dimaksud masyarakat daerah (dalam bahasa Inggris disebut community) adalah masyarakat yang mendiami daerah tertentu, berinteraksi memakai pola dari sistem budaya yang sama dan diikat oleh adat istiadat yang disepakati bersama. Masyarakat daerah biasanya bersifat omogen; artinya tidak terlalu banyak variasi dalam bidang-bidang
kehidupannya.19
8. Penelitian Mengenai Agama dan Golongan Sosial
Setiap golongan sosial mempunyai kebiasaan-kebiasaan sosial yang disebut budaya kelompok (custom). Budaya kelompok memberikan ciri tertentu pada kelompok tertentu sehingga membedakannya dari kelompok sosial yang lain. Ciri sosial itu juga berlaku pada setiap aspek kehidupan anggota kelompok, termasuk aspek keberagamaannya.20
9. Penelitian Mengenai Gerakan Keagamaan
Gerakan yang dimotori oleh sentimen keagamaan telah sering terjadi. Gerakan itu berupa perlawanan terhadap kesewenangan penguasa atau perlawanan terhadap tuan tanah atau berupa protes terhadap ketidakpuasan sosial, bahkan ketidakpuasan terhadap ajaran agama yang terlalu mendominasi kehidupan manusia. Sebagai suatu kerangka acuan untuk bertindak, agama memiliki kekuatan yang luar biasa ketika sudah menjadi faktor pemicu gerakan sosial. Agama bisa dijadikan faktor pencetus sentimen dari sebuah gerakan sosial, bisa dijadikan alat pengumpul masa, bisa dijadikan ideologi dalam suatu pemberontakan.21
10. Penelitian Mengenai Perasaan dan Pengalaman Keagamaan (Religious Emotion and Religious Experience)
Pengalaman keagamaan bersifat pribadi (individual experience) dan unik. Artinya, pengalaman keagamaan yang dialami oleh seorang penganut suatu agama berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami oleh seorang penganut agama lainnya. Oleh karena itu, setiap orang beragama yang selalu melaksanakan ajaran agamanya, baik dalam bentuk ritual atau pelayanan, akan memperoleh pengalaman keagamaan yang bentuk dan derajatnya sangat individual. Antara pengalaman keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan orang lain akan berbeda.
Perasaan religius adalah suatu set keadaan batin manusia beragama sebagai konsekwensi dari keberagamaannya itu. Menurut Emile Durkheim, perasaan religius tersebut merupakan inti keberagamaan yang muncul dari emosi dari keagamaan. Dalam istilah Islam, itu disebut ihsan, yang berarti merasakan kehadiran Tuhan di hati manusia. Pengalaman dan perasaan religius seseorang akan muncul ketika ia berdoa atau melaksanakan ibadat di tempat tertentu. Akibat-akibat spiritual yang ditimbulkan oleh praktek ibadah yang dilakukan oleh penganut agama akan melahirkan berbagai pengalaman keagamaan yang sangat menarik; misalnya, berbagai pengalaman penganut Islam ketika menunaikan ibadah haji di tanah suci, pengalaman seorang muslim ketika sembahyang tahajjud pada dini hari, ketika ia memanjatkan doa kepada Allah SWT secara khusuk pada saat mendapatkan kesulitan dan pengalaman dari proses perubahan spiritual seorang pemeluk agama setelah melakukan berbagai tindakan keagamaan tertentu.22
11. Penelitian Mengenai Agama sebagai Motivasi untuk Bertindak
Yang dimaksud tindakan sosial adalah segala kegiatan individu, di suatu masyarakat, yang disengaja dan berpola, yang kemampuan melakukannya dari hasil belajar dan tindakannya mengandung implikasi budaya para anggota masyarakat yang lainnya. Sebagaimana diketahui, agama merupakan sumber nilai dari sistem budaya anggota masyarakat tertentu yang dapat dijadikan pedoman terpola bagi anggota masyarakat untuk melakukan segala tindakan yang terkontrol.23
12. Penelitian Mengenai Peranan Agama dalam Perubahan Sosial
Pembangunan masyarakat, sebagai sebuah perubahan sosial yang direncanakan, banyak yang melibatkan unsur-unsur sosial, termasuk para pemeluk agama, baik secara subyek maupun obyek. Keterlibatan para pemeluk agama tersebut bisa dalam proses perencanaan, pelaksanaan ataupun pemanfaatan hasil-hasil pembangunan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun oleh kalangan masyarakat. Masyarakat agama mempertanyakan nilai keabsahan sebagai perubahan yang menimpa mereka kepada para pemimpin agamanya. Terutama bagi masyarakat pedesaan, agama masih dijadikan referensi utama bagi tindakan-tindakan mereka; boleh atau tidaknya partisipasi dalam perubahan sosial bergantung pada ajaran agama yang mereka yakini itu.24
13. Penelitian Mengenai Agama sebagai Faktor Integrasi Masyarakat
Agama yang dipeluk oleh anggota masyarakat tertentu bisa membangkitkan solidaritas dan kohesifitas sosial yang kuat. Agama bisa menjadi semen perekat persatuan dan kesatuan suatu bangsa, suatu masyarakat desa atau komunitas tertentu. Solidaritas sesama penganut agama tertentu, walaupun berbeda daerah dan budaya, bisa menandingi bahkan melebihi solidaritas-solidaritas sosial lain yang dibangun oleh suatu persamaan keadaan diantara mereka, seperti persamaan sewarga negaraan, persamaan dalam budaya, persamaan dalam hobi dan persamaan dalam kesenangan.25
14. Penelitian Mengenai Masalah Hubungan Antarpemeluk Agama atau Antar kelompok Keagamaan
Hubungan antarkelompok-kelompok keagamaan dan antarberbagai pemeluk agama yang berbeda, menarik untuk diteliti. Agama merupakan keyakinan yang subyektif, yang melahirkan suatu perasaan etnosentrisme (suatu perasaan bahwa agama yang diyakinilah yang paling benar) sehingga melahirkan sikap-sikap subyektif pada pemeluk agama lain.
Mungkin muncul sikap bersahabat dengan agama tertentu yang dipandang mempunyai persamaan dan mungkin memunculkan sikap antipati dan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain yang dipandang banyak perbedaan dan merugikan keberadaan agama tersebut.
Kedua sikap di atas melahirkan hubungan antara dua kelompok agama di suatu masyarakat dalam dua kemungkinan: harmonis atau konflik. Dalam hal-hal tertentu terjadi konflik antarmereka dan dalam hal-hal lain mereka bisa berhubungan secara harmonis.26
Menurut Emile Durkheim kehidupan sosial telah membentuk corakcorak paling mendasar dalam kebudayaan manusia, namun sayangnya, yang menjadi perhatian utama para pemikir sebelumnya bukanlah kenyataan tersebut. Seperti kontrak sosial (social contract), yang menyatakan bahwa masyarakat tercipta pertama kali dari dua individu yang sepakat untuk bekerja sama. Menurutnya, tapi dalam sejarah manusia yang riil hal yang sama tidak bisa ditemukan. Bahkan dalam masyarakat prasejarah sekalipun, seorang yang dilahirkan ke dunia langsung mendapati kelompok-kelompok (keluarga, klan, suku dan bangsa) dan tumbuh di dalam konteks kelompok tersebut. Bahasa, kebiasaan, kepercayaan dan respons emosional mereka (bahkan yang sifatnya pribadi sekalipun) selalu muncul dari kerangka pandangan sosial yang telah membantu mereka berkembang semenjak lahir ke dunia ini.27
Peranan Sosiologi Agama dalam Masyarakat
Sosiologi Agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosioreligius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial non keagamaan. Dalam bidang teoritis di mana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka Sosiologi Agama dapat memberikan sumbangannya. Terutama Sosiologi Agama Kristen, dapat memberikan sumbangan yang berharga khususnya kepada teologi tentang Gereja (ekklesiologi), kepada misiologi dan tidak kurang kepada teologi pastoralpun pula kepada teologi pembebasan dan teologi pembangunan.28
Kedudukan Sosiologi Agama sangat dekat dengan Sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendak mengungkapkan pola-pola sosial dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat. Di dalamnya ditunjukkan kekuatan-kekuatan (sosial) yang mendorong berdirinya, unsur-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidupnya, dibandingkan dengan tuntutan-tuntutan modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilahkan instansi yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan yang sesuai atau tidak mengadakannya.29
Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan secepatnya tempat dan fungsinya dalam keseluruhan sistem sosial. Namun Sosiologi Agama tidak mau mengutik hakekat dari apa “yang di luar” itu, tetapi hanya melihat pengaruhnya yang nyata, dalam arti sejauh hakekat itu telah mengambil bentuk yang kongkrit sebagai salah satu lembaga sosial.30
Sosiologi Agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri dan berbagai hubungan antaragama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama, seperti magic, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Para sosiolog agama akan berusaha menetralkan emosi mereka ketika mengkaji agama yang berbeda dengan agama mereka sendiri. Walaupun, mungkin hal itu tidak bisa lepas sama sekali, namun objektivitas penelitian terhadap agama sangat diharapkan dalam kajian Sosiologi Agama.31
Sosiologi Agama tidak melulu membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu, tetapi semua agama dan di semua daerah di dunia tanpa memihak dan memilih-milih. Pengkajiannya bukan diarahkan kepada bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama secara kolektif terutama dipusatkan pada fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat. Perhatiannya juga ditunjukkan pada agama sebagai salah satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang.32
Jadi pelembagaan berlangsung pada tiga tingkat yang saling mempengaruhi; yaitu antara ibadah, doktrin dan organisasi. Ini sebenarnya beranjak dari kebutuhan akan stabilitas dan kesinambungan maupun kebutuhan melestarikan sisi keamanan. Kharisma yang ada diubah bentuknya ke dalam kharisma instansi dan spontanitas relatif yang ada pada periode yang lebih awal digantikan dengan bentuk-bentuk yang terlembaga pada tiga tingkat. Proses selanjutnya sering bergalau pada konflik yang tajam, keras dan berlangsung sepanjang abad. Proses mana ditampilkan oleh kebutuhan menjawab permasalahan yang timbul dari implikasi doktrin itu sendiri, kebutuhan untuk menafsirkan kembali untuk menafsirkan ajaran-ajaran tradisional agar isinya tetap relevan dengan situasi baru dan kebutuhan untuk menghadapi pengaruh eksentrik.33
Apa yang kita namakan “pelembagaan” yang kemudian melahirkan “rutinisasi kharisma” adalah suatu proses fundamental yang mendahului berdirinya organisasi keagamaan. Hal yang sama fundamental dan universalnya ialah protes. Pada umumnya, semua perkembangan, semua penyesuaian dengan masyarakat, semua inovasi, membangkitkan protes unsur-unsur kelompok agama yang tidak mampu menerima perubahan.34
Dari segi pelembagaan organisasi keagamaan secara khusus, kita menjajaki kasus agama Kristen hanya karena dalam proses ini ia menawarkan contoh yang terbaik. Gerakan keagamaan lain dengan isi pengalaman keagamaan yang berbeda dan yang berada dalam kondisi sosial budaya yang berbeda pula tentu saja akan mengikuti jalur rutinisasi yang berbeda. Tetapi masalah invarian tertentu yang diilutrasikan oleh kasus Kristen ini tersurat di dalam proses itu sendiri. Penetapan stabilitas, usaha mencapai kesinambungan, evolusi dan formalisasi praktek serta ritus, penyesuaian dengan masyarakat serta ide-ide dan nilai-nilai masyarakat itu, deferensiasi kedalaman dari berbagai kelompok keagamaan, protes yang sering kali melahirkan konflik dan perpecahan, semua hal itu merupakan masalah yang umum dijumpai dalam Sejarah organisasi keagamaan yang khusus yang manapun juga.
Pelembagaan pada tiga tingkat ini, tingkat pemujaan atau ibadat, intelektual, organisasional, juga merupakan masalah umum dan perkembangan pada tiga tingkat ini biasanya berlangsung dalam saling hubungan yang intim. Dalam kasus Kristen kita melihat arti pemujaan, penting dan strategis, yang berlanjut terus dan menampilkan kembali pengalaman keagamaan yang asli di dalam transformasi simbolis. Dalam hubungan dan sikap-sikap pemujaan implisit terdapat benih-benih doktrin dan organisasi.
Biasanya pemujaan itu penting bagi gerakan pengembangan seperti halnya yang sering terjadi dalam Kristen Purba. Perkecualian tampil bila suatu gerakan keagamaan itu nampak sebagai suatu proses terhadap perkembangan dan praktek pemujaan. Tetapi sikap-sikap ini memang bisa benar-benar dipahami hanya dalam hubungannya dengan protes terhadap kondisi yang pertama dari pemujaan itu sendiri. Karena itu dalam perkembangan gerakan keagamaan pemujaan itu juga merupakan unsur yang umum.35
Sosiologi dan agama berinteraksi hanya dalam tingkat aktualisasi nilainilai transenden ke dalam nilai-nilai imanen, sehingga apa yang kemudian mengemuka sebagai tradisi suatu agama merupakan prototife agama yang telah memasyarakat atau bersosiologis.36 Namun yang pasti, titik temu yang sangat patut ditegaskan ialah bahwa manusia akan selalu melakukan pembedaan naturalistik, (dalam era modern) untuk membangun komunikasi dengan Tuhan dalam kaitannya dengan keberadaannya sebagai manusia yang zoon polition, homo religious, homo social.
Pendekatan dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktek-praktek keagamaan. Dialektika keberagamaan dan kesosialan meniscayakan lahirnya “wajah agama” yang memiliki dua arah orientasi, yakni Tuhan dan manusia jamak. Dalam tataran inilah, disiplin Sosiologi agama dengan demikian merupakan diskursus yang dapat menampilkan ilustrasi-ilustrasi besar kelahiran agama, mulai dari yang primitif sampai modern, yang bercorak supernatural sampai suprarasional, sentralistik sampai individualistik, normatif sampai dialektis dan seterusnya.
SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
- 1 D. Hendro Puspito, O. C. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, dan B. P. K. Gunung Mulia, Jakarta, 1983, Cetakan I, halaman 7
- 2 Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, halaman 397
- 3 Anthony Giddens dkk., Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, Cetakan I, halaman XII
- 4 Ibid,. halaman XVI
- 5 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, halaman 46
- 6 Hendropuspito, Op. Cit., halaman 8
- 7 Daniel L. Pals, Dekonstriksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Terj. Inyiak Ridwan Muzir, M. Syukri, IRCiSoD, Yogyakarta, 2001, halaman 130-131
- 8 Ibid., halaman 138
- 9 Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Pen. LkiS, Yogyakarta, 1999, halaman 271
- 10 Hendropuspito, Op. Cit., halaman 10
- 11 Anthony Giddens dkk., Op. Cit., halaman 45-46
- 12 Ibid., halaman 8-9
- 13 Ibid., halaman 9-10
- 14 Dadang Kahmad, Op. Cit., halaman 93-94
- 15 Ibid., halaman 96-97
- 16 Ibid., halaman 98
- 17 Ibid., halaman 98-99
- 18 Ibid., halaman 105
- 19 Ibid., halaman 106
- 20 Ibid., halaman 106
- 21 Ibid., halaman 107
- 22 Ibid., halaman 108
- 23 Ibid., halaman 108
- 24 Ibid., halaman 109
- 25 Ibid., halaman 110
- 26 Ibid., halaman 111-112
- 27 Daniel L. Pals, Op. Cit., halaman 136-137
- 28 Ibid., halaman 11
- 29 Ibid., halaman 24
- 30 Ibid., halaman 26
- 31 Dadang Kahmad, Op. Cit., halaman 46
- 32 Ibid., halaman 47
- 33 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Terj. Tim Penerjemah YASOGAMA, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Cetakan Ke VII, halaman 96
- 34 Ibid., halaman 97
- 35 Ibid., halaman 102-103
- 36 Max Weber, Sosiologi Agama, Terj. Muhammad Yamin, IRCiSoD, Yogyakarta, 2002, halaman vi